Mohon tunggu...
R Andi
R Andi Mohon Tunggu... -

.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

The Golden Circle, Kenapa Saya Islam?

2 Agustus 2011   11:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:09 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dari semua pengalaman itu paling tidak saya bisa mendapat jawaban tentang apa itu Islam dan bagaimana mengamalkan ajarannya. Tetapi, saya merasa belum mendapatkan jawaban yang jujur atas pertanyaan Kenapa saya Islam. Memang seringkali saya merasa menemukan jawabannya, yang akhirnya bermuara pada masalah Iman. Terus terang saja saya tidak pernah puas atas jawaban seperti misalnya bahwa menurut penelitan sholat baik untuk kesehatan (seperti halnya yoga katanya), dan lainnya yang empiris semacam itu. Menurut saya itu hanya turunannya saja dan lebih cenderung kepada pembenaran. Tetapi, Iman bisa menjawab pertanyaan kenapa saya melakukan sholat atau puasa. Jangan bertanya kepada saya Kenapa harus beriman, menurut saya pertanyaan tersebut sama halnya dengan pertanyaan kenapa kita hidup. Pertanyaan abadi yang akan selalu menemani kita sampai mati. (Ada yang menjawab agar kita dimasukkan ke surga, tapi percaya bahwa surga itu ada adalah sebagian dari Iman itu sendiri).

Berdasarkan sejarah saya menyadari bahwa secara tidak langsung keluarga saya memeluk Islam karena peradaban terakhir yang dominan di daerah saya adalah peradaban Islam (Kira-kira pada abad ke 15, masyarakat Jawa mulai memeluk Islam secara massal dan peradaban Hindu tergeser ke arah Timur [Tengger dan Bali misalnya]). Tapi saya percaya bahwa saya dilahirkan dalam keluarga yang memeluk Islam adalah anugerah dari Allah dan saya harus bersyukur untuk itu.

Namun disisi lain muncul pertanyaan lain, bagaimana seandainya orang tua saya bukan Muslim, Kristen misalnya? Akankah saya akan seperti saat ini (dan semoga sampai akhir hayat nanti) seorang Muslim? Percakapan saya dengan teman saya yang seorang atheis (dia mengakui sendiri) turut memunculkan kembali pertanyaan itu. Dalam sebuah obrolan terkait agama, teman tersebut bilang bahwa dia menghargai saya memeluk agama, tapi yang penting adalah bahwa saya mempunyai alasan kenapa, bukan hanya ikut-ikutan.  Perlu diingat orang atheis bukan lalu berarti mereka tidak tahu atau bahkan ignorant (tidak mau tahu), banyak diantara mereka yang sudah juga mempelajari agama tapi pada akhirnya tidak menemukan jawaban atas pertanyaan Kenapa tadi. Juga, seringkali kita akan menemui bahwa seseorang yang atheis yang akhirnya memeluk agama karena mampu menemukan jawaban Kenapa tadi, entah karena proses pencarian (pembelajaran) atau anugerah Yang Maha Pencipta (hidayah) akan bisa menjadi pemeluk yang taat (bahkan lebih taat dari orang yang memeluk agama tersebut sedari kecil).  Seperti halnya kasus kesuksesan perusahaan Apple diatas. Karena mereka percaya!.

Tapi bagaimana dengan anak-anak saya nanti, bagaimana mendidik mereka ? Apa yang harus saya jawab ketika anak saya bertanya kenapa harus Islam ? Saya sering diliputi kekhawatiran jika anak-anak saya nanti (dan bahkan saya sendiri) memeluk Islam hanya karena kedua orang tuanya Islam.

Dalam pandangan pendidikan Barat, anak harus diberi kebebasan untuk memilih, termasuk dalam masalah Agama. Ada benarnya juga, akan menjadi percuma jika anak-anak kita nanti mengaku beragama Islam tetapi hanya karena diajarkannya begitu, karena orang tuanya juga Islam. Seperti banyak yang terjadi pada generasi kedua imigran Muslim di negara-negara Barat. Banyak di antara mereka yang mengaku masih Muslim tetapi tidak lagi menjalankan Islam (non-practising Muslim), tidak menjalankan sholat dan mengkonsumsi makanan yang haram menurut Islam (daging babi dan alkohol misalnya).

Apakah bisa membalik prosesnya dengan mengajarkan yang filosofis dulu, agar bisa menjawab pertanyaan Kenapa?.

Niscaya adalah sebuah kemustahilan untuk mengajarkan anak-anak tentang kenapa harus beriman, kenapa harus beragama Islam (misalnya). Kecuali si anak jenius, biasanya hal yang pertama kali mengusik pemikiran anak-anak adalah pertanyaan Apa (Itu apa? Apa itu Ma ? Apa itu Pa ? ). Nabi Ibrahim saja membutuhkan proses yang panjang dan harus menemukan jawaban dari banyak pertanyaan sebelum akhirnya menemukan siapa Tuhannya Yang Maha Pencipta.

Tapi lantas bukan berarti pula langsung diberikan pilihan, bebas memilih apa saja. Akan ada terlalu banyak faktor eksternal yang mempengaruhi pemikiran anak-anak kita. Kita sebagai orang tua mempunyai kewajiban untuk mengajarkan hal yang baik. Dari kebaikan yang bernilai universal (semua orang setuju) sampai kebaikan yang bersumber dari idealisme atau ajaran yang kita pegang (tidak mungkin semuanya kebaikan universal, kita hidup pasti mempunyai nilai-nilai tertentu yang kita pegang dan belum tentu orang lain sependapat).

Saya masih percaya bahwa untuk mendidik anak masalah Agama kita harus tetap menggunakan pendekatan "The Golden Circle" yang alami (Bukan dengan Start with Whay-nya Simon Sinek), dimulai dari Apa lalu Bagaimana. Sedikit demi sedikit Insya Allah pada akhirnya nanti, saat akal mereka mulai bertanya dan bisa mencerna mereka akan bisa menemukan jawaban Kenapa. Pilihan apa yang akan mereka ambil nanti ?  Wallahu'alam.

Kenapa saya Islam ? Insya Allah karena saya beriman bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya.

Kenapa saya beriman ???

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun