Alhamdulillah cerpen kedua saya sudah tuntas. Judulnya pun sudah dapat. Entah bagus atau tidak itu urusan belakang. Insya Allah saya akan meminta beberapa orang untuk menilainya terlebih dahulu. Kalau pun nanti Kalian anggap jelek ya nggak apa-apa. Biar jadi masukan sekaligus tantangan buat saya agar bisa menulis karya dengan lebih baik lagi.
Sewaktu menulis cerpen tersebut saya sempat mengalami writer’s block.Bingung itu cerita mau diapain. Nggak tahu itu tokohnya enaknya dikasih nasib kayak gimana. Dan di saat itu seketika saya merasa jadi Tuhan (dalam cerita saya) yang lagi galau wkwkwk. Saya tahu benar bahwa dalam kondisi stagnan seperti itu, memaksakan diri untuk tetap menulis adalah pekerjaan mubazir. Jika hati tak bisa dipaksa mencintai, otak pun nggak senang apabila dipaksa memikirkan yang enggan dipikirkan. Saya shutdowngawai Lenovo hitam kesayangan saya dan membiarkan Steven Coconut bernyanyi dengan musik reggaenya.
Sembari bercumbu dengan musik-musik reggaesaya memandangi tumpukan buku di kamar kos satu per satu. Pandangan saya jatuh pada karya Puthut EA, “Kupu-Kupu Bersayap Gelap”. Itu adalah kumpulan cerpen karya Puthut. Saya meraihnya. Buku itu masih mulus meski tidak ada sampul. Saya membelinya di Togamas Kotabaru sewaktu ada diskon besar-besaran. Oh, diskon, kapan kau datang kembali menyambangi kami? Kami merindukanmu. Saya putuskan untuk membaca ulang cerpen-cerpen dalam buku tersebut.
Harus saya akui bahwa Puthut teramat piawai menuliskan cerita. Ia mensugesti pembaca seolah-olah menjadi bagian dari cerita tersebut, bahkan jadi tokoh utamanya. Saya berharap suatu saat nanti memiliki kemampuan seperti itu. Bila perlu melebihi beliau. Biar cerita yang saya buat bisa menghibur banyak orang, menginspirasi, dan dibeli banyak orang. Hehe. Biar saya bisa masukin nama kamu menjadi salah satu tokohnya. Ya, Kamu! Kamu yang lagi baca goresan ini. Doakan saya ya!
Sengaja tulisan ini saya awali dengan memuji Puthut EA karena apa yang sebentar lagi akan Kalian baca, saya dapatkan dari kutipan kumpulan cerpen beliau yang bertema (kalau nggak salah) benalu. Makna ekspilisit dan emplisit dalam cerita itu, menurut saya, dapat kita gunakan sebagai salah satu indikator mengidentifikasi sifat kita ataupun sifat orang lain. Meski saya akui, yang paling mengetahui tentang diri manusia adalah dirinya sendiri. Kita hanya bisa berasumsi dengan cara melihat gejala di permukaan. Yang harus kita pahami, asumsi itu bisa jadi benar, bisa juga sebaliknya. Itulah pentingnya tabayyun. Dan insya Allah Puthut EA, melalui perantara saya, sebentar lagi akan memaparkan tips tabayyunnya.
“Barang berkumpul karena jenisnya, manusia bertemu karena sifatnya”
Jika kita jalan-jalanke toko pakaian, misalnya, entah untuk belanja atau sekedar cuci mata, kita akan melihat banyak barang di pajang untuk menarik perhatian pengunjung. Baju akan di taruh di bagian baju-baju. Celana akan di taruh di barisan celana. Sepatu ya sama sepatu. Begitu seterusnya. Nggak mungkin ditumpuk, to?
Atau kemarin, waktu saya belanja ke Mirota (salah satu supermarket di Jogja). Waktu mencari parfum saya harus ke bagian rak parfum. Ketika hendak mencari mie saya harus membawa keranjang belanja ke bagian rak mie, dan saat ingin membeli sabun saya harus ke rak yang menyediakan sabun. Bahkan antara sabun cuci, sabun muka, dan sabun untuk badan raknya terpisah-pisah. Semuanya dipisahkan karena jenisnya. Sabun cuci ya sama sabun cuci, bertemulah Rinso, Daia, Attack wa akhawatuha.Sabun muka ya bareng sabun muka, ketemulah Garnier, Vaseline, Biore, wa akhawtuha.
Itu kalau barang, nah kalau manusia? Seperti kata mas Puthut, manusia bertemu, berkumpul, dan bergaul karena sifatnya. Homo sapiensyang suka nongkrong ya bertemu dengan yang suka nongkrong. Manusia yang hobi bermain musik pasti akan berkawan dengan mereka yang juga suka musik. Yang demenbaca buku akan nyaman dengan yang suka baca buku juga. Ringkasnya, yang suka hura-hura ya sama yang suka hura-hura, yang rajin bakalan sama yang rajin. Mereka yang punya sifat benalu akan dipertemukan dengan watak benalu, dan mereka yang bertanggung jawab akan bertemu dan bersahabat dengan yang bertanggung jawab jua.
Lah, terus, yang baik yang mana dong, Bang?
Di sini Abang nggak membahas baik atau buruk, Dek. Karena permasalahan itu sangat-sangat ghairu maudhu’i(subyektif). Lagian manusia kan punya prinsip hidup masing-masing. Yang suka jalan-jalan bisa jadi memandang hidup ini harus disyukuri dengan kebahagiaan yang terus terpelihara. Sedangkan yang serius berjuang memandang hidup ini sebagai lahan perjuangan sampai titik darah penghabisan. Selama mereka nyaman dengan kondisi tersebut kita tidak bisa menyalahkan. Biarkan saja! semua insan berhak menentukan pilihan dalam hidupnya.