Mohon tunggu...
Olahraga

Kemampuan Berlari: Bawaan atau Faktor Lingkungan?

25 Oktober 2017   22:45 Diperbarui: 25 Oktober 2017   23:21 1616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Maraton merupakan salah satu jenis olahraga kuno yang sekarang menjadi salah satu cabang Olimpiade. Pernahkah Anda bertanya apakah semua manusia sebenarnya memiliki potensi untuk menjadi atlet maraton? Kali ini kita akan membahas pertanyaan tersebut secara mendalam.

Saat melakukan aktivitas berlari, kemampuan yang paling diperlukan adalah kekuatan otot kaki dan jantung. Semakin lama otot bisa melakukan kontraksi berulang, semakin jauh  jarak yang bisa ditempuh. Dalam tubuh manusia, terdapat dua tipe otot rangka jika dilihat dari mode penggunaan energinya. Tipe yang pertama yaitu slow twitch fibres, yang berkontraksi secara lambat, tetapi bisa berkontraksi dalam waktu yang lama. Otot slow twitch fibres membutuhkan suplai oksigen dalam jumlah banyak. 

Oleh karena itu, terdapat banyak pembuluh darah yang mengalirkan darah ke otot ini, mengakibatkan warnanya menjadi merah. Tipe otot semacam ini terdapat pada otot soleus di betis dan otot yang menyangga tulang belakang. Tipe yang kedua yaitu fast twitch fibres, yang berkontraksi secara cepat, tetapi juga cepat mengalami kelelahan. Terdapat 2 jenis otot fast twitch fibres, yaitu glikolitik dan oksidatif. Selain itu, untuk menghasilkan energi di otot diperlukan oksigen yang diedarkan ke otot oleh jantung. Oleh karena itu, kekuatan otot jantung sangat menentukan performa seseorang dalam berlari.

Dari penjelasan di atas, kita mengetahui bahwa para pelari maraton cenderung menggunakan otot tipe pertama (slow twitch fibres) karena bisa digunakan dalam waktu yang lama dan tidak cepat mengalami kelelahan. Pada paragraf selanjutnya, kita akan mulai membahas mengenai kemampuan berlari yang setiap orang, apakah pada dasarnya sama atau tidak.

Performa para atlet maraton sebenarnya ditentukan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Yang dimaksud dengan faktor internal adalah pengaruh genetik yang menentukan karakter dari bagian tubuh manusia, yang dalam hal ini adalah otot. Sementara itu, faktor eksternal merupakan pemberian asupan gizi dan pembiasaan dari lingkungan, misalnya dengan latihan dan olahraga rutin.

Faktor internal yang merupakan faktor genetik rupanya memiliki kaitan dengan performa para atlet maraton. Penelitian yang dilakukan Ruth Alvarez terhadap 60 atlet profesional, termasuk atlet maraton dan 400 pria dan wanita non-atlet menunjukkan variasi signifikan pada salah satu gen yang mengode enzim yang penting dalam proses fisiologis, yaitu angiotensin-I-converting enzyme(ACE). ACE melakukan pengubahan hormon angiotensin I menjadi angiotensin II (AngII). 

AngII memiliki peran untuk mengecilkan diameter pembuluh darah (vasokonstriksi) dan pertumbuhan sel otot jantung. Alel D pada gen pengode ACE diasosiasikan dengan hipertrofi ventrikular (peningkatan ketebalan dinding bilik jantung) yang bisa menyebabkan tekanan darah tinggi dan peningkatan risiko terkena penyakit seperti jantung koroner. Individu dengan genotipe DD mengalami peningkatan massa ventrikel yang signifikan sebagai respons terhadap latihan fisik, dibandingkan dengan individu bergenotipe II (yang akan memiliki tingkat ACE darah yang paling rendah) dan individu bergenotipe ID. Sementara itu, individu bergenotipe II memiliki respons anabolik yang lebih baik daripada individu bergenotipe DD. Jika digabungkan, alel I pada gen ACE berasosiasi dengan respons yang lebih baik terhadap latihan fisik yang ekstrem.

hipertrofi ventrikular (symptoma.com)
hipertrofi ventrikular (symptoma.com)
Setelah dilakukan amplifikasi PCR, elekroforesis gen, dan analisis pada DNA kelompok atlet dan non-atlet, diperoleh hasil bahwa frekuensi alel ACE I pada kelompok atlet lebih tinggi dan mengindikasikan bahwa hal ini merupakan salah satu faktor genetik yang mempengaruhi performa fisik.

Dalam penelitian lain, Brouchard dan koleganya melakukan percobaan pada beberapa keluarga untuk mengetahui kemampuan pengambilan oksigen maksimal (VO2 max) sebagai respons aktivitas fisik. Mereka menemukan bahwa terdapat variasi 2,5 kali lebih banyak di antara keluarga yang berbeda dibandingkan dengan antar anggota dalam satu keluarga. Mereka juga memperkirakan adanya kemungkinan pewarisan respons VO2 max sebesar 47%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keberhasilan individu untuk melatih kemampuan pengambilan oksigen maksimal erat kaitannya dengan komponen genetik.

Aktinin-alfa adalah protein yang berikatan dengan aktin dengan peran yang beragam pada berbagai tipe sel. Pada otot rangka, protein ini membantu stabilisasi dan membantu tambatan aktin. Terdapat 2 tipe aktinin-alfa yang utama, yaitu tipe 2 dan tipe 3 dan keduanya dikode oleh gen yang berbeda, ACTN2 dan ACTN3 secara berurutan. 

Gen ACTN2 diekspresikan pada semua jenis otot rangka, sedangkan gen ACTN3 hanya diekspresikan pada serabut otot tipe II (fast twitch). Telah diketahui pula bahwa terdapat sebuah mutasi yang disebut R577X pada gen ACTN3. Mutasi tersebut menyebabkan pengubahan gen pengode asam amino arginin (R) pada posisi 577 menjadi stop kodon (X), sehingga jumlah gen yang diekspresikan menjadi lebih sedikit, yang menyebabkan defisiensi (kekurangan) jumlah protein aktinin-alfa tipe 3 pada sel otot. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun