Semakin kemari, boleh setuju boleh tidak, kita merasakan atmosfir kehidupan sehari-hari semakin tidak bersahabat. Bahkan pada titik-titik tertentu, level keterpurukan sudah bisa dikatagorikan masuk kondisi darurat.
Tadi pagi penulis sempat terkaget-kaget setelah bersua sahabat lama. Sohib ini, anak Betawi asli, menanyakan tata cara menjadi warga negara Eropa seperti Jerman, Swiss, Finlandia atau Inggris. Aneh kan? Betawi biasanya paling jauh migrasi ke seputaran Depok atau Cibinong setelah tergusur. Yang ini agak berbeda, karena sudah niat betul ingin ke Eropa.
Setelah kurang lebih dua jam berbincang sambil ngopi, akhirnya kegundahan hati si Tatang (nama si sohib), ternyata masuk akal, dan mudah dipahami. Ada baiknya kalau penulis merangkum dan membagi ceritanya ke Kompasioner.
Intinya, Tatang mengatakan Bangsa Indonesia beserta seluruh aturan yang berlaku, tanpa terkecuali, harus di detox total. Kondisi saat ini sungguh sangat kompleks. Pendekatan yang berpola “bits & pieces” diyakini tidak memberi solusi, malahan menimbulkan masalah baru.
Marilah kita ulas kepuyengan si Tatang, satu persatu.
Pertama; paradigma dan kurikulum pendidikan babak belur. Hal ini diperburuk oleh kompentensi menteri, dirjen plus direkturnya yang masih tanda tanya. Sebagian bahkan ada yang tersangkut korupsi. Dia mencontohkan tiga hal sederhana. Dijaman dulu, platform pendidikan nya adalah “Pendidikan & Pengajaran”. Jadi murid itu diberi pendidikan dan diajar (baca: unsur budi pekerti yang kuat). Platform ini, sejalan dengan waktu dirubah menjadi pendidikan dan kebudayaan (baca: masih bagus ada unsur kebudayaan-nya). Namun sekarang dirubah menjadi “pendidikan nasional”. Maksudnya pendidikan nasional ini kurang jelas. Yang kita rasakan secara nasional hanyalah kualitas menurun, kurikulum gonta-ganti, murid-murid tidak diajar (baca: jadilah murid pada kurang ajar). Hal kedua, dulu kita was-was bila punya anak perempuan karena takut dilecehkan secara seksual. Sekarang murid laki-laki dan permpuan sama-sama dilecehkan, disekolah kampung sampai JIS. Hal ketiga, Tatang memberi contoh yang sangat lucu tetapi tepat sasaran. Di United Kingdom, sejak SD sampai sarjana strata satu, hanya perlu 13 tahun. Untuk O – Level (setara SMP) dan A – Level (setara SMU) masing-masing 2 tahun, dan cukup 3 mata pelajaran. Lalu bagaimana Indonesia? Kita paham deh, disini untuk menggapai level strata satu butuh 16 tahun. Khusus SMP & SMA, murid dihajar dengan 15 -17 mata pelajaran.Yang parahnya kata Tatang untuk Jakarta, ada mata pelajaran PLKJ (Pendidikan Lingkungan Kota Jakarta), dimana murid harus hafal jalan, nama sungai, batas kecamatan dll. Tatang marah sekali. Inilah komentarnya: “emangnye anak-anak kite mau dijadiin supir mikrolet, harus rute hapal jalan?”…huahahahaha….
Salah satu kesimpulan dari isu pertama tentang pendidikan ini adalah sederhana. Anak-anak kita belajar lebih lama dan lebih banyak ketimbang di UK. Ironisnya, tamatan SMA Indonesia tidak diakui (baca: tidak bisa) untuk masuk langsung ke Universitas di Inggris, jadi harus via A – Level lagi atau Foundation Course.
Sia-sialah upaya anak-anak kita belajar setengah mati dari SD sampai SMA Pagi sekolah formal, sorenya ikut bimbingan belajar. Gimana ini mendiknas? Sadar, kurang paham atau cuek-cuek bebek.
Yang kedua, Tatang sudah muak dengan jalanan di Jakarta, komentarnya: “ Nyupir stress, kendaraan umum enggak ade yang beres. Jangan-jangan ni’ manusia ngambil SIM nye di apotik kali ye, bukan di Polda “. Untuk urusan trafik ini, pasti banyak yang mendukung Tatang. Pengendara motor dan kendaran umum plus penumpangnya semakin beringas, anarkis, melawan arus dan stop disembarang tempat. Ini adalah fakta dan perilaku sebagian besar masyarakat sehari-hari. Sedih rasanya, karena kita semua tahu bahwa masyarakat beringas tersebut dipastikan telah lulus (baca: memiliki salah satu atau semua dari ijazah SD, SMP, SMU dan Pendidikan Tinggi).
Yang ketiga, kita semakin sedih melihat Indonesia lima tahun kedepan. Bayangkan, calon pimpinan nasional (baca: capres/cawapres) sampai hari pendaftaran dibuka KPU belum ada yang jelas. Parpol pemenang serta capres yang digadang-gadang jagoan saja belum bernyali memutuskan wakilnya meskipun telah memenuhi syarat. Tanda apa ini kalau bukan indikasi dagang sapi. Di Eropa, kata Tatang, calon pimpinan nasional telah menyiapkan diri bertahun-tahun. Menurut Tatang: “ Di Indonesia, capres kite paling bokis. Boro-boro visi dan misi, pasangannye aje belum berani ngumumin sampe detik-detik terakhir “. Logikanya ini masuk akal. Dengan fakta seperti ini, alangkah baiknya kalau kita berdikari, dan tak perlu berharap banyak kepada janji-janji parpol dan wakilnya.
Nah terakhir isu yang keempat, Tatang akan berusaha sekuat mungkin menjadi warga negara Eropa seperti Jerman, Swiss dll. Dia bermaksud mendirikan parpol disana. Waktu saya tanyakan, ini jawabannya: “ Ni’ contohnye. Jerman itu udeh jalanin aturan-aturan di Islam. Semua teratur, rapih, sopan, minim korupsi dan bersih. Tinggal kurang dua undang-undang, yaitu undang-undang anti minuman keras dan seks bebas. Kalau dua undang-undang ini, ane bisa lolosin ke DPR sono, siep deh, rapi jali istilahnye”……he..he…he….boleh juga teorinya si Tatang ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H