Sebenarnya akhir-akhir ini sangat banyak isu akademik yang mencuat di publik, sayangnya isu tersebut digoreng dengan kepentingan politik. Alhasil, perdebatan isu yang terjadi hanya sebatas debat kusir yang tidak menemukan satu titik kejelasan. Pernyataan Rocky Gerung "kitab suci adalah fiksi" merupakan salah satu isu yang seharusnya bisa membuat anak bangsa makin berpikir kritis. Namun lagi-lagi isu tersebut digunakan untuk kepentingan politik.
Termasuk isu terminologi "kafir dan non muslim" yang akhir-akhir ini ramai jadi topik pembahasan. Harusnya kemunculan polemik ini dapat merangsang pikiran kritis orang banyak, khususnya yang bearagama Islam. Tapi lagi-lagi kepentingan politik menyerang dan membuat semuanya jadi tidak asyik.
Nah, karena asalan itu saya menahan diri untuk tidak ikut berbicara terkait "kafir non muslim" ini. Tapi ada satu hal yang membuat saya merasa berdosa jika tidak membicarakan ini. Adalah ketika dua orang ustadz terkenal yang saya rasa melakukan sedikit kesalahan ketika membahas kata "kafir". Kesalahan itu berkaitan dengan aspek bahasa Arab. Sebagai seorang santri yang mondok 6 tahun dan mahasiswa akhir di jurusan sastra Arab, izinkan saya untuk memberikan sedikit pandangan terkait kesalahan dua ustadz tersebut.
Ustadz yang pertama berinisial HH. Ketika diwawancarai oleh salah satu stasiun TV swasta, ia menjelaskan perbedaan makna  Kaafir dan  Kuffaar. Beliau mengatakan bahwa orang-orang kafir dan kuffar itu berbeda. Kafir adalah orang-orang yang tidak mempercayai Allah dan nabi Muhammad SAW. Sedangkan kuffar adalah orang menyerang "Allah dan nabi Muhammad SAW", yang dimaksud di sini yaitu Islam.
Setahu saya lafadz kafir dan kuffar dalam perspektif bahasa Arab hanya berbeda bentuk singular dan plural, mufrad dan jama', kafir itu bentuk mufrad (singular) sedangkan kuffar itu bentuk jama'(plural)nya.Â
Dan keduanya berasal dari akar kata yang sama. Bentuknya pun sama yakni "Isim fil", sebuah bentuk dalam bahasa Arab yang menunjukkan arti pelaku dari sebuah pekerjaan. Menulis ya isim fil nya penulis, membaca ya pembaca, dst. Entah bagaimana ceritanya bisa diartikan cukup berbeda oleh sang ustadz.
Lalu ustadz yang kedua berinisial TZ, dalam sebuah kajian dimana ia menjadi penceramah, sang ustadz juga membahas tentang kafir. Kata beliau kafir itu berasal dari kafaro-yukaffiru-kufron. Perlu diketahui bahwa dalam bahasa Arab ada pola derivasi kata yang sering disebut dengan istilah  tasrif. Bagi orang-orang yang memahami ilmu tasrif ini pasti tahu bahwa yang dituturkan oleh ustadz TZ itu keliru. Tasrif yang benar ya kafaro-yakfuru-kufron (Al-Munawwir, 1997: 1217).
Banyak pihak yang memperbesar kesalahan dua ustadz kenamaan ini. Bahkan ada yang cukup ekstrem dengan menganggap bahwa ustadz TZ tidak bisa nahwu-shorof. Padahal kan belum tentu juga. Siapa tahu beliau sedang keseleo lidah. Persis seperti beberapa santri yang grogi ketika ujian tasrif di hadapan ustadznya.
Namun seandainya benar kedua ustadz tersebut tidak menguasai ilmu nahwu-shorof (ilmu dasar gramatika bahasa Arab), saya rasa itu adalah sebuah kesalahan yang sangat fatal. Menurut hemat saya seorang ustadz, muballigh, harus menguasai dasar-dasar bahasa Arab karena sumber utama ajaran agama Islam kan menggunakan bahasa Arab. Kalau mereka berdakwah bermodal kitab terjemahan berbahasa Indonesia itu kan jadinya interpretasi si penerjemah.
Tiba-tiba saya teringat lagi dengan blunder seorang ustadz yang menyuruh seorang jama'ah membuka Surat Al-Isra ayat 176, padahal kan surat Al-Isra Cuma sampai ayat 111. Lalu dengan gamblang beliau mengakui sebagai mantan preman, mantan maling, ngga paham kitab kuning, kitab gundul, dan ditutup dengan sebuah pernyataan yang bikin saya meringis "emang gue pikirin."
Mudahnya mendapat julukan ustadz