Kado Valentine mulai aneka bunga, boneka, dan hiasan dipajang di Pasar Bunga Rawa Belong, Jakarta Barat, Selasa (14/2/2012). (Kompas.com/ASITA SURYANTO)
Latah 14 Februari, kembali isu menolak valentine, menerima valentine, plus bumbu-bumbu agama, politik, sosial budaya, sejarah dsb semarak di media dan sekitar kita. 2015 pun lebih ramai dengan beberapa institusi resmi seperti sekolah, Diknas, Pemprov mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan hari Valentine, dengan landasan yang sama: Ketakutan pada seks bebas. Pada kenyataan? Jujur, people will do it anyway, when they want.
Umur 9 tahun pertama kali jatuh cinta, boro-boro menimbang-nimbang haram-halal, yang bergejolak saat itu adalah saya mau pacaran dengan tetangga. Kasih sayang umur 1 hari. Siang 'yang-yangan', bunga di telinga, gandengan tangan di pinggir sungai, sore berantem, trus putus. Halal atau haram? Tak masuk ke pikiran meski siang-malam dicecar sholat dan ngaji. Semasa SMP, SMA, tak pernah dalam pikiran soal haram tidaknya merayakan valentine. Jatuh cinta itu indah. Semua orang tahu ini. Tak peduli umur berapa dan apa yang dilakukan. Berbahaya? Mesum? Bikin Malu? Bisa hamil? Who care?... Parents! Yep,orang tualah yang selama ini berkoar-koar mengacungkan jari membuat hati tertekan ketika sang anak ingin mengungkapkan rasa hati, rasa puber, rasa cinta ingin ciuman, ingin bergandengan tangan. Para orang tua dan masyarakatlah yang menebar kepanikan merajalela, hujatan, ketakutan akan terjadinya kehamilan di luar nikah dan yang lebih dahsyat, murka Tuhan!
Tetapi di mana mereka ketika anak-anak itu tertekan oleh meledaknya rasa puber ini? Kultur Timur yang memberikan penghormatan tanpa cela terhadap orang tua telah sekian lama mematikan komunikasi yang intensif dan terbuka terhadap anak-anak mereka sendiri. Akhirnya hukum-hukum sosial dan bahkan institusi pemerintahan dilibatkan melahirkan aturan-aturan atas nama 'melindungi' generasi muda, dibuat tanpa ada masukan atau pelibatan pihak yang dikhawatirkan yakni 'anak muda' itu sendiri.
Adakah di sekolah-sekolah, di rumah rumah, di rapat dewan sekolah membicarakan program-program komunikasi jujur dan mendalam dengan 'anak anak' mereka? Apa yang ada di alam pikiran mereka, apa makna kasih sayang menurut mereka, apa itu seks di luar nikah dan apa arti membuat senang orang lain? Adakah orang tua yang tanpa ketakutan dan 'prejudice' mau mendengar apa yang ada dalam pikiran mereka ketika jatuh cinta, apakah benar-benar kasih sayang merupakan suatu hal yang pantas dirayakan atau tidak. Di mana dialog itu?
Kalau memang benar-benar jujur mengkhawatirkan mengenai masa depan sang anak, maka mulailah melibatkan mereka sebagai bagian dari keputusan atau kebijakan kebijakan yang berkaitan dengan kehidupan mereka. Dominasi 'ah, kamu masih anak anak, tau apa', atau 'kamu masih kecil, orang tua lebih berpengalaman' sudah bukan lagi dominasi yang 'bijak' dalam proses pendewasaan anak-anak kita. Prinsip saya, lebih baik anak saya berani jujur ke saya meski curahan hatinya terdengar 'canggung, aneh, memalukan' daripada mereka ketakutan menjauh dari saya, dan mencari jawaban dari internet atau teman tanpa diskusi.
Kita semua pernah merasa jatuh cinta. Kita semua tahu bagaimana rasanya bercita-cita menyenangkan orang lain termasuk orang tua, pacar, guru, dsb. yang sering kali mengalahkan kita untuk memilih 'tidak' atau 'iya'. Kita semua juga merasakan bagaimana 'society pressure' sangat dominan mengerangkeng kebebasan berekspresi kita. Apakah kita sebagai orang tua mau 'menjebak' anak-anak muda kita dengan 'tekanan sosial' yang sama? Marilah bersikap bijak dengan mulai mendengar alam pikiran anak-anak kita sendiri tanpa menuduh tanpa menghakimi. Beri ruang mereka berpikir, berekspresi dan mengendalikan diri sesuai dengan kemampuannya. Selamat hari Valentine!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H