Semalam penulis didatangi sekelompok dokter-dokter muda yang baru lulus dari beberapa Fakultas Kedokteran di Jakarta. Mereka minta saran kemana sebaiknya mengadu tentang nasibnya yang apes.
Untuk ini, sebaiknya penulis mengajak para pembaca (yang pasti, pernah sakit atau menjadi pasien) untuk masuk sedikit kedalam dunia kedokteran, yang cukup mendebarkan jantung.
Jumlah dokter di Indonesia diperkirakan sekitar 100.000 an (0.04% populasi) atau kalau dipukul rata, satu dokter menangani 2.400 pasien.
Pada kasus Diabetes, rasio nya semakin menyeramkan. Pengidap Diabetes diprediksi 5% dari populasi atau 12 juta, sedangkan jumlah dokter spesialis Endokrin hanya dikisaran 50-60 orang. Dalam matematika sederhana, satu dokter spesialis menangani 200.000 pasien. Karena itu disarankan, para pengidap Diabetes harus benar-benar menjaga diri, disamping tentunya, memperbanyak doa.
Dari logika diatas, masyarakat Indonesia pastinya memerlukan banyak tambahan pasokan dokter. Pertanyaan-nya sekarang, siapakah yang memasok dokter, dalam konteks mendidik dan melegalisir? Inilah isu yang perlu dibenahi segera!
Saya pribadi mengakui bahwa pendidikan dokter merupakan salah satu pendidikan terberat di Indonesia disamping militer. Empat tahun berkutat di fakultas plus 2 tahun praktek, tanpa digaji, di berbagai rumah sakit dan Puskesmas sebagai “Coas” atawa asisten dokter. “Coas” adalah ujung tombak yang berhubungan langsung dengan beragam lapisan masyarakat (baca: pasien) dari Sabang sampai Merauke. Usai menyelesaikan tugas “Coas”, mereka kembali ke Fakultas Kedokteran untuk disertasi final. Proses selanjutnya adalah mengikuti ujian kompetensi untuk standarisasi mutu dan mendapatkan STR (Surat Tanda Registrasi), sebelum bisa berkiprah melayani masyarakat atau ke jenjang pendidikan lanjutan.
Lalu dimanakah masalah para dokter-dokter muda yang baru lulus ini? Disinilah acak adutnya dunia kedokteran Indonesia. Saat ini ada tiga lembaga yang mengatur dokter-dokter.
Pertama adalah AIPKI (Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia) yang beranggotakan 73 Fakultas Kedokteran seluruh Indonesia. Kedua adalah KDPI (Kolegium Dokter Primer Indonesia) sebagai organ IDI (Ikatan Dokter Indonesia). Dan ketiga, adalah KKI (Konsil Kedokteran Indonesia) yang merupakan produk reformasi, sebagai pihak penerbit STR.
Hubungan dan pembagian kue dari ketiga lembaga ini, sampai dengan tahun lalu, sepertinya cukup adem ayem. Proses untuk ujian kompetensi diatur rapih. Ujian Kompetensi diselenggarakan oleh AIPKI bersama dengan KDPI. Bila lulus, KDPI kemudian mengeluarkan sertifikat kompetensi agar KKI menerbitkan STR.
Untuk mengikuti ujian kompetensi ini, setiap dokter wajib membayar ke penyelenggara (AIPKI & KDPI), antara Rp. 1 s/d 1.5 juta, untuk biaya ujian, admin dan lain-lain. Dengan asumsi 73 Fakultas Kedokteran, dan setiap fakultas menghasilkan 100 dokter, maka Income penyelenggara (AIPKI & KDPI) sekitar Rp 9 – 10 miliar, lumayan dong buat kocek sebuah organisasi. Ini sah-sah saja, organisasi kan perlu biaya, selama menghasilkan manfaat. Namun yang terjadi menjelang akhir tahun 2013, AIPKI & KDPI nampaknya pecah kongsi. Perpecahan adalah hal wajar, karena merupakan genetika Bangsa Indonesia, sejak jaman Mojopahit. Sumber perpecahan umumnya tidak jauh-jauh, hanya sekitar ego dan kekuasaan, yang ujung-ujung ya duit lah.
Konflik AIPKI dan KDPI ini, langsung menjadikan dokter-dokter muda diseluruh Indonesia sebagai korban pertama. Mereka telah membayar dan ikut ujian kompetensi, tetapi tidak diakui oleh KDPI, sehingga gagal mendapatkan STR plus tanpa solusi pula. Korban kedua adalah masyarakat luas diseluruh penjuru tanah air. Seharusnya, Indonesia memiliki 7000-an dokter baru yang bisa melayani masyarakat, tetapi jasa kesehatan ini raib akibat konflik pengurus dua organisasi, AIPKI & KDPI, yang ironisnya mereka terdiri dari dokter-dokter juga. Kalau dokter bersengketa dengan montir, kita paham. Tetapi ini konflik antara dokter versus dokter, dengan korban juga dokter, tetapi imbasnya langsung ke masyarakat. Kalau tidak segera dibenahi, tahun depan akan akumulatif, menjadi 15.000-an dokter mandeg yang bisa dikatakan "tertipu" masuk ke dunia kedokteran. Dan yang paling dirugikan adalah masyarakat yang seharusnya mendapat layanan kesehatan.
Idealnya, KKI, sebuah institusi resmi dengan lambang garuda, bisa mengambil inisiatif menjadi “play maker” untuk menyelesaikan masalah krusial tersebut…tetapi apa mau dikata, tetap tak berdaya.
Wal akhir, tersisa tinggal dua pihak yang bisa diandalkan oleh para dokter-dokter muda diseluruh Indonesia ini.
Pertama, para capres yang sedang mencari “credit point”….minimal mereka bisa berjanji…ehe..ehe. Dan kedua, siapa lagi kalau bukan KPK. Kenapa KPK? Karena ini sudah merugikan (“tangible & intangible destruction”) terhadap masyarakat luas, jadi seharusnya KPK dengan mudah bisa mencari pintu masuk.
Dan bagaimana peran Menkes & DPR? Dalam suasana Pileg & Pilpres saat ini….sebaiknya, kite lupain aje deh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H