"Kamu benaran menolak Abimanyu, Ra?" bisik Danasti keesokan harinya. Entah siapa yang menyebarkan berita itu, faktanya hanya dalam hitungan jam gosip itu sudah meluas.
   "Gosip saja didengerin!" sahut Andara santai sambil membalik buku yang dibacanya.
   "Berarti enggak nolak dong! Kamu jadi..." Pertanyaan Danasti yang terlalu bersemangat terputus, karena peringatan penjaga ruang keramat kesukaan Andara, apalagi kalau bukan perpustakaan.
   Mereka sedang berada di surganya pencinta buku, menemani Mega yang masih sibuk mencari bacaan untuk tugas bahasa Indonesia. Mereka harus membuat sinopsis buku-buku Pujangga Baru. Andara memilih buku "Sukreni Gadis Bali" karya Anak Agung Pandji Tisna atau A.A. Pandji Tisna, seorang sastrawan dari Buleleng, Bali. Sejak kecil, Andara menyukai buku-buku lama, koleksi sang Ayah. A.A. Pandji Tisna adalah salah satu penulis kesukaannya, selain nama besar lain seperti Khairil Anwar, Marah Rusli, Sutan Takdir Alisjahbana, Kho Ping Ho, dan lainnya. Cara penggambaran kehidupan sosial masyarakat Bali menarik minatnya.
    Dibesarkan seorang laki-laki penyuka buku, membuat gadis itu ikut suka membaca, dan menulis. Selain itu, Andara juga suka melakukan petualangan bersama sang ayah, atau dengan teman-teman pencinta alamnya. Kegiatan itu dilakukan tidak sekedar menikmati pemandangan alam yang cantik, tetapi juga melihat kehidupan masyarakat sekitar dengan karakteristiknya masing-masing. Andara suka mempelajari keunikan masyarakat daerah yang dikunjunginya, setiap hari libur tiba. Kalau ayahnya sibuk, Andara tidak keberatan melakukan hobi berkelananya itu sendirian. Â
   Andara kecil bahkan pernah ke Bali seorang diri, ketika masih kelas delapan. Tentu saja itu bukan kunjungan pertamanya, dan ada tempat yang dia tuju untuk menginap. Rumah Pak Wayan, sahabat ayahnya yang sudah memperlakukannya seperti anak sendiri. Kebetulan Bapa Wayan, panggilan yang diminta laki-laki beranak tiga anak yang semuanya laki-laki. Kehadiran Andara selalu disambut hangat, dan menjadi hiburan tersendiri bagi mereka. Bli Devandra, bli Mahesa, dan Aditya si bungsu, serta meme Made, perempuan sederhana yang sangat menyayanginya. Sosok seorang Ibu, Andara dapatkan dari perempuan itu.
   Waktu kunjungannya dua tahun lalu, bli Devandra bahkan rela izin dari kantor untuk menjemputnya di terminal Mengwi Badung. Laki-laki berambut ikal itu tidak mau, Andara kebingungan mencari angkutan yang akan membawanya ke rumah mereka di daerah Gianyar. Bisa jadi, gadis kecil itu akan menjadi sasaran empuk oknum tidak bertanggung di terminal. Devandra sangat melindunginya, bahkan ketika pulang ke Jawa, laki-laki itu nekat mengantarnya sampai ke pelabuhan Ketapang, memastikan gadis itu mendapat bus yang membawanya kembali ke Jawa Tengah baru dia kembali. Tentu saja, Andara menerima perlakukan bli Devandra dengan senang hati. Kapan lagi dimanja? Meski anak tunggal, ayah tidak pernah memanjakannya.
   Seminggu ada di Bali, kedua kakak angkatnya itu bergantian mengantarnya jalan-jalan, ke mana pun yang Andara mau. Kalau hanya di seputar Gianyar, Andara bisa jalan-jalan sendiri, atau dengan Aditya yang sama-sama masih SMP. Hari kelima kunjungannya, keluarga pak Wayan mengajaknya berburu lumba-lumba ke pantai Lovina yang berjarak tujuh puluh kilometer lebih dari Gianyar. Untuk mengejar waktu matahari terbit dan munculnya lumba-lumba, mereka berangkat jam tiga pagi, lengkap dengan persediaan makan yang disiapkan Meme. Perjalanan yang menyenangkan, bli Devandra yang membawa kendaraan dengan Bapa Wayan di sampingnya. Andara dan Meme Made duduk di tengah, sementara bli Mahesa dan Aditya tertidur pulas di belakang. Andara tersenyum mengingat perjalanan terakhirnya bersama keluarga angkatnya bapa Wayan.
   "Ra, kok malah bengong!" Andara tersentak, di depannya Danasti menampilkan wajah cemberut.
   "Eh, kenapa?" tanyanya tidak paham. Pikirannya sempat melayang ke Bali, mengingat sikap manis ketiga saudara angkatnya.
   "Mikir apa, sih! Bengong muluk dari tadi?" desak Danasti penasaran.