Ada juga opini dan tweets atau tulisan yang merujuk pada keampuhan 'Kedaulatan Amerika' yang terus mengeksekusi tawanan berputusan Hukuman mati namun tak satu negarapun yang mengusik. Contoh: http://hukum.kompasiana.com/2015/01/19/standar-ganda-aktivis-ham-dan-barat-atas-hukuman-mati-di-indonesia-dan-amerika-serikat-laporan-eksklusif-702830.html.
Ini menjadi kartu truf pembenaran bahwa kalau dengan USA, no body dare, dengan Indonesia ...'ahh bisa dicincai'. Namun sayangnya, kita menutup mata, bahwa di US sendiri hukuman mati terakhir th 2001 yang berkaitan dengan mafia pengedar narkoba dijatuhkan atas dakwaan 'membunuh' bukan hanya karena murni mengedarkan narkoba.
http://cidh.org/annualrep/2000eng/ChapterIII/Merits/USA12.243.htm
http://en.wikipedia.org/wiki/Juan_Garza
Prinsip inilah yang kemudian sejalan dengan point a bedahan isi surat dari AFSC oleh kompasioner Bung Nararya di
http://hukum.kompasiana.com/2015/02/09/membedah-surat-afsc-untuk-presiden-joko-widodo-700661.html
yakni, hanya dengan prinsip karena telah melukai fisik orang lain secara langsung logika 'eye for an eye' atau nyawa dibalas nyawa bisa diterima untuk memutuskan hukuman mati. Makanya terlihat hukuman mati di USA banyak diputuskan kepada terdakwa pembunuhan.
Fakta lain adalah data statistik kenaikan dan penurunan pengguna dan pengedaran narkoba di Amerika yang menerapkan delik kriminalitas dengan Belanda yang menggunakan pendekatan dengan 'threatment' atau istilah Jokowi 'memanusiakan manusia'. Fakta bahwa justru di Amerika pamor narkoba meningkat dan di Belanda justru menurun.
http://www.drugwarfacts.org/cms/netherlands_v_us
http://matadornetwork.com/change/10-facts-drug-war-will-shock/
Lalu bagaimana menyelamatkan muka karena baru saja mengeksekusi 6 orang bulan lalu?