Mohon tunggu...
Kebijakan

Tembang Perawat Kebencian

29 Mei 2018   10:00 Diperbarui: 29 Mei 2018   10:28 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Senada dengan Hari, Imas (nama samaran) siswa kelas X mengatakan jika sekolahnya bahkan lebih genting. Terlebih karena basis keagamaan, porsi ilmu wawasan kebangsaan menjadi timpang dibanding dengan ilmu agama. 

"Dulu kata kakak angkatan, Kewarganegaraan sering gak masuk gurunya, jadi kami kadang kesulitan kalau ujian soal UUD 45 dan pasal-pasalnya". Imas juga menambahkan, kegiatan ekstrakurikuler seperti qasidah dan hadroh sering menampilkan lagu bertema semangat berjihad dan perjuangan rakyat muslim Palestina.

Laila (nama samaran) siswa kelas XI sebuah sekolah di Yogyakarta yang mengadopsi sistem asrama mengatakan jika gurunya mengutuk bom bunuh diri di Indonesia, namun jika di Timur Tengah hal tersebut merupakan tugas mulia. Para siswa juga digiring jika gerombolan teroris Indonesia berasal dari penganut Syiah. 

Laila menjabarkan upaya menggiring opini mereka dilakukan melalui kajian-kajian soal terorisme dengan menggunakan sudut pandang kontra pemerintah. Mereka juga diminta membangun argumentasi, meskipun pada akhirnya dikoreksi oleh guru-guru mereka.  

Berdasarkan pada penyidikan Polri ditemukan jika tidak ada campur tangan Syiah dengan rangkaian aksi terorisme di Indonesia, bahkan mereka justru menjadi target serangan kelompok radikal. Hal lain yang Laila yakini adalah berjihad di Palestina dan Suriah merupakan jalan kebenaran menuju surga karena keadaan perang yang terus membelenggu kedua negara tersebut. "Meledakan diri untuk menyelamatkan orang banyak, pahalanya insya Allah surga".

Salah satu sekolah menengah atas ternama di Yogyakarta memiliki aturan keagamaan sangat ketat, sekalipun menyandang status sekolah negeri. Vania (nama samaran) seorang alumnus SMA tersebut menggambarkan ketatnya aturan tersebut hingga menyebabkan jurang pemisah antara siswa muslim dan non-muslim. "Ketat banget, gak kayak sekolah negeri kebanyakan. 

Guru agamanya juga ketus sama yang non-muslim", jawabnya ketika ditemui di kampus pada Jumat (25/5) siang. Salah satu contohnya adalah bisik-bisik antara guru dan murid jika komunitas di luar muslim melakukan kegiatan keagamaan. Vania mendengar langsung ketika salah satu guru mencerca dan tidak mengizinkan kegiatan tersebut berlangsung sesuai dengan kesepakatan di awal yakni dari pukul 17.00 WIB hingga pukul 20.00 WIB. Alasannya sekolah bukanlah rumah peribadatan sehingga mereka harus tahu diri dalam menuntut hak-haknya. 

Mengutip dari wawancara Disdikpora DIY Kadarmanto Baskara dengan Koran Tempo Edisi Senin (8/7/2013) adalah wajib hukumnya bagi seluruh sekolah di Yogyakarta untuk memutar lagu kebangsaan serta bagi sekolah negeri tidak boleh ada larangan kegiatan keagamaan lain di wilayah sekolah tersebut.

Akankah persatuan dan kesatuan yang susah payah diraih oleh pendahulu kita dihapuskan hanya karena menganggap kaumnya memiliki strata lebih mulia dibanding dengan kelompok lain? 

Lagu-lagu kebangsaan yang seharusnya menjadi sebuah alat perajut benang kebhinekaan, alih-alih dikambinghitamkan sebagai produk kafir dan harus ditolak habis-habisan; sedangkan senandung keagamaan yang konon bisa menjadi sarana terapeutik penenang jiwa, malah dipenuhi ujaran kebencian. Apa sebenarnya yang terjadi dengan negeri ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun