Judul Buku: AKU : Berdasarkan Perjalanan Hidup dan Karya Penyair Chairil Anwar
Penulis: Sjuman Djaya
Penerbit : PT Metafor Intermedia Indonesia
Cetakan : II, 2003
Tebal : xii +155 hlm
"Bom atom pertama meledak di kota Hiroshima. Langit berselaput awan cendawan berbisa. Ketika memburai awan ini, bumi laksana ditimpa hujan salju yang ganas. Gedung-gedung beton runtuh. Aspal-aspal jalan terbakar menyala. Bumi retak-retak berdebu, di segala penjuru. Dan beribu tubuh manusia meleleh, tewas atau terluka. Seekor kuda paling binal, berbulu putih dan berambut kuduk tergerai, berlari di pusat kota, Jakarta! Tidak peduli pada yang ada, sekelilingnya, juga tidak pada manusia. Dia meringkik alangkah dahsyatnya, menapak dan menyepak alangkah merdekanya. Dunia ini, seolah cuma menjadi miliknya! Dan sekaligus seolah dia bicara:
kalau sampai waktuku
kumau tak seorang kan merayu
tidak juga kau
tak perlu sedu sedan itu
aku ini binatang jalang
dari kumpulannya terbuang
Gaung suara ini seolah membelah langit, membelah bumi. "
Adegan-adegan film yang tergambar dalam skenario ini tak sempat diwujudkan oleh sang penulis sekaligus sutradara, Sjuman Djaya. Niatnya untuk mewariskan semangat penyair besar yang dikaguminya, Chairil Anwar, bagi para penikmat sinema tak pernah jadi nyata. Namun, tak dapat disangkal bahwa skenario ini merupakan salah satu karya terpenting Sjuman Djaya yang menempatkannya di jajaran para seniman besar Indonesia.
Siapa yang tak kenal dia. Binatang jalang dari kumpulannya yang terbuang. Ia sempat terpinggirkan ketika zaman Jepang. Perang yang terus berlangsung tidak membuatnya gentar dan lantas menyurutkan semangatnya untuk berkarya. Sosok penyair bohemian yang rindu akan kebebasan, sempat merdeka meski belenggu penjajahan mengkungkung.
biar peluru menembus kulitku
aku akan meradang menerjang
luka dan bisa kubawa berlari,
berlari
hingga hilang pedih peri...
dan aku akan lebih tidak peduli
aku mau hidup
seribu tahun lagi!
Sederet larik di atas, dengan kata sederhana namun mampu memberikan energi dan kekuatan bagi mereka yang mendengarnya. Dia sang penyair liar, Chairil Anwar. Kehidupannya yang amburadul dan anti kemapanan tak membuatnya gerah menghadapi rumitnya saat-saat ia menapaki bumi ini. Kehidupan setiap orang memiliki warna-warni berbeda dan hal itulah yang justru membuat hidup ini terasa manis.
Seperti kehidupan Chairil yang juga sosok manusia biasa, ia ingin berteriak pada dunia bahwa ‘aku’ ingin bebas dari segalanya. Merdeka! Kendati bebas, ia lantas tak hanya berpangku tangan melihat situasi kondisi lingkungan dimana ia tinggal. Setiap untaian kata yang keluar dari mulutnya dan goresan tinta di secarik kertas buram, mampu membuatnya menelurkan sajak-sajak yang kelak akan membuat dirinya dikenang menjadi maestro penyair terkemuka angkatan ‘45 dalam sejarah kesusastraan Indonesia.
Alur cerita kehidupannya menceritakan bahwa dia adalah sosok penyair yang fenomenal. Hal itu tidak didapatkan begitu saja olehnya. Meminjam kata-kata Iwan Fals, bukan tujuan yang dicari tapi prosesnya. Itulah yang dilakukan oleh Chairil dalam hidupnya, meskipun akhirnya dia meninggal saat usianya masih terbilang muda. Orang-orang tak ada habisnya membicarakan karya-karyanya dan kehidupannya. Dia mampu menghilangkan ketakutan terhadap Jepang kala itu dan mengubahnya menjadi senjata untuk kreatif dalam kata-kata sajaknya. Proses hidup yang terus dijalani mampu memberikan cerminan realitas dirinya pada saat itu. Hidup yang tak monoton, berliku-liku, tak mudah ditebak dan penasaran.
Proses hidupnya itulah yang membuat Sjuman Djaya menulis skenario tentang kisah perjalanan dan karya-karya penyair Chairil Anwar. Judul sajak “AKU” karya Chairil telah membuat pemerintahan Jepang kala itu sempat gentar dan ketakutan karena isi liriknya yang membangkitkan semangat pemberontakan dan keberanian para pejuang Indonesia. Hingga akhirnya Jepang mengubah judulnya menjadi “Semangat” untuk mengaburkan sajak itu.
Skenario yang belum sempat dibuat filmnya -karena keterbatasan ruang dan dokumentasi saat itu- tak membuat kesegaran isinya hancur remuk hingga hilang bentuk. Malah sebaliknya, sederetan kata-kata dalam skenario dibawakan dengan apa adanya ini menimbulkan kebaruan. Referensi yang dicari dari berbagai sumber -teman sesama penyair, keluarganya dan orang-orang yang merasa kenal dengan dirinya- membuat naskah ini kelihatan hidup dan berbobot.
Buku ini memuat skenario perjalanan hidup penyair Chairil Anwar, mulai dari masa-masa kecilnya bersama nenek dan ibunya, ketika beranjak menjadi pemuda liar, dan masa di mana ia sempat angkat senjata untuk berjuang melawan penjajah, hingga pembuktian kedewasaannya melalui kisah cinta romantis bersama wanita-wanita yang pernah hidup dengannya. Begitupun ketika TBC merenggut nyawanya.
Sjuman Djaya mengambil sosok Chairil menjadi pelaku utama dalam sandiwara ini. Rasa senang, sedih, angkuh, dan marah diungkapkannya secara apik. Buku ini -lebih cocok dikatakan sebagai skenario- sangat nyaman dibaca karena pilihan diksi yang sederhana. Begitu juga sajak-sajak Chairil, sederhana tapi tak menghilangkan makna. Karya Chairil dan Sjuman Djaya masih terdengar gaungnya hingga sekarang. Meski keduanya telah tiada, namun karya-karya mereka masih tetap bisa kita nikmati dan rasakan. Teringatkan sebuah pesan bahwa yang terpenting bukanlah bagaimana dia meninggal, namun bagaimana ketika mereka saat hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H