“Maaf Bu, Ibu disuruh datang ke ruangan Kepala Sekolah, sekarang juga!”
“Terima kasih ya” jawab ku. “Anak-anak, Ibu tinggal sebentar ya! Kalian kerjakan lembar kerja hal 23!”
Saya meninggalkan kelas dan berjalan menuju ruang guru. Saat saya memasuki ruang guru, beberapa orang menatap saya dengan tajam. Saya mengetuk pintu ruangan Kepala Sekolah.
“Masuklah!” terdengar suara Kepala Sekolah dari dalam ruangannya. Lalu saya membuka pintu dan saya melihat seorang wanita muda yang cantik berumur sekitar 25 tahun. Pakaiannya sangat rapih, tapi saya melihat raut mukanya agak kemerah-merahan dan pandangannya tajam mengarah ke saya. Tiba-tiba dia menghampiri saya dan….plak.
Dia menampar muka saya sakali dan berniat menampar lagi tapi gagal karena saya menangkap tangannya.
“Kamu seorang guru, tapi kelakuan kamu sangat bejat, kamu binatang, sadis, pelacur murahan, tak tau malu, lepaskan saja kerudungmu itu! Memalukan saja. Sikapmu itu tidak sesuai dengan pakaianmu.” Katanya dengan nada tinggi dan penuh kemarahan.
“Maaf, Mba ini siapa yah?” tanyaku penuh keheranan. “perasaan kita belum pernah ketemu deh?”.
“iya, kita emang belum pernah ketemu. Tapi saya tahu siapa kamu, hai pelacur murahan”
“kayanya mba salah orang deh?” kataku
“Tidak saya tidak salah orang, karena muka kamu sama kaya yang ada difoto ini” lalu dia menyerahkan fotonya ke saya.
“Iya ini foto saya, dapat dari mana?”
“itu saya temukan didompet suami saya”
“Suami mba siapa?” tanyaku.
“Apakah kamu tidak bisa mencari laki-laki yang masih single atau duda? Sehingga tidak mengganggu rumah tangga orang lain. Sekarang saya minta kamu tinggalkan Mas Ian. Mas Ian adalah suami saya dan kami sudah memiliki dua orang anak”.
“Oh, mba istrinya Mas Ian toh, bilang dari tadi. Sekarang saya jadi ngerti. Tapi maaf permintaan mba tidak saya kabulkan. Saya akan tetap bersama Mas Ian. Saya mencintai Mas Ian.” Jawabku dengan senyuman yang sinis.
“Apa.. kurang ajar, perempuan brengsek, beraninya merebut suami orang. Langkahi dulu mayat saya kalau ingin mendapatkan Mas Ian” katanya dengan berusaha menyerang saya tapi kepala Sekolah mencegahnya.
“Tenang Bu Ian, tenang, tenang. Kita selesaikan ini dengan damai!” kata Kepala Sekolah. “Bu Nina, jangan seperti itulah, kasihan Ibu ini. Janganlah menganggu suami orang. Saya yakin Ibu pasti menemukan laki-laki yang jauh lebih baik!”
“Maaf ya mba, mau ga mau, mba harus menerima kenyataan ini, kalau mba ga setuju ya mba minta cerai aja sama Mas Ian.” Kataku masih dengan senyuman sinis.
“kurang ajar, brengsek, tak tau malu merebut suami orang”
“bukankah mba juga sama?” tanyaku
“apa maksudmu?”
“mba bilang saya merebut suami orang, bukankah mba juga dulu merebut suami orang. Padahal wanita itu sudah mengatakan bahwa Mas Ian dah punya istri dan anak. Tapi mba ga perduli dan tetap mengganggunya. Sehingga Mas Ian meninggalkan istrinya dan menelantarkan anaknya”
Wanita itu terdiam lalu “dari mana kamu mengetahui hal itu?”
“dari istrinya dan juga dari Mas Ian. “Mas Ian berkata bahwa dia menyesal karena telah bermain api saat itu, sekarang dia merasa ga bahagia hidup bersama mba karena mba terlalu mengekang dia. Tas kerja, dompet, saku celana, dan hp, mba selalu memeriksanya kan? Bahkan sekarang mba juga menyuruh berganti nomor telepon dan nomor teleponnya dia, mba yang gunakan, benarkan? Mas Ian mengeluh karena banyak nomor relasi yang tahu nomor itu. Dengan pekerjaannya yang sangat sibuk dia ga bisa menginformasikan bahwa dia berganti nomor.” Kataku dengan nada merendah.
Wanita itu terdiam lalu “saya lakukan semua itu karena saya takut dia direbut wanita lain”
“kenapa mba takut suami mba direbut orang lain sedangkan mba sendiri juga merebut suami orang? Apa yang mba tanam, mba juga yang akan memetiknya”. Kataku dengan tegas.
“saya tidak akan memetik apa yang saya tanam, saya akan membiarkanya disana. Kalau kamu masih bersikukuh mengganggu suami saya maka saya akan……”
Dia mengeluarkan sebuah pisau dan menyerang saya. Tapi saya berusaha melawan. Saya mendengar Kepala Sekolah berteriak minta tolong dan beberapa orang masuk keruangan Kepala Sekolah. Namun sayang mereka telat, darahpun mengalir. Sakit sekali rasanya. Saya mendengar mba itu berkata-kata
“ini balasan untuk kamu karena berani mengganggu Mas Ian”
Dengan suara pelan saya berkata “saya adalah istri Mas Ian, yang dulu meminta mba jangan mengganggu Mas Ian lewat telepon”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H