Mohon tunggu...
Kebijakan

Tembang Perawat Kebencian

29 Mei 2018   10:00 Diperbarui: 29 Mei 2018   10:28 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selubung agama kerap kali menjadi tameng bagi para pelaku aksi intoleransi dalam menyebarkan ideologi mereka kepada calon penerusnya. Berbagai wahana ditunggangi oleh mereka; tak terkecuali hal yang sejatinya memberikan pengalaman bahagia ketika didengarkan, yaitu musik.

Ratmi (nama samaran) kala itu sedang duduk di serambi masjid. Ia sedang mengawasi anaknya yang mengikuti kegiatan rutin taman pendidikan Alquran. Warga kampung tempatnya tinggal memanggil penceramah khusus untuk mengisi kegiatan anak-anak di sana selama bulan Ramadan. "Anak saya sekolah di negeri, pendidikan agama kurang. Jadi saya suruh ngaji biar tambah pintar agamanya", ujarnya.

Seusai buka puasa pertama pada Kamis (17/5), Ratmi menanyakan kepada anaknya apa yang diajarkan oleh penceramah tersebut. "Diajarinnyanyi-nyanyi soal orang kafir", kata Ratmi santai saat ditemui di rumahnya pada Minggu (20/5) sore. 

Ratmi lalu memanggil sang anak dan bertanya apa yang dimaksud dengan orang kafir. Bocah delapan tahun itu dengan fasih menjabarkan definisi kafir sebagai kelompok yang tidak mendirikan shalat dan berpuasa sehingga mereka dipenuhi dengan dosa. "Tapi Bu Umi (nama samaran) bilang harus bantu juga kalo ada kesulitan", ujarnya sambil berlalu.

Ratmi tidak mempermasalahkan hal tersebut selama anaknya tidak menunjukkan bentuk perilaku negatif kepada orang yang berbeda agama. Ia berujar jika sedari dulu telah menekankan untuk saling menghormati dan berteman baik dengan mereka karena satu alasan yakni kemanusiaan. 

Menurut Ratmi, nyanyian yang diajarkan di tempat mengaji hanyalah sekedar nyanyian. Ajaran yang telah ditanamkan oleh mereka niscaya tidak akan patah oleh sebuah lagu.

Lain halnya dengan Suprapti (nama samaran), ia mengalami hal yang sama kurang lebih setahun yang lalu. Ketika itu ia menjatuhkan pilihan pendidikan dini anaknya di sebuah lembaga PAUD berbasis keagamaan. Lazimnya pada pendidikan dini, mereka diajarkan untuk bernyanyi tapi bukan dengan sembarang lagu. Isi liriknya berkisar dari jihad hingga penolakan terhadap keberadaan kelompok lain. 

"Anak saya didoktrin jika ciri orang kafir adalah orang yang mempertontonkan aurat", sahutnya. Si anak menolak jika dijemput jika sang kakak menggunakan celana pendek; bahkan mengusirnya karena malu betis dan lutut kakaknya terlihat.

Pemaknaan dan Standar Ganda

Pada beberapa sekolah dengan jenjang pendidikan lebih tinggi, kegaharan intoleransi bahkan sudah mengarah ke radikalisme keagamaan serta perlahan namun pasti mengerogoti keberadaan Pancasila. 

Salah seorang siswa kelas XI di salah satu SMK negeri Kota Yogyakarta berujar jika sekolahnya tersusupi oleh ideologi radikal. Hari (nama samaran) secara gamblang menjelaskan kalau lagu Indonesia Raya merupakan lagu kafir karena penciptanya berasal dari kelompok tersebut. "Guru agama saya sering mematikan mikrofon kalau ceramah sholat Jumat, baru nanti mulai ngomongin agama lain sama Pak Jokowi".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun