Kriminalisasi Kebebasan Berpendapat melalui Pasal Pencemaran Nama Baik ataupun UU Ketertiban Umum.
(terinspirasi dari kasus hukum Flo di Yogya dan Prita Mulyasari)
Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk sosial, berinteraksi dengan yang lain dengan komunikasi dan sikap sikap umum yang dipahami dan diterima satu sama lain. Namun manusia juga diciptakan tidak dalam keadaan sempurna berakhlak mulia, bahkan Nabi Muhammad, manusia yang paling sempurna bagi mereka yang meyakininyapun mengatakan bahwa ia pun tak luput dari khilaf.
Khilaf artinya berbuat sesuatu yang 'tidak bisa diterima' oleh orang lain, cenderung dianggap 'salah' dan bahkan mungkin 'berdosa'. Khilaf kecil yang sering terjadi dalam interaksi sosial adalah terpelesetnya lisan. Lebih lagi berbicara dengan 'logat', 'bahasa', 'mimik' dan maksud yang 'melukai perasaan' seseorang, bersuara 'sumbang', 'bernada' tidak mengenakkan,'berirama tak syahdu'. Jika dalam konteks bernyanyi dipanggung, seorang artis bersuara sumbang akan segera disoraki penonton untuk berhenti bernyanyi saat itu juga, lebih kasar dilempar botol air, lebih ekstrem tidak didaulat lagi bernyanyi didepan mereka. Tapi apakah lantas penonton bisa 'melarangnya bernyanyi selamanya?', mengusir untuk tidak berada dilingkungan penonton? menuntut ke Bapak hakim untuk 'mengadili' bagai seorang kriminal ia telah bersuara sumbang dan menjebloskan ke penjara karena yang dinyanyikannya menusuk hati dan telinga, membakar darah hingga ke sumsum tulang?
Pertanyaan ilustratif diatas bisa dikatakan gambaran realitas di kasus kasus dengan pelanggaran 'Pencemaran Nama Baik' baik melalui KUHP maupun UUITE, juga KUHP Ketertiban Umum. Si penyanyi bisa dikatakan sebagai Flo, yang telah apes, berani bernyanyi ketika marah. Atau Prita M yang 'apes' tidak puas bernyanyi di panggung RS Omni, juga bernyanyi di 'panggung lainnya hingga sang RS gerah. Atau mungkin saksi saksi seperti Novela yang mempunyai 'logat kental tersendiri' ketika 'bernyanyi' meski tidak terjerat hukum apa apa, hanya melahirkan headline headline heboh di media massa mengenai logatnya (bukan isi nyanyiannya!), hujatan dan sangkaan atau menjadi bahan tertawaan, membuktikan bahwa definisi ketertiban umum yang disebutkan dalam UU memang sangat abstrak. Untuk level lebih berat mungkin bisa dilihat kasus media media yang dibredel di masa Suharto atau bahkan para sastrawan yang ditahan pemerintah karena 'bernyanyi' nyinyir melalui karya karya mereka seperti Pramoedya Ananta Toer.
Semenjak negri ini bersepakat bahwa kebebasan berpendapat itu adalah bagian dari hak asasi manusia dan demokrasi adalah sistem terbaik bagi terwujudnya kebebasan tersebut, maka negara wajib memberikan wadah bagi warganya untuk merasa 'aman dan percaya diri' mengeluarkan, mengekspresikan, mengejahwantahkan pendapat,perasaan dalam tataran yang tidak merugikan atau menyakiti fisik orang lain dan melindungi bagi mereka yang 'berpendapat', meski pahit dirasa, sumbang didengar.
Pertanyaan yang muncul seringkali mengenai kekacauan dan tata asusila yang menjadi berantakan karena kebebasan berpendapat ini. Disinilah letak negara membuktikan pada hal apa keadilan seharusnya dititikberatkan dan dimana institusi negara seperti kepolisian dan pengadilan seharusnya berpihak. Tentunya kita tidak ingin dengan kebebasan ini lantas semua orang menjadi hilang hormat dan tidak tahu sopan santun. Lalu dimanakah batasannya?
Semisal seseorang mengeluarkan pendapatnya saya itu tolol . Memang ini mengesalkan saya, akan tetapi HAK orang tersebut untuk berpendapat WAJIB dan akan saya BELA sebenar benarnya. Pun negara, wajib melindungi kebebasan orang tersebut berpendapat apapun mengenai saya.
Lalu bagaimana dengan pernyataan 'saya tolol' telah menyulut api kemarahan saya? Bukankah saya juga berhak menunjukkan sikap saya?. Ya pasti, karena negara wajib melindungi sikap yang tidak menimbulkan kerusakan, kerugian materiil maupun immateriil, menghilangkan nyawa atau membuat cacat orang lain, mencabut hak dasar kehidupan orang lain. Ekspresi satu satunya yang paling proporsional adalah logika dibalas dengan logika, argumen dibalas argumen hingga amarah dan rasa tidak puas itu hilang dengan sendirinya secara alami. Lalu bagaimana jika saya memutuskan untuk membalas dengan memenjarakan orang tersebut atau membalas dengan kekerasan? Negara wajib mengkategorikan kekerasan sebagai tindak kriminal karena sudah mengambil hak dasar orang lain.
Namun jika negara mengambil posisi bias dengan turut terlibat dalam menghakimi 'sumbangnya nyanyian' seseorang dan karena 'pihak penonton yang tersinggung ingin si penyanyi dihukum kurungan', maka yang dihasilkan adalah 'keadilan palsu dan kekanak-kanakan' bagi kebebasan berpendapat dan berekspresi. Siapa yang disukai penonton, meski brutal dan melakukan kekerasan, ia akan dibela karena negara takut dengan khalayak. Kebebasan berpendapat tak lagi terjamin 'keamanannya', perdamaian yang sesungguhnya pun tidak akan tercapai dan mudah buyar. Bukankah damai karena terintimidasi itu seperti memelihara api dalam sekam?
Semoga Negara bisa mengambil sikap lebih bijak SEGERA mengingat telah banyak kemerdekaan mereka yang telah terampas melalui pasal pencemaran nama baik ini.