Jokowi yang humanis. Memanusiakan manusia, katanya. Demikian image yang diberikan ketika pilpres. Sekian tahun negara ini telah memilih menunda menghukum mati bagi gembong narkoba namun hanya dalam lingkup 100 hari memilih menjadi presiden yang menolak pengampunan. Meskipun disinyalir mereka bersedia direhabilitasi seumur hidup.
Keputusan ini bukan keputusan politis, bukan keputusan hasil rapat dan dialog antar partai, bukan berkaitan pada intrik dan persaingan kekuasaan diparlemen. Ini murni idealisme Beliau bahwa demi masa depan generasi Indonesia, Gembong narkoba berhak mati. Alasannya:
Perang terhadap mafia narkoba tidak boleh setengah setengah karena Narkoba sudah merusak kehidupan baik. Kehidupan penggunanya maupun keluarga pengguna narkoba...
(Status beliau di FB JokoWidodo sesaat setelah eksekusi 5 orang gembong dilaksakan bulan lalu)
Sebagian besar rakyat mendukung. Desakan untuk mengeksekusi mereka begitu menggebu gebu, sebagian meminta untuk segera dipercepat, rata rata demi imej 'Tegas'.
Usaha dialog tertutup. Kesempatan memperbaiki diri tercoret. Indonesia bersikeras bahwa negri ini tidak main main soal penegakan hukum yang memang 'legal' menghukum mati gembong narkoba. Meski sangat melanggar prinsip prinsip HAM, Indonesia tidak mengindahkannya, demi 'keyakinan' bahwa Gembong harus mati demi menebarkan rasa takut kepada yang lain dan menyurutkan mereka. Akankah? (baca tulisan saya sebelumnya).
Sebenarnya saya ingin tertawa kalau memang ini persoalan penegakan hukum. Mohon jelaskan justifikasi diamnya Bp. Jokowi terhadap perilaku polri dan putusan Hakim Sarpin? Ini hanya simbol untuk mengarahkan, bahwa nilai nilai kita mudah sekali diaduk aduk sesuka hati. Parahnya, sesuka hati mereka yang punya 'senjata'.
Saya bukan sedang menjelekkan Pak Jokowi. Saya mengkritiknya. Juga, saya bukan membela gembong narkoba lepas dari jeratan Hukuman. Ketika membaca buku buku mengenai dunia mafia narkoba; Hotel K, Marching powder, buku2 mengenai sosok Schappelle Corby dsb. memberi kesadaran bahwa sistem hukum yang korup, penuh intrik dan suap menyertai dan terlibat besar dalam menentukan 'hidup matinya' mereka.
Buruknya moral dan sistem hukum penegak hukum kita sudah bukan rahasia lagi. Saya membela Indonesia untuk menentukan sebuah hukuman yang lebih bersih, adil dan beradab, berefek memberi kebaikan kepada kuatnya sistem dan masa depan negri ini. Bukan sekedar hukuman yang memuaskan rasa dendam, rasa amarah, rasa ketakutan yang pada akhirnya hanya justru memberi dosa kemanusiaan pada anak cucu nanti serta mengkrangkeng masa depan itu sendiri.
Memberi pengampunan BUKAN berarti negri ini tidak tegas. Tegas buat saya adalah membuka sejujur jujurnya proses peradilan mereka, mempertimbangkan hasil rehabilitasi mereka, memastikan para aktor penegak hukum adalah bersih tanpa usaha suap. Jika memang terbukti mereka adalah Psikopath, menyiksa keji,mengancam dan membunuh orang lain saya berjanji akan diam.
Jika memang proses rehabilitas mereka berhasil atau masih membutuhkan 10 tahun,20 tahun, 30 tahun, hukuman kompensasi berat lebih menguntungkan Indonesia, baik dari segi kehormatan, hukum bahkan kemanusiaan. Saya lebih pro kepada solusi 'bisnis kebaikan' yang tak sengaja ditawarkan Australia ketika 'mengungkit' bantuan yang pernah ia berikan.