Miftah Maulana Habiburrahman atau yang biasa dikenal dengan Gus Miftah, adalah seorang pendakwah yang belakangan ini menjadi perbincangan di kalangan warganet. Nama Gus Miftah menjadi sorotan semenjak video viral yang menunjukkan dirinya sedang mengolok-olok penjual es teh. Saat acara berlangsung, penjual es teh terlihat menawarkan dagangannya. Hal ini menarik perhatian Gus Miftah, yang kemudian menegur si penjual es teh tersebut. "Es tehmu sih akeh (masih banyak) enggak? Ya sana jual gob*ok. Jual dulu, nanti kalau belum laku ya udah, takdir," tutur Gus Miftah.
Saat menggunakan media sosial, kita perlu memahami apa yang dimaksud dengan pilar literasi digital. Pemahaman ini akan membantu kita berinteraksi secara lebih bijak dan bertanggung jawab dalam dunia maya. Pilar literasi digital yang pertama akan kita bahas adalah digital skill. Dikutip dari marketeers.com, digital skill adalah keterampilan teknis dalam penggunaan alat teknologi secara tepat, yang memungkinkan individu untuk meningkatkan kemampuan kerja, produktivitas, kreativitas, dan profesionalisme mereka.
KH Muhammad Yusuf Chudlori atau Gus Yusuf menyebutkan bahwa kata-kata kasar yang ditujukan kepada penjual es teh dalam video tersebut hanyalah candaan biasa. Gus Yusuf menjelaskan, "Cara komunikasi Gus Miftah memang sering kali berupa guyonan seperti itu, yang mungkin bikin kaget sementara orang." Dari perspektif digital skill, Gus Miftah berhasil mencuri perhatian warganet. Namun, di balik semua itu, terdapat tanggung jawab yang perlu diperhatikan. Digital skill tidak hanya berkaitan dengan menarik perhatian, tetapi juga dengan memahami konsekuensi dari tindakan kita di dunia maya.
Membahas pilar literasi digital yang kedua, yaitu digital ethics. Menurut Siberkreasi & Deloitte (2020), digital ethics adalah kemampuan individu dalam menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan, dan mengembangkan tata kelola digital ethics dalam kehidupan sehari-hari. Keberadaan digital ethics justru memfasilitasi individu dalam mengelola perilaku mereka di dunia maya, sehingga dapat mengurangi tindakan negatif seperti bullying atau penyebaran informasi palsu.
Dalam konteks digital ethics, tindakan yang dilakukan oleh Gus Miftah sebaiknya dihindari karena dapat menjadi contoh negatif bagi warganet. Digital ethics mengajarkan kita untuk berkomunikasi dengan rasa hormat, serta mempertimbangkan dampak dari setiap tindakan yang kita ambil di dunia maya. Oleh karena itu, sangat penting bagi tokoh publik seperti Gus Miftah untuk memahami dan menerapkan prinsip-prinsip digital ethics agar interaksi di ruang publik tetap bersifat positif.
Pilar literasi digital yang terakhir akan kita bahas adalah digital culture. Mengutip dari kumparan.com, digital culture atau budaya digital merujuk pada bagaimana teknologi digital dan internet membentuk cara baru dalam berinteraksi sebagai masyarakat. Kita diajak untuk memahami pergeseran budaya yang terjadi dalam konteks digital di Indonesia. Di era digital yang terus berkembang, pemahaman tentang digital culture membantu individu beradaptasi dengan perubahan teknologi. Dengan memahami digital culture, kita dapat berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif di berbagai platform, yang pada gilirannya dapat memperkuat hubungan sosial.
Dalam situasi ini, tindakan Gus Miftah mengundang berbagai reaksi di media sosial, di mana banyak orang mengekspresikan pendapat serta komentar mengenai perbuatannya. Digital culture mendorong warganet untuk berbagi pandangan mereka secara terbuka, sehingga apa yang awalnya dianggap sebagai candaan dapat bertransformasi menjadi perdebatan. Hal ini mempertegas pentingnya kesadaran akan norma dan nilai, di mana setiap tindakan dapat dengan cepat menyebar dan memengaruhi citra seseorang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H