Sepi kurasakan dalam pelupuk desah
Yang merayap ditepi dinding hati
Kubalut luka demi sepenggal waktu dan sedetik kisah
Tertuang dalam denting yang tak berdetak
Dan rintihan yang tak terukir
[caption id="attachment_79059" align="alignleft" width="300" caption="google.com"][/caption] Senja mulai meninggalkan semburat merah di ujung kulon. Gelap pun menghampiri bumi yang semakin padat. Terlihat sosok gadis manis begitu gelisah mondar mandir didekat jendela. Dialah, Dinda! Malam itu pikiran Dinda mulai tidak karuan . Dia tidak bisa berfikir jernih tentang perasaan cinta kepada kekasih hatinya yang benar-benar dia cintai. Dinda benar-benar telah buta dengan cintanya. Dan ketika rasa sakit itu menyeruak di hati Dinda, karena ditinggalkan orang yang dicintainya, dia terjatuh dan putus asa.Sedangkan Dinda, telah diajarkan sejak kecil , kalau Allah membenci orang-orang yang putus asa. Bayangan Ibu, Ayah, Abang, serta kedua saudaranya berseliwiran tak bisa ditepis.
Apakah…..
Selamanya aku tak akan pernah dapat tuliskan kata bahagia
Karena kebahagiaan itu selalu menjauh
Haruskah setiap kata yang meluncur adalah kepedihan
Haruskah setiap kata adalah air mata yang mengering
Atau peluh yang harus bercucuran bersama gelap dan sepi
Dinda membenamkan wajahnya. Dia menangis diantara sunyi serta malam yang mulai beranjak menuju pagi. Ditangannya telah tergengam butiran obat tidur yang lumayan banyak. Dia berniat mengakhiri sakit atas sikap orang yang dia cintai. Dia lupa bahwa mencintai seseorang harus karena Allah. Saat Dinda ingin meminum obat-obat itu, sms masuk di hapenya.
“ Semoga Dinda baik-baik saja disana” pesan singkat dari abangnya Dinda yang jauh di pulau Aceh.
Dinda melempar obat tidur itu seraya menangis sekencang-kencangnya. Dia menyadari seandainya dia bunuh diri, bukan kebahagiaan yang dia berikan kepada orang-orang tercinta, tapi sebuah duka yang lebih sakit yang mereka rasakan.
“Berbisiklah kepadaku Tuhan, tentang dongeng-dongeng kebahagiaan yang tak tertulis. Tentang mimpi-mimpi indah dan harapan. Tuhan…bebaskanlah aku kedalam sebuah alam. Tempat dimana terdapat angin berhembus membelai dedaunan. Tempat dimana bintang-bintang bertaburan menghiasi malam”.
Setelah Dinda menguasai dirinya kembali, Dia melangkah menuju kamar mandi dan berwudhu. Ada ketenangan yang tersirat dari wajah Dinda.Kemudian, dia meraih mekena yang telah lama tak disentuhnya. Dia mengadukan semua beban kepada yang maha Agung dan memohon ampunan.
***
Pagi belum sepenuhnya usai pergi. Dan, sinar matahari juga belum cukup kuat mengeringkan sisa embun semalam. Di antara kelembutan waktu itulah Adinda meneteskan air matanya. Sayangnya, air mata keharuan itu tidak bisa kuseka dengan jemari ini. Jarak membuat dadaku ikut mendesak keharuan yang serupa. Malam itu, Dinda berterima kasih kepada Abangnya, karena telah memberi nasehat yang begitu berharga di hidupnya.
"Dik, kebahagian abang jika Dinda bahagia dengan perbincangan ini." Kalimat ini masih belum ingin ku kirim. Jemariku menyeka bulir air mata di pipiku sendiri. Tapi sungguh, tangan ini bagai menyeka bulir air mata Dinda. Akhirnya ku lanjutkan mengetik pesan yang tanpa perlu ku baca lagi langsung ku tekan tanda “send” yang tertulis di hape.
"Dik, apa yang Dinda sudah lalui tempatkan ia sebagai buku terbuka. Buku yang masih akan terus Dinda tulis lagi. Dinda, yang namanya buku, seburuk apapun isinya jangan pernah dibakar karena ke depan kita butuh setiap bacaannya. Kini pun Abang telah menjadi pembaca dari buku hidupmu." Kali ini, air mata ku kembali menetes. Padahal sudah ku kuatkan hati. Sambil kembali menyeka batinku bicara "mungkin Dinda juga sedang meneteskan air matanya." Akhirnya, ku tutup pesan itu dengan kalimat yang tidak kuasa ku tahan: "Izinkan juga abang meneteskan air mata karena tulisan baru di bukumu sudah mulai Dinda tulis dengan tinta kebajikan. Terus bertahan dan sikapi dinamika lebih lanjut. Seperti nelayan menyikapi gelombang samudera. Dia tidak pernah meninggalkan laut walau ia tahu laut terus saja bergelombang dan bisa saja penuh badai." Entah kekuatan apa yang kembali membimbingku untuk menemukan pesan Dinda sebelumnya. Rasanya pesan itu mengandung kabar yang sangat indah. "Dalam doa Dinda bermunajat kalau dia bukan yang terbaik buat Dinda, jauhkanlah dan kalau dia terbaik buat Dinda, dekatkanlah. Ternyata Allah sayang sama Dinda. Dia menjauh. Sakit memang. Tapi inilah juga awal kebahagian yang membuat Dinda selalu bersyukur kepadaNya.." Sungguh kalimat yang mendebarkan detak spiritual. Dinda akhirnya menemukan sandaran kekuatan cinta yang semestinya setelah meneguk air pengetahuan hidup di tebing hidup yang curam. "Dik, jangan pernah mengutuk kisah hidup karena ia hanya melahirkan kebencian pada diri kita. Sepahit apapun pelajaran cinta yang engkau lalui dia adalah juga pelajaran yang bila kita petik kebajikan dengan cara yang baik kita tidak akan pernah menjadi pembenci dan pengutuk pohon kehidupan. Sungguh, semua berasal dan seizin-Nya. Dan, atas izin-Nya jua Dinda mengeluarkan butir air mata pencerahan jiwa. "
Setelah Dinda , membaca pesan dari abangnya, dia mulai tersenyum dan menata hati kembali untuk selalu belajar iklas menerima kenyataan hidup yang kadang jauh seperti yang diharapkan. Dinda sangat bersyukur mempunyai abang yang sangat penyayang dan pengartian. Seandainya saja dia tidak membaca pesan singkat abangnya mungkin malam itu dia akan menjadi orang yang paling berdosa karena mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.
* Cerpen ini juga dimuat di majalah IQRO Edisi 50 yang terbit di Hong Kong *
By: Kine Risty V Risman Rachman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H