Mohon tunggu...
Ki Penjawi
Ki Penjawi Mohon Tunggu... Penulis - konsultan lepas social marketing

pengamat kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Politik

RPKAD 1 Oktober 1965 dan Koalisi PDIP 9 Juli 2014

15 Juli 2014   20:28 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:15 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pagi hari, 1 Oktober 1965, seputaran Monas, RRI & Kantor Telkom, diduduki dua batalion dari Kodam Diponegoro dan Brawijaya. Pangkostrad Mayjen Soeharto menghadapi situasi yang tidak pasti dan sedang menghitung kekuatan yang bisa digelar, Induk pasukan Kostrad berada di luar Jawa dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia. Pasukan Kodam Jaya dipagi itu, masih tanda tanya, karena komandan brigade infanteri 1 Jaya Sakti, Kolonel A Latif berada dipihak musuh. Kekuatan riel yang tersedia sangat minim, yaitu segelintir kompi markas plus batalion kavaleri Kodam Jaya.

Disaat genting tersebut, Mayjen Soeharto teringat dan langsung memanggil Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, komandan RPKAD (sekarang Kopassus) di Cijantung untuk mengatasi kemelut yang terjadi. Setali tiga uang, kekuatan RPKAD juga terbilang minim, hanya sekitar satu batalion minus karena beberapa kompinya juga berada diluar Jawa. Setelah menyimak secara cepat, Kolonel Sarwo langsung melakukan pergeseran pasukan ke Jakarta, menggunakan puluhan truk berisi pasukan baret merah. Pergeseran pasukan ini merupakan “show of force” untuk menciptakan kondisi, menciutkan hati lawan. Bagaimana hal ini bisa dilakukan mengingat jumlah pasukannya sangat terbatas? Disinilah kepiawaian seorang Sarwo Edhie. Dia mengumpulkan semua laki-laki yang bukan tentara di seputaran komplek Cijantung, diberi seragam kemeja loreng dan baret merah. Mereka digabung dengan pasukan RPKAD yang asli, dan dinaikan ke puluhan truk. Akhir cerita bisa ditebak sesuai fakta sejarah. Hati musuh menciut dan RPKAD menjadi tulang punggung Kostrad mematahkan G-30-S.

Siang hari, 9 Juli 2014. Saat TPS-TPS diwilayah Indonesia barat masih melakukan penghitungan final suara, kubu Jokowi-JK yang dipimpin Ketum PDIP melakukan konferensi pers, mengumumkan kemenangan berdasarkan hasil quick count. Mengapa konferensi pers dilakukan, dan siapakah pembisik yang mengusulkan? Soal siapa pembisik, itu tidak relevan. Yang penting, apa maksud dan tujuan dari konferensi pers tersebut. Jokowi adalah seorang yang dikondisikan dalam waktu relative singkat untuk menjadi presiden. Dari nama yang tidak begitu dikenal, Jokowi mendadak merajai survei-survei capres 2014. Dan hebatnya, sistem sosialisasi ini bisa masuk kebenak publik.

Menjelang hari H, 9 Juli, hal yang umumnya ditakutkan terjadi, pasangan nomor satu mengalami peningkatan drastis, dan sulit dibendung. “Positive trend” nomor satu terlalu riskan untuk dibiarkan. Mumpung dibenak publik posisi keduanya minimal, masih seimbang, maka sesuatu harus dilakukan. Dalam dunia perang urat syarat, ada pepatah tua yaitu: “He who threats more, wins the war”. Dengan demikian, konferensi pers tersebut menjadi keharusan, sebagai stempel tidak resmi, namun efektif, untuk menciptakan kondisi bahwa pasangan nomor dua adalah pemenang.

Langkah kubu nomor dua ini, memiliki kesamaan dengan taktik dari Kolonel Sarwo Edhie di tanggal 1 Oktober 1965, yang intinya merupakan sebuah “psy-war”.

Apakah ada perbedaan antara taktik konferensi pers yang diprakarsai Megawati dan taktik Kolonel Sarwo.

Perbedaannya jelas. Kolonel Sarwo saat itu tidak harus membuktikan apa-apa. Yang ada dibenaknya, adalah menggetarkan musuh dan begitu musuh gentar, langsung diamankan.

Tanggal 1 Oktober 1965, Kolonel Sarwo memegang komando pengendalian, sehingga pembuktian berada ditangannya. Mati atau hidup adalah hal lumrah yang sudah melekat sebagai resiko perjuangan prajurit.

Sedangkan konferensi pers tanggal 9 Juli mengandung "resiko intern" yang berbeda, Disatu pihak mungkin berhasil membentuk opini publik, namun dilain pihak komando pengendalian ada ditangan pihak ketiga, yaitu KPU, sebagai lembaga resmi.

Karena kans sukses nya 50:50, andai hasil KPU berbeda dengan deklarasi di Tengku Umar, maka rute “escape” bagi pasangan Jkw-Jk, hanya tinggal dua, ke MK atau menanggung malu. Namun, karena Bangsa Indonesia adalah bangsa yang pelupa, maka ujung-ujungnya, deklarasi 9 Juli bisa dibilang tidak memiliki resiko. Siep deh…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun