“Aku tidak mau sekolah di Madrasah!!” teriak gadis itu sembari membanting pintu kamarnya.
Pondok itu sepi, di tempat tersunyi bumi ini. Hanya ada satu dua rintikkan hujan yang menjelajah jendela kamar itu. Gerimis membisu dalam hari. Mata gadis itu tak kalah mencairkan kristalnya.
“Kamu mau jadi apa hah?” teriak lelaki setengah baya itu menggelegar dari luar ruangan.
Gadis itu tersipu pilu di balik cahaya lampu temaram ujung senja. Mendung tak dapat membendung cahaya keemasan itu. Terdengar guncangan besar menabrak pintu yang telah terkunci ratap.
Mata gadis itu terbelalak lebar melihat malaikat bersayap hitam itu bermandi darah pada lengannya, baru saja ia mendobrak pintu itu. Satu sentuhan kasar menyentuh pipi putih nan halus itu.
“Mita, Mita. Percuma kamu pintar kalau tidak pernah menuruti kata orang tua. Dasar anak pembangkang,” kaki itu mendarat dengan keras ke bahu Mita. Mita tersungkur dengan simbahan melas. Wajahnya penuh peluh menahan sakit.
Lelaki itu beranjak menjauh selepas melihat putrinya bersimbah darah dari kedua lubang pernafasannya. Terkesan darah dari lengan ayahnya, Mita tatap dengan sayu.
Hujan semakin lama makin menyayat dengan deras. Sore itu semuanya pilu, terlebih melihat lelaki itu kemudian digulung wanita berambut lembut. Tidak, itu bukan ibunya. Itu wanita lain yang mengerjap keindahan keluarganya.
“Bukankah Tuhan itu esa? Bukankah Tuhan itu penyayang? Tapi kenapa Ia melimpahkan ini semuanya padaku? Kenapa harus aku? Padahal aku selalu berdoa, aku selalu menyembahnya, aku juga selalu bersyukur. Aku lelah Tuhan! Kamu itu ada atau tidak di sini? Aku tidak percaya padamu lagi!!” ucapnya dengan tangis kering.
“Mit!!” suara itu menggertak lamunnya. Mita hanya tertawa simpul mengingat kejadian hari itu.
“Buruan ayo berangkat,” Jodi menyengit dengan dahinya. Mita beranjak menggelayut ke motor besar itu.
“Kamu bego, Mit.” Mita membalas ucapan itu dengan pukulan keras tepat di helmnya.
“Kamu yang bego!! Ngapain kamu pakai helm segala?hahaha. Tumben bapak ganja pakai helm? Mau ke mana pak?” ucapnya mengejek Jodi.
“Bokap bilang hari ini ada razia di persimpangan depan,” jawabnya manyun.
“Oh iya, aku lupa. Kamu kan anak polisi ya. Hahaha,” sindirnya.
“Apaan, sih? Mending diam, kalau nggak aku turunin entar di jalan!”
“Ampun, pak bos,” ucapnya berteriak berusaha mengalahkan suara angin.
Mereka menjelajah jalan dengan senyum lebar. Kerudung Mitta terhempas angin mengibas udara. Memang ia tak pada awalnya keberatan untuk sekolah di Madrasah, tapi kini lihatlah ia sedang menuju sekolahnya itu. MTs Mangku Bumi.
Mita bergegas turun dari motor itu sesampainya ia di gerbang sekolah penuh jati itu.
“Thanks ya Jod,” ucapnya berlari sembari melambaikan tangannya.
Jodi bergegas menarik gas mesinnya itu, melesat dengan kecepatan tinggi. Beda sekolah memang, tapi sepertinya Jodi tidak pernah merasa keberatan untuk mengantarkan Mita setiap harinya.
Pagi ini ia datang tepat seperti biasa menuju kelasnya yang lenggang, tapi ia dapati seorang berparas asing duduk sendiri di sudut meja itu. Saat itu ia harus bergegas membersihkan kelas sebelum anak-anak datang. Ia piket hari ini.
“Hay! anak baru, ya?” tanyanya dari kejauhan sembari melirik anak lelaki itu.
“Iya. Kamu piket?” tanya anak lelaki itu sembari mendekat ragu.
“Iya nih! Oh iya, namaku Mita.”ucapnya mengibaskan sapu penuh debu itu.
“Aku Riki!” anak lelaki itu mengulurkan tangannya. Mita meraihnya dengan senyuman.
Sontak mereka menjadi akrab saat itu. Hari yang indah dan berlalu dengan cepat. Jelang siang mereka keluar dari gerbang itu bersama.
“Mit, aku duluan, ya. Jemputan aku sudah datang,” ucap Riki mengalun menaiki kendaraan umum. Mita hanya membalasnya dengan anggukan pasti.
“Mit!” Riki turun dan bergegas menuju Mita. Mita menoleh kaget.
“Terima kasih ya, sudah mau menjadi temanku hari ini,” ucap Riki malu-malu.
“Ah itu. Iya sama-sama. Kebetulan juga nggak ada temen yang cocok sama aku selama di sini. Untung ada kamu,” ucap Mita dengan pipi manisnya.
Klakson kendaraan itu mengganggu Riki menikmati senyum Mita, ditambah lagi Jodi sudah menghampiri. Jodi menatap anak laki-laki yang bergegas naik angkutan umum itu, wajahnya berubah murung.
“Itu siapa Mit?” tanya Jodi dengan suara yang kabur-kabur terhempas angin.
“Oh itu anak baru di kelasku. Namanya Riki!”
“Kamu deket sama dia ya?”
“Iya. Kayaknya sih bakalan gitu, abisnya dia seru, sih,” ucapnya memeluk erat pinggang Jodi karena laju motornya bertambah. Jodi hanya menghela nafas panjang.
“Bos. Jangan laju-laju geh bawa motornya. Aku masih belum pingin mati, tau,” ucap Mita berteriak.
Jodi yang tak sadar dari tadi menaikkan laju kendarannya berhenti mendadak dan membuat mereka terbanting di jalan sepi berbatu itu. Lengan Mita tersobek batu-batu halus itu dengan meringis menahan sakit.
“Mit maaf! Kamu nggak apa-apa kan?” tanyanya cemas sembari mendekap Mita.
“Santai aja kali. Lagian cuma lecet gini doang, kok. Kamu tuh yang harusnya dicemasin. Kamu enggak apa-apa, kan?” dilihatnya lengan Jodi yang bersimbah itu. Jodi menjawabnya dengan senyum pahit, Mita bergegas mengangkat motor itu dan memindahkannya ke tepian jalan.
Jam terus saja berputar mencabut tulang-tulang. Bergegas Mita pergi ke perumahan bawang untuk bekerja paruh waktu sebagai pengupas bawang. Seusainya dari rumah bawang, ia isi waktu lebihan itu untuk menjadi pencuci mangkok di sebuah warung mie ayam persimpangan itu hingga menjelang petang.
Ia anak yang giat memang. Setiap hari rela bekerja banting tulang, walaupun hasilnya hanya ia hambur-hamburkan. Petang, ia kembali ke kos-kosan yang kamarnya berdampingan langsung dengan kos-kosan lelaki. Karena itu, ia terbiasa jika ada lelaki yang jahil mengetuk pintu kamarnya dengan nakal. Walaupun demikian, ia tetap mengutamakan belajar pada malam selepas ia melepas penat.
Ada waktunnya sekali tiap bulan, ia mengikuti balap liar bersama gengnya. Ia pun tak tanggung-tanggung mendapatkan hadiah saat balab, belasan juta uang yang bisa ia dapatkan saat menang. Begitulah hari seorang gadis bernama Mita berputar.
Ia sangat takut dengan narkoba. Walaupun ia bergabung dengan kelompok pecandu, ia tetap menolak untuk menggunakan obat terlarang itu. Hingga pernah sesekali gengnya mengancam akan mengeluarkan Mita jika ia tidak mau menggunakan obat itu.
“Ayolah, Mit. Sekali saja!” ucap seorang pecandu.
Mita merasa bingung saat itu karena ia tidak ingin keluar dari geng, tetapi ia juga tidak ingin mengkonsumsi obat terlarang itu.
“Cuma sekali saja, kan? Setelah itu kalian tidak akan pernah menyuruhku lagi mengkonsumsinya. Berjanjilah!” ungkap Mita gemetar. Karena mereka menyanggupi persyaratan itu, Mita menelan pil berwarna kuning itu.
Ia tak sanggup menelannya, alhasil obat itu tersangkut di leher.
“Aku ke toilet dulu ya, bentar,” ucap Mita menahan mual dan segera memuntahkan pil utuh itu keluar dari kerongkongannya. Di situlah ia tak pernah lagi dipaksa mengkonsumsi pil itu.
***
Waktu terus saja menggulingkan semesta, begitupun Mita yang makin dekat dengan Riki.
“Mit sholat duha, yuk,” ajak Riki saat sedang makan di kantin.
Sontak Mita tersedak mendengarnya.“Sholat? Yang benar saja. Aku sudah membenci kegiatan itu sejak lama,” ucapnya dalam hati.
“Mit! Kamu tidak apa-apa, kan?” tanya Riki meyakinkan.
“Iya, nggak papa,” ucapnya dengan gugup.
“Kita sholat berjamaah ya, di musolah sekolah,” ajak Riki bergegas berdiri menatap Mita dengan senyum lembutnya. Mita hanya mengangguk pasrah.
Mereka beranjak ke tempat suci itu. Mita ragu-ragu saat akan menginjakkan kakinya di latar musolah itu, lagi-lagi Riki menuntunnya.
Matanya mencair ketika ia menyentuh air wudu itu.
“Tuhan? Tuhan itu apa? Mengapa aku sesak mengingatnya? Aku benci Tuhan, dia yang selama ini membuatku selalu bimbang dan ditimpa masalah! argh” hatinya berontak begitu keras hingga matanya menggelap.
***
Ia membuka matanya perlahan dan melihat Riki di hadapannya dengan cemas membacakan lantunan ayat suci Al-Qur’an.
“Kamu sudah sadar Mit? Alhamdulillah,” ucapnya menutup kitab itu.
“Aku di UKS? Kenapa?” tanya Mita masih tak mengerti.
“Tadi kamu pingsan di dekat tempat wudu.”
“Aku pingsan? Aneh sekali rasanya. Semuanya terasa gelap,” ucapnya menahan tawa. Riki hanya membalasnya dengan senyum cemas.
“Mit! Aku merasa kita sangat dekat sampai sekarang,” kata itu keluar dari mulut Riki dengan tertunduk.
“Aku tak tahu, ini perasaan apa? Tapi aku sangat mengkhawatirkanmu saat kamu pingsan tadi. Selain itu...” Riki menarik nafas panjang kemudian melanjutkan ucapannya, “Akhir-akhir ini, di setiap sujudku aku selalu mengingatmu. Aku takut menduakan Allah, sungguh aku takut. Tapi aku tak dapat membohongimu. Aku menyayangimu karena Allah, sungguh maafkan aku!” ucap Riki tanpa menatap jemarinya yang menyatu. Ruangan itu, kembali renggang tanpa suara.
“Aku juga menyayangimu Riki, tapi aku ini tidak pantas untukmu. Kamu orang yang baik, sedangkan aku tidak sama sekali. Aku takut....” kalimatnya terpotong dengan isakan.
“Maafkan aku karena aku menyentuh tanganmu. Mungkin aku saat ini merasa tidak terlalu baik, karena itu aku mau berbagi dan belajar lebih bersamamu. Aku berjanji akan tetap menjaga norma dan batasan. Maukah kamu?” ucapnya sembari bergegas melepas tangan Mita.
“Maukah kamu mengajari orang yang sudah terlanjur jauh dari Allah ini?” Mita mengalirkan air mata itu. Riki mengangguk dengan berdebar.
“Terima kasih. Baiklah, mari kita menjalani ini bersama.” Mita tersenyum haru.
Ia tak pernah menyangka akan mendapatkan seseorang yang tulus menyayanginya. Teringat Riki pernah rela dihukum untuk membela Mita. Gelangan tawa melingkar di jari manis Mita.
Menjelang bulan Ramadhan. Riki sering datang ke kos-kosan Mita untuk mengajaknya sholat tarawih dan subuh di sebuah masjid agung. Riki tak segan-segan mencubit pipi Mita walau ia menangis sekalipun, ia tak perduli jika Mita sampai lupa solat dan puasa. Semuannya berjalan setara, sampai di hari-hari itu. Di mana Riki tak pernah terlihat.
***
“Eh ini dia bintang kelas kita. Dari mana aja selama 2 minggu ini baru masuk? Kamu nggak dapat uang saku dari orang tua?” teriak Lana mengejek pagi itu. Mita menghindar dan jalan layaknya tak ada suatu hal yang terjadi.
“Dasar anak kampung!! Gak tahu sopan santun!!” Mita mengacuhkannya menuju tempat duduknya sembari menjelajah ke satu bangku kosong, di situ biasanya Riki duduk.
“Woi!! Kalau orang ngomong tuh, jawab dong!!! Gak tau tata krama banget, sih. Enggak pernah diajarin sama orang tua, ya,” kata itu mulai memanas di telinga Mita, ia bergegas mendatangi Lana.
“Punya mulut itu dijaga!” gemas Mita menudungkan jari tengahnya ke wajah Lana.
“Eh, sopan sedikit tuh tangan. Dasar tangan gak pernah sekolah!”
“Emang mulutmu pernah sekolah? Dasar munafik!!!” jawab Mita menjauh.
Mita merasakan ada yang menarik kerudungnya dengan keras, dengan cepat tangannya menampis wajah Lana. Mata Mita kini tajam bagaikan iblis, ia tak menghiraukan teriakan dari murid lain. Dengan sigap iblis itu menarik kerah baju Lana dan membenturkan tubuhnya ke tembok putih kusam itu. Lana mengerjap sakit.
Tak sampai di situ saja. Mita segera menarik tubuh yang mengerjap itu dan memindahkan tangannya ke kepala Lana dan menjatuhkannya di salah satu sudut meja kayu itu. Di situ tersayat anyir di seluruh ruangan, Mita hanya menatap dengan mata kosong pada sosok yang tergeletak berbau amis hingga seorang tokoh itu datang.
“Apa-apaan ini?” teriak pria gendut berkumis itu, kepala sekolahnya.
Semua orang berlarian menghindari Mita yang sama sekali tak gemetar setelah apa yang ia lakukan. Saat itu juga, Mita secara sepihak dikeluarkan dari sekolah. Beruntungnya, prestasi yang ia dapat membuat ia mendapat surat penghantar untuk diperkenankan pindah ke sekolah lain.
***
“Dasar pembunuh!!” umpat pria itu menjambak rambut Mita.
“Keluarga kamu ini bukan pembunuh!! Ayahmu yang jelek ini juga bukan PEMBUNUH. Kenapa kamu membunuh orang lain? Dasar anak batu!!!!” lanjutnya mendorong Mita dari sudut jendela itu hingga terpental. Beruntungnya rumahnya tak bertingkat.
Mita masih saja diam dengan tatapan kosong itu. Darah yang menyongsong melalui pori terbukanya beserta mulut dan hidungnya tak ia rasakan. Ia hanya memikirkan apa yang Riki percayai selama ini. Tuhan dan Tuhan. Lihatlah Tuhan tak menolongnya saat ini. Pikirnya melonglong sakit.
Riki. Ada apa sebenarnya dengan pria itu? Lelaki yang membuatnya sehancur ini. Seseorang yang sempat membuatnya percaya akan tuhan. Kini ia juga yang membuat Mita tak lagi percaya dengan Tuhan.
Mita hanya seorang yang tergoncang setelah itu, bahkan ketika nafsu ayahnya mencuat bagai binatang. Ia lebih memilih menerimanya menyongsongkan tubuh kepada percikan dosa. Hingga hari itu datang padanya sebuah pesan. Riki meminta untuk bertemu dengannya di dekat pemakaman umum.
Mita bergegas menemuinya di sana. Pria itu kini bertambah tinggi dan kurus.
“Mita!” lambaiannya dengan senyum persis seperti pertama kali lambaiannya datang. Mita hanya tersenyum simpul dengan bahagia.
Mereka duduk tepat di bawah pohon bunga kamboja yang menunduk dengan anggun memberi naungan. Semerbak bunga itu hening, hingga pita suara itu akhirnya berdenging.
“Kerudung kamu mana Mit?” tanya Riki mengalun.
“Aku tidak perlu menggunakannya lagi, Rik.”
“Kenapa?”
“Aku sudah tidak sekolah lagi di MTs itu. Aku yakin kamu sebenarnya sudah tahu,” jawab Mita menggeleng pelan dengan perasaan kecewa.
“Aku juga tidak,” sela Riki. Mita melirik Riki dengan gelengan tak mengerti.
“Sudahlah lupakan saja,” Riki menjawab dengan senyum itu lagi. Mita menunduk ragu.
“Mita! Bolehkah aku menanyakan sesuatu?” ucap Riki tiba-tiba. Mita mengangguk dengan sahajanya.
“Kamu masih menyayangiku tidak?” tanya Riki sehalus mungkin menghindari nada tinggi. Mita terkejut mendengarnya, ia tak dapat lagi berucap dan lekas memeluk Riki sembari menangis.
“Apa kamu sungguh menyayangiku?” tanya Riki kembali.
“Tentu saja aku menyayangimu. Bagaimana denganmu? Kau sendiri tak pernah mencium bibirku seperti layaknya orang yang perpacaran. Kau selalu berjalan di depanku dan selalu menunduk jika melihatku. Kau tidak pernah melakukan.....”
“Stttttt,” suara itu memotongnya.
“Maukah kau melakukannya bersamaku?” tanya Riki dengan keringat yang melewati sela-sela pelipisnya.
“Aku mau Rik. Iya aku mau, aku mau melakukan itu denganmu,” isak Mita.
“Aku akan melakukannya jika itu yang kamu mau, aku sungguh menyayangimu. Aku tidak tahu jika kamu menginginkan itu. Baiklah aku rasa kita tidak bisa melakukannya di sini.”
Mereka berdua bergegas pergi ke sebuah gedung rusak bekas sekolah itu dan berhenti tepat di depan sebuah meja panjang kayu.
“Duduklah di atas meja itu,” ucap Riki tersendat. Mita segera melakukan apa yang ia dengar.
“Riki, apakah kamu benar-benar akan melakukannya?” tanya Mita menyentuh wajah Riki.
“Tentu saja. Itulah yang kamu mau bukan?”
“Wajahmu berkeringat, Ki,” ucapnya menghapus cairan itu menepi ke ujung wajah Riki.
“Aku baru pertama kali melakukan ini. Baiklah, sekarang tutuplah matamu karena aku akan segera melakukannya,” Riki kini mulai bergetar. Mita pun menutup matanya.
Semua berhenti bergerak, nafas, suara-suara nyanyian alam. Mereka ikut tegang meniti menit-menit itu. Hanya suara deguban lebih kencang milik mereka berdualah yang memenuhi ruangan itu. Mita tambah berdegup ketika tangan itu membelai rambutnya dengan halus. Hingga ia merasakan sesuatu membungkus kepalanya yang membuat matanya terbuka.
Kerudung itu kini membungkus dan menutupi rambutnya. Ia melihat Riki terduduk di lantai dengan tundukkan itu.
“Aku sudah melakukannya Mit. Aku mencintai Allah dan aku pun menyayangimu karena Allah. Sekarang aku mau kamu melakukan sesuatu untukku,” Riki terisak untuk pertama kalinya.
Mita tak percaya bahwa ini yang akan terjadi, ia tak pernah menduga sebelumnya akan meminta hal macam itu pada Riki.
“Maaf Riki karena aku sudah sangat buruk di hadapanmu. Kamu hebat karena kamu itu kuat menjadi dirimu sendiri. Terima kasih untuk kerudung ini, aku berjanji tidak akan melepaskannya lagi,” ucap Mita sembari duduk di hadapan Riki.
“Aku mau mendapat balasannya, Mit!”
“Kamu ingin apa? Aku tidak bisa mengajarimu mengaji dan aku sama sekali tidak tahu apa-apa tentang agama. Jadi apa yang bisa aku berikan, Rik?”
“Setelah ini, tolong jangan hubungi aku lagi. Malam ini saja Mit, aku mohon. Esok jika kau mau, datanglah ke rumah.” ucap Riki.
“Jika ini hukuman untukku, aku rela menerimanya. Aku sangat pantas mendapatkannya, tapi kenapa hanya semalam, Rik?”
“Ini bukan hukuman Mita. Ini adalah bukti jika kamu benar-benar menyayangiku atau tidak.”
“Jadi bolehkah aku bertemu denganmu lagi besok di rumah?” tanya Mita dengan kembangan senyum itu. Riki mengangguk.
***
Hari cepat saja berganti. Hari ini, Mita mengenakan baju terbaiknya untuk bertemu dengan Riki. Ia kendarai sepeda itu seorang dan lekas melihat bendera kuning menyambat sepanjang jalan.
“Ya Allah, apakah Riki kehilangan seseorang?” ucapnya perlahan dengan cemas. Ia bergegas mengayuh sepeda itu dan berhenti tepat di halamannya.
“Bu, saya turut berduka cita,” ucap Mita kepada wanita setengah baya itu.
Mita terus saja mengitari seisi ruangan itu mencari Riki. Tak didapati adanya Riki di ruangan itu.
“Ibu, maaf sebelumnya. Riki di mana, ya?” tanya Mita kepada wanita itu. Sontak sang ibu langsung memeluk erat Mita dengan tangisan.
“Kamu Mita, kan, nak? Riki sudah istirahat.” Mita tiba-tiba jatuh mendengar kabar itu.
Setelah siuman ia diceritakan semuanya oleh keluarga besar Riki. Tentang bagaiman Riki menceritakan Mita dan fakta yang mengejutkan bahwa tumor yang menyerang Riki membuatnya hanya bisa bertahan 24 jam lagi.
“Kemarin adalah 24 jam terakhir itu nak, dan dia menitipkan secarik kertas untukmu,” kata wanita yang mengaku bahwa dia adalah tantenya Riki.
Sepotong kertas itu ia buka dengan mnjatuhkan benih-benih kesedihannya.
***
Kamu bisakan hidup tanpa aku? Aku percaya itu, kok. Jangan pernah melepaskan kerudungmu lagi ya! Aku mahon berjanjilah. Terima kasih sudah menyayangiku.
Kamu berhasil Mita. Bisakah kamu lakukan itu setiap hari?
***
Mita mencium kertas itu dengan pasrah.
“Iya Riki, aku bisa. Aku akan melakukan hari-hari tanpamu setelah ini. Aku akan berusaha,” ucap Mita serak.
“Mana anakku yang bodoh itu?”teriak Ayah Mita menggeleggar merubah suasana duka ini menjadi tegang.
Mita bergegas keluar dari rumah keluarga Riki dan mendapati ayahnya membawa sebilah pisau buah tajam yang silau. Pisau itu dilontarkan tepat ke dada Mita dan...
Kringgggggggggg
Mita tersentak terbangun. “Hanya mimpi,” ucapnya dalam hati menepis senyum.
“Sudah bangun, sayang?”, ucap lelaki itu sambil menggendong malaikat hati itu, Dara.
“Ah Riki. Kau ini bisa saja meledekku. Bawa anakku kemari, aku harus segera menyusuinya,” ucap Mita sembari menerima Dara dari pelukan suaminya.
“Aku melihatmu tertidur semalam di depan komputermu tadi malam. Dan tadi aku melihatmu terbangun dengan kaget. Ada apa? Apa kau mimpi buruk, sayang?” tanya Riki sembari memeluk istrinya.
“Berhentilah memanggilku dengan panggilan sayang, Rik. Kita ini sudah punya Dara, masihkah kamu mau bermanja-manja seperti anak muda?” dengusan Mita segar.
“Kamu itu sekarang sudah menjadi istriku, jadi terserah aku ingin memanggilmu dengan apapun. Ketika pacaran memang aku tidak memanggilmu dengan panggilan sayang karena belum waktunya. Sekarang ijinkan aku memanggilmu dengan penggilan sayang, ya istriku. Aku mohon!” ucap Riki memasang muka memelasnya itu.
“Sudah, berhentilah memasang muka polosmu itu. Jelek tau!” ucap Mita mengacak rambut Riki.
“Lalau kau mimpi apa tadi?” tanya Riki dengan wajah penasarannya.
“Aku memimpikan novel yang kubuat. Aneh sekali ya rasanya?”
“Oh iya? Aku rasa kamu terlalu lelah. Bergegaslah istirahat, biar aku yang mengurus Dara. Semoga novelmu mendapatkan peringkat tertinggi, ya sayang,” ucap Riki sembari mengecup kening Mita.
“Terima kasih sayang,” Mita memeluk Riki yang sedang mengendong buah hatinya itu.
Mita bergegas membuka email yang belum ia baca. Ia tersenyum melihat isi email itu, 10.000 cetakan bukunya habis terjual bahkan percetakan meminta buku itu untuk dicetak kembali. Ia merasakan tubuhnya didekap dari belakang, rupanya Riki sudah berada di belakangnya sedari tadi.
“Kamu berhasil sayang,” ucap Riki mendekapnya dengan lebih erat.
“Iya, aku percaya semua ini karena rejeki dari Allah,” balas Mita menggenggam tangan Riki.
“Ah Lilly!” desah Ica memalingkan labtop itu.
“Bagaimana? Sudah kamu edit belum cerpenku?” tanya Lilly.
“Apa yang harus aku edit? Ceritamu itu menyebalkan, menggantung semua ceritanya.”
“Ya jangan marahlah, tapi ada yang harus aku benarkan tidak?”
“Ada beberapa kata yang salah tulis sih. Tadi aku sudah memberikan tanda warna pada kata-kata yang harus kamu perbaiki,” jawab Ica dengan elegan.
“Terima kasih Ica yang cantik,” ucap Lilly sembari memeluk Ica.
“Ihh... sudahlah. Jangan kaya lesbi gini dong. Jijik tau!”
“Jahat ya!” Ucap Lilly manyun.
“Memang. Eh kamu dapat ispirasi dari mana sih?” tanya Ica.
“Dari banyak hal, tapi rahasia.”
“Pelit ya! Tapi memang bagus sih. Ada enggak ya, orang seperti Mita di dunia nyata? ” ucap Ica jahil.
“Entahlah. Aku justru membayangkan ada lelaki seperti Riki di dunia ini,” jawab Lilly ngelantur.
“Kamu pasti ingin punya pacar sebaik itu, kan? Setelah itu kamu ditinggal mati, hahaha. Ya enggak mungkinlah Li, itu semua hanya berputar di khayalan otakmu untuk membuat cerpen saja,” ucap Ica sembari mencubit pipi tembem Lilly.
“Sakit tahu!!” gerang Lilly merengek.
“Hahaha. Ya, maaf! Semoga kamu dapat nilai yang memuaskan untuk cerpen ini, ya Li,” ucap Ica memeluk Lilly.
Mereka sudah menghabiskan waktu dari sore hingga petang ini. Mereka memang akrab, tapi tak jarang mereka berkelahi dengan hal-hal yang sebenarnya sepele. Di asrama membuat mereka harus saling menghargai satu sama lain, ya beginilah jadinya.
“Eh jam berapa sekarang?” Ica seperti teringat sesuatu.
“Jam 18.50,” ucap Lilly.
“Waa...belum sholat maghrib,” teriak mereka berdua setelah sadar bahwa sebentar lagi mendekati waktu Isya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H