Para pendiri negara kita adalah ulama-ulama jempolan. Mereka bukan orang bodoh. KH. Wahid Hasyim, KH Agus Salim, KH. Abdul Kahar Muzakkir. Beliau-beliau bukan ulama sembarangan. Beliau tahu mana yang terbaik untuk bangsa dan negara yang tidak bertentangan dengan agama Islam.
Lantas kenapa Pancasila diterima oleh kalangan ulama-santri? Karena Pancasila itu islami sekali. Kenapa demokrasi yang produk barat itu diadopsi Indonesia? Karena demokrasi barat sudah disintesis-kan dengan Pancasila dan melahirkan sistem demokrasi Pancasila. Dan demokrasi, sebagaimana kita ketahui, sudah islami sekali. Mulai dari memilih pemimpin, menjalankan roda pemerintahan, hingga mekanisme pengambilan keputusan, kesemuanya mengggunakan asas musyawarah. Dan Islam menganjurkan musyawarah. Kurang Islam apalagi Pancasila?
Kalau saya perhatikan sekilas, mereka yang tidak setuju dengan Pancasila kebanyakan berangkat dari ketidak puasaan terhadap implementasi dari amanat-amanat UUD 1945 dan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hukum yang masih tajam ke bawah tumpul ke atas. Keadilan yang selalu kalah dengan uang dan kepentingan. Hingga maraknya maksiat di sana-sini. Dan semua itu, menurut hemat saya, berada dalam ranah permukaan. Jadi jangan salahkan sistemnya, tapi orang yang menjalankan sistem tersebut. Bukan sistemnya yang harus diganti tapi orangnya yang harus direvolusi mental, kayak katanya Pak Jokowi.
Sejarah piagam Jakarta menjadi Pancasila bukanlah kekalahan umat Islam. Namun disitulah Islam berkorban dan mengutamakan kepentingan umat daripada keegoisan akan eksistensi agamanya sendiri. Para pendiri bangsa paham bahwa Islam yang terbaik adalah Islam rahmatan lil ‘alamin bukan rahmatan lil muslimin saja. Maka Islam harus mampu mengayomi kala jadi mayoritas dan bisa memposisikan diri saat jadi minoritas.
Kalau dulu resolusi jihad bagi ulama dan santri digaungkan dalam konteks mempertahankan dan memperjuangkan kemerdekaan. Maka kini saatnya berjihad sesuai keadaan dan zaman. Berjihad untuk mengisi kemerdekaan sekaligus menjaganya.
Santri bukan hanya mereka yang kerjaannya ngaji Qur’an tok tapi juga menghormati kala sahabat-sahabat Kristen tengah beribadah di Gereja. Santri bukan hanya yang diam di masjid saja tapi yang ikut berbahagia kala kawan-kawan Yahudi beribadah di Sinagog dengan aman dan nyaman. Santri bukan mereka yang hanya mencintai Islam tapi memiliki naluri pluralisme dan cinta damai. Mereka paham bahwa Islam adalah sikap, tindakan, dan semangat berbuat baik. Bukan keegoisan untuk diakui, berebut eksistensi, dan merasa diri paling benar. Perbedaan itu indah jika dipandang dengan hati yang damai dan penuh syukur.
‘IsyKarima!!! Hiduplah dengan Mulia!!
Jogjakarta, 23 Oktober 2016
07:03 WIB
Izzuddin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H