Mohon tunggu...
Kinu Natlus
Kinu Natlus Mohon Tunggu... lainnya -

Tukang Kebun

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memanusiakan Gembong Narkoba

23 Februari 2015   13:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:41 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jokowi yang humanis. Memanusiakan manusia, katanya. Demikian image yang diberikan ketika pilpres. Sekian tahun negara ini telah memilih menunda menghukum mati bagi gembong narkoba namun hanya dalam lingkup 100 hari memilih menjadi presiden yang menolak pengampunan. Meskipun disinyalir mereka bersedia direhabilitasi seumur hidup.

Keputusan ini bukan keputusan politis, bukan keputusan hasil rapat dan dialog antar partai, bukan berkaitan pada intrik dan persaingan kekuasaan diparlemen. Ini murni idealisme Beliau bahwa demi masa depan generasi Indonesia, Gembong narkoba berhak mati. Alasannya:

Perang terhadap mafia narkoba tidak boleh setengah setengah karena Narkoba sudah merusak kehidupan baik. Kehidupan penggunanya maupun keluarga pengguna narkoba...

(Status beliau di FB JokoWidodo sesaat setelah eksekusi 5 orang gembong dilaksakan bulan lalu)

Sebagian besar rakyat mendukung. Desakan untuk mengeksekusi mereka begitu menggebu gebu, sebagian meminta untuk segera dipercepat, rata rata demi imej 'Tegas'.

Usaha dialog tertutup. Kesempatan memperbaiki diri tercoret. Indonesia bersikeras bahwa negri ini tidak main main soal penegakan hukum yang memang 'legal' menghukum mati gembong narkoba. Meski sangat melanggar prinsip prinsip HAM, Indonesia tidak mengindahkannya, demi 'keyakinan' bahwa Gembong harus mati demi menebarkan rasa takut kepada yang lain dan menyurutkan mereka. Akankah? (baca tulisan saya sebelumnya).

Sebenarnya saya ingin tertawa kalau memang ini persoalan penegakan hukum. Mohon jelaskan justifikasi diamnya Bp. Jokowi terhadap perilaku polri dan putusan Hakim Sarpin? Ini hanya simbol untuk mengarahkan, bahwa nilai nilai kita mudah sekali diaduk aduk sesuka hati. Parahnya, sesuka hati mereka yang punya 'senjata'.

Saya bukan sedang menjelekkan Pak Jokowi. Saya mengkritiknya. Juga, saya bukan membela gembong narkoba lepas dari jeratan Hukuman. Ketika membaca buku buku mengenai dunia mafia narkoba; Hotel K, Marching powder, buku2 mengenai sosok Schappelle Corby dsb. memberi kesadaran bahwa sistem hukum yang korup, penuh intrik dan suap menyertai dan terlibat besar dalam menentukan 'hidup matinya' mereka.

Buruknya moral dan sistem hukum penegak hukum kita sudah bukan rahasia lagi. Saya membela Indonesia untuk menentukan sebuah hukuman yang lebih bersih, adil dan beradab, berefek memberi kebaikan kepada kuatnya sistem dan masa depan negri ini. Bukan sekedar hukuman yang memuaskan rasa dendam, rasa amarah, rasa ketakutan yang pada akhirnya hanya justru memberi dosa kemanusiaan pada anak cucu nanti serta mengkrangkeng masa depan itu sendiri.

Memberi pengampunan BUKAN berarti negri ini tidak tegas. Tegas buat saya adalah membuka sejujur jujurnya proses peradilan mereka, mempertimbangkan hasil rehabilitasi mereka, memastikan para aktor penegak hukum adalah bersih tanpa usaha suap. Jika memang terbukti mereka adalah Psikopath, menyiksa keji,mengancam dan membunuh orang lain saya berjanji akan diam.

Jika memang proses rehabilitas mereka berhasil atau masih membutuhkan 10 tahun,20 tahun, 30 tahun,  hukuman kompensasi berat lebih menguntungkan Indonesia, baik dari segi kehormatan, hukum bahkan kemanusiaan. Saya lebih pro kepada solusi 'bisnis kebaikan' yang tak sengaja ditawarkan Australia ketika 'mengungkit' bantuan yang pernah ia berikan.

Barterkan mereka dengan pembangunan ratusan rumah sakit, di desa desa, dikota kota, penyediaan alat alat kedokteran, pendidikan dan penelitian kedokteran untuk para anak muda Indonesia untuk berkarya dan siap 'merawat' masa depan, jika memang serius ingin 'menyelamatkan nyawa, saya pikir Australia tak akan sulit untuk menerima.

Hati hati memaknai kalimat diatas. Mohon jangan dipelintirkan. Saya tidak menyarankan menerima 'suap' demi terjualnya 'harga diri bangsa'. Opini tersebut tidak relevan. Kita bukan masyarakat yang menganut 'honor killing' (bisa di google apa itu Honor killing) sebagai kultur peradaban kita. Negosiasi dan diplomasi bukan suatu hal yang memalukan. Justru ini merupakan cara yang telah disepakai dunia paling beradab dan diterima demi kemanusiaan. Menunjukkan bahwa Indonesia tidak main main pada penyelamatan generasi.

Sekedar sumbang opini, PM Abbot bukan orang Indonesia. Dia tidak mengenal idiom 'Jika tangan kanan memberi, tangan kiri tak boleh tahu'. Itu wejangan orang timur. Sah sah saja jika kita tersinggung, tapi jangan sampai mengaburkan esensi hinggameninggikan emosi dan menghasilkan keputusan yang grasa grusu.

Yang ia tahu adalah 'take and give'. Menerima dan memberi mempunyai derajat yang sama, tanpa ada tedeng aling aling, ikhlas atau tidak. Jika ada 'budi', maka wajib 'dibalas'. Paling tidak ini gambaran kasar saya mengenai kultur 'balas budi' antara barat dan timur. Wallahualam.

P.S

Kepada Pak Jokowi, maaf saya masih sangat kecewa terhadap Bapak, maka dari itu saya menyindir Bapak terus terusan di tulisan saya. Karena banyak hal termasuk sikap Bapak terhadap kpk vs polri. Definisi ketegasan Bapak sangat tidak masuk diakal saya. Mungkin saya yang bodoh jadi mohon tulisan saya tidak menyinggung Bapak. Semoga saya tidak menjadi 'tersangka' berikutnya. Terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun