“Daun. Aku tahu, saat ini kau sedang memanjakan dirimu pada ranting. Tergantung-gantung, santai, menebar pesona.
Daun. Aku pun tahu, saat ini juga, di saat yang bersamaan, kau sedang berusaha keras. Dengan genggamanmu yang rapuh, kau bertahan dari terpaanku. Kau selalu kembali dengan tunas-tunas yang lebih rapuh. Patah. Patah lagi. Lagi patah. Lagi-lagi patah. Patah patah lagi. Patah lagi patah. Lagi patah lagi. Lagi, lagi, lagi dan patah, patah, patah.
Daun. Aku jualah yang teramat tahu dan paham betul, kau membenciku. Aku yang membuatmu bimbang. Aku yang membuat prinsipmu yang pada dasarnya mudah terkikis itu, tumbang. Aku hanyalah jawaban pada mimpi gelapmu saat petang.
Daun. Walaupun begitu, kau harus tetap mengakuiku. Aku jualah yang paling tahu, bahwa hanya akulah yang pantas memperhatikanmu. Hanya akulah yang sanggup menerbangkanmu.
Karena aku tahu;
Di sebuah tempat yang mungkin tak kau kenal. Di sana sangat miskin kata ‘Kesuburan’.
Maka akulah yang akan membawamu, menyatukanmu dengan tanah itu. Melebur, menjadikannya belahan jiwamu. Karena kau adalah daunku yang malas menyapa dunia. Karena kau adalah daunku yang paling egois dalam bercinta.”
30 Agustus 2016 10:09:19
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H