Setiap tanggal 10 Desember ditetapkan sebagai Hari Hak Asasi Manusia secara internasional setiap tahunnya. Hal ini merujuk pada 74 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1948, di mana Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia diadopsi oleh Majelis Umum PBB di Palais de Chaillot, Paris untuk menandakan pentingnya membela hak kolektif kita sebagai manusia, terlepas dari ras, agama, usia, dan perbedaan pemersatu atau pembeda lainnya.
Itu sebabnya tanggal 10 Desember merupakan hari terpenting sedunia untuk mengingatkan kita kembali pentingnya memperjuangkan hak kita sebagai manusia, bahwa kita secara individu atau kolektif, tidak peduli siapa kita atau di mana kita dilahirkan, berhak atas hak dan kebebasan dasar yang sama. Para aktivis Hak Asasi Manusia bahkan tidak segan-segannya menyuarakan jargon "setiap hari adalah hari Hak Asasi Manusia".
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tersebut berisi 30 pasal, mulai dari hak kebebasan dan kesetaraan hingga hak menikah dan membangun keluarga. Sayangnya, memperjuangkan setidaknya 30 Hak Asasi Manusia yang sudah diakui oleh Majelis Umum PBB tersebut dalam prakteknya di kehidupan sehari-hari, tidak semudah membalikan telapak tangan.
Bercermin pada data kasus kekerasaan dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) milik Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia memaparkan bahwa pada tahun 2020 jumlah korban kekerasan mencapai 20.501 kasus, meningkat pada tahun 2021 dengan jumlah 25.210 kasus, dan tahun 2022 berjumlah 23.294 kasus.
Selain itu, data dari perusahaan keamanan siber Surfshark memaparkan kasus kebocoran data di Indonesia pada kuartal III tahun 2022 mencapai 12,74 juta akun. Menempati posisi negara ketiga dengan jumlah kasus terbanyak.
Kondisi ini jelas telah mencoreng dan melanggar Hak Asasi Manusia yang tertuang dalam deklarasi HAM terutama pada pasal 3 yang berisi hak atas hidup, keamanan dan kebebasan, pasal 5, yaitu hak untuk bebas dari tindak penyiksaan, serta pasal 12, yaitu hak atas privasi.
Kasus-kasus tersebut bahkan hanya sebagian kecil bukti nyata dari kurangnya perhatian dan kepedulian dari pemerintah maupun diri kita sendiri akan pentingnya memperjuangkan hak dasar kita sebagai manusia yang secara kodrat sudah melekat dan tidak dapat diganggu gugat.
Hari penting 10 Desember ini seakan terasa hanya sekadar hari memperingati Hak Asasi Manusia saja, tapi tidak ada perjuangan dan perubahan untuk menjaga hak-hak tersebut dari tahun ke tahun. Hal ini pun dapat dipicu oleh dua faktor, yaitu kurangnya pemahaman dan ketidakpedulian pemerintah serta diri kita sendiri terhadap pentingnya memperjuangkan Hak Asasi Manusia.
Jumlah data kasus-kasus pelanggaran HAM dan stigma negatif terhadap HAM yang dinilai hanya sebagai bentuk propaganda politik saja ini membuat sebagian masyarakat tutup mata akan rendahnya kepedulian kita terhadap isu ini. Belum lagi kecenderungan sifat kita sebagai manusia yang tidak peduli dengan hal-hal yang tidak atau bahkan belum mempengaruhi kita secara pribadi.
Faktanya, data dari Direktorat Jenderal HAM (DJHAM), Kementerian Hukum dan HAM RI mencatat terdapat 1.068 pengaduan HAM pada tahun 2022 dan hak memperoleh keadilan dengan jumlah pengaduan terbanyak berdasarkan kategori 10 hak dasar (UU 1945 No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia). Ini bukti bahwa Hak Asasi Manusia kita sebenarnya telah dilanggar setiap harinya. Kita hanya tidak menyadarinya karena kurangnya pemahaman kita terhadap hak kita sendiri.