Hanya satu yang akan menentukan apakah itu baik atau tidak, yaitu hati nurani. Setiap manusia pasti memilikinya dan hanya mereka yang bisa mendengar dan memahami hati nurani mereka sendiri. Ada kalanya hati nuranimu berbisik bahwa apa yang Kau lakukan ini baik atau buruk. Hanya saja, kalau hati kebanyakan karat lantaran sibuk mendengki pada hal-hal yang tidak produktif, suara hati nurani bisa jadi tak Kau dengarkan.
Terima kasih, mas Puthut! Njenenganmengingatkan saya pada sebuah ajaran kitab ta’limul muta’allimdi pesantren dulu.
عن المرء لاتسأل وأبصر قرينه # فإنّ القرين بالمقارن يقتدى
فإن كان ذا شرّ فجانبه سرعة # وإن كان ذاخير فقارنه تهتدي
Jika kau hendak tahu karakter seseorang jangan tanyakan padanya “hey, kamu tuh orangnya kayak gimana?”, tapi lihat siapa sahabatnya. Karena sesungguhnya sahabat itu pasti saling memengaruhi. Jika engkau lihat sahabatnya berkarakter buruk, segera menjauhlah. Namun jika kau melihat sahabatnya baik, bersahabatlah dengannya, niscaya engkau akan mendapat petunjuk.
Dulu, di pesantren, saya tidak berani membantah atau bertanya terkait doktrin ajaran ini. Tapi kali ini, izinkan saya mengakhiri tulisan ini dengan sebuah pertanyaan (yang bisa jadi akan saya jawab sendiri di tulisan selanjutnya, wkwk). Jika orang jahat kita jauhi dan orang baik kita dekati, apakah itu termasuk kebaikan yang egois? Yang hanya mementingkan kebaikan kita tapi tak acuh dengan kondisi orang lain? apakah ini termasuk doktrin yang berbau pragmatis? Hehe. Lalu, kalau orang jahat kita jauhi siapa yang bertugas meluruskannya agar kembali ke jalan yang benar?
Sabar dulu! Jangan langsung mengatakan syair ini tidak relevan, nanti Anda bisa dikatakan melakukan penistaan terhadap kitab tasawuf. Wkwk. Sya’ir ini dalam kitab ta’limul muta’alimterdapat pada bab fi ihtiyaril ilmi wal ustadzi wasyariki watsabati.Jadi konteksnya adalah memilih teman dalam belajar. Bukan teman dalam arti luas. Insya Allah di tulisan selanjutnya akan kita diskusikan.
IsyKarima!!! Hiduplah dengan Mulia!!
Jogja, 05 April 2017
07:27 WIB
Bang Izzu