Mia Rosmayanti
Menjelang surutnya gelap, tirai hari baru terbuka lebar. Jentik-jentik harapan beterbangan diterpa cahaya sunyi matahari. Bumi memang tampak seperti biasanya. Melenggang bak gasing yang berputar abadi, tapi coba lihat lagi dengan pandangan jeli. Di ujung kilauan air yang dihembus dinginnya embun pagi, tampak silahan manis seorang insan perawakan lembut. Tuhan meraba pikirannya yang tergerai indah dalam jiwa. Rambutnya yang tersayat lembut, menyelami wajah penuh kalut. Seluruh nadinya berdenyut menggelayut mesra.
Manusia adalah penjelajah usia. Rasanya baru saja ia berlari-larian di lapangan berumput gambut berwarna kuning kering itu dengan lugu. Ditemani gelagak senyum dari seorang insan berwajah kumal terang telanjang. Sekarang ia bukan lagi seorang bocah cantik penuh ingus. Menatap penuh harap di atas pondok pualam kusam, ia menyeka dada dengan penuh sesak. 19 tahun rupanya. Angka yang tak terbilang istimewa sebenarnya, hanya saja karena ia selalu singgah ke tempat biasa menjelang raya usianya. Senyumnya sesak melihat tumpukan jerami emas itu. Tempat tidur yang nyaman dan menggenang penuh ingatan. Selama bertahun-tahun menapis rasa lelah di atasnya. Air matanya terbelah, tersayat hampitan antar kelopak disambung pita jerami dengan insan yang tak tahu di mana sekarang.
Liana, putri dari negeri buku bisu. Tola, pengembara handal dari hutan lumpur. Mereka berdua adalah sepenggal kisah dari sudut terkecil bumi yang bulat ini. Liana yang berkutat pada buku dan kebisuannya berubah ketika bertemu dengan anak lelaki yang sedang mandi di lumpur hijau. 11 tahun lalu. Di situ kisah itu berawal. Ketika pangeran kecil menatap bungkusan penuh jamur milik Liana.
“Itu apa?” tanya bocah lelaki penuh lumpur di hadapannya.
“Jamur,” ucap Liana tanpa berpaling dari bukunya.
“Jamur? Di sini juga banyak jamur,” ucapnya bergegas melompat ke lumpur lagi dan kembali membawa jamur-jamur di telapak mungilnya.
“Ini Jamur!” ucap Tola kepada Liana. Liana tak sedikit pun berpaling dari bukunya.
“Apa jamur bisa dimakan?” gelagat Tola malu-malu.
“Tentu saja, lihat!” Liana memainkan sumpitnya dengan cantik mengunyah potongan daging amatir itu.
“Tidak beracun?”
“Beracun jika kamu yang makan, hahaha,” gelegak tawa Liana menggelegar. Entah sudah berapa lama ia tak mengeluarkan tawa itu. Sejak ayahnya meninggal ia hanya berkutat pada bukunya. Ia lebih senang mencari kedamaian di desa. Kebetulan kakeknya tinggal di sana.
Tola hanya tersenyum simpul menggaruk kepala, malu.
Di sanalah rumah mereka. Pondok pualam beralas jerami. Mereka selalu melakukan semua hal bersama. Tola yang suka makan jamur, dan Liana yang suka memintal jerami. Memintal jerami adalah bakat menular dari Tola. Sementara jamur adalah kebiasaan tertular dari Liana. Setiap hendak bertemu, Liana selalu membawakan 2 mika jamur untuk Tola.
Bergegas handphone-nya nyaring membuyarkan lamunnya. Terdengar desahan nafas lembut tak berujung. Ibunya.
“Pulang nak, ini sudah hampir siang,” suara itu terkait jelas ke telinga Liana.
“Iya, bu,” ucapnya bergegas bangkit dan pergi.
Pondok pualam itu kini sepi. Dulu rumah jerami itu penuh dengan tawa dan canda. Nyanyian angin terasa makin merdu ditemani beribu makhluk berbulu mungil berkicauan. Dahan-dahan pun saling bergesekan membuat melodi yang makin menyayat. Malaikat dengan kepakan sayapnya mulai mengelilingi pondok itu dengan kibasan kasih. Di situ suara alam menyeru orang yang penuh kasih, seolah memutar segala kenangan yang pernah tercipta di lingkup pondok reyot. Tuhan terus saja menyorot.
Sampai juga Liana ke rumah megah bak pemandian surga yang diterpa cahaya tepat di atas kepala. Ia merasa rumah itu sepi. Keluarga tak lengkap katanya. Matanya terhalau cahaya sepi yang tajam, tapi ia tetap bertahan. Kakinya menerjang tumpahan aspal menuju rumahnya.
Rumahnya begitu sepi. Sampai-sampai jam yang bertengger di atas pintu sebagai hiasan, begitu terdengar jelas dengan detakkan.
Tangannya meraih gagang pintu bertaburan berlian. Krekk.
Byurr. Air segera saja membasahi seluruh tubuhnya.
“Happy birthday Liana!!” seru ibunya sambil membawakan tumpeng berukuran kecil ditaburi keripik jamur kesukaannya.
“Ibu dari dulu tidak pernah berubah, selalu saja jahil,” ucapnya dengan wajah cemberut.
Ibunya hanya tertawa di balik warna rambut yang sudah arang-arang berubah dengan pasti. Wanita itu kemudian memeluk putrinya dengan hangat.
“Ibu, aku sudah bukan anak kecil lagi,” ucap Liana berlinang.
“Tapi kamu tetap masih anak ibu, jadi terserah ibu akan melakukan apapun padamu,” jawabnya melepaskan pelukan dan lekas menciumnya hendak pergi.
“Ibu!” ucap Liana meraih tangan yang semakin keriput itu.
“Kau bilang aku ini anakmu tapi, kenapa kamu harus melepaskanku. Aku masih ingin berputar dalam pelukanmu itu,” lanjutnya.
Sang ibu mengerutkan dahi dengan senyum jahil. Kemudian lekas memeluk putrinya dengan erat. Kali ini sang Ibu terisak.
“Nak, jangan bergantung denganku karena satu saat aku akan menyusul ayahmu,” ucapnya menyesak.
“Kalau ibu menangis, ibu jadi kelihatan jelek. Jangan menangis lagi, katanya ingin tetap awet muda dan mengalahkan kecantikanku,” ucap Liana menghapus cairan sebening kristal itu.
“Berani sekali cairan jernih ini menjelajahi wajah ibuku yang cantik tanpa permisi, lihat make-upnya luntur semua,” sungut Liana seolah mengomeli air mata Ibunya.
“Kamu ingin melihatku tertawa?” ucap sang Ibu
“Iya dong. Supaya kita bisa ketemu pemain Mahabarata dan nanti kita buktikan, Krisnha akan memilih siapa. Aku atau ibu,” jawab Liana dengan cengiran usil.
“Kalau begitu, kamu harus mau ibu coret wajahnya dengan kue ini,” jawab wanita setengah baya itu sembari mengejar Liana yang coba menghindar. Mereka menghabiskan berjam-jam untuk saling tertawa.
Liana memang selalu tersenyum di hadapan insan yang melahirkannya, walaupun sebenarnya hatinya selalu rapuh. Sebenarnya ia takut memeluk wanita tua itu karena dengan memeluknya, ia tahu bahwa ibunya tak muda lagi. Ia akan merasakan pergeseran tulang-tulang yang mulai rapuh. Ia dapat langsung merasakan kulit-kulit yang tak kencang lagi, tapi bagaimanapun juga ia akan tetap memeluk kekasih abadinya itu. Walaupun ia sadar, bahwa itu akan menambah ketakutannya. Ia bertahan.
Tok tok tok
Suara itu memecahkan canda sepasang malaikat tanpa sayap.
“Tunggu ya nak, biar ibu yang melihatnya,” senyumnya mengembang sempurna. Liana hanya membalasnya dengan anggukan pasti.
Tidak lama berselang, ibu datang sambil membawa kotak berlapis kertas bergambar jamur.
“Siapa bu?” tanyanya memalingkan wajah dari buku yang baru saja dibukanya.
“Oh, itu tukang pos,” jawabnya sesegera mungkin singgah di samping Liana.
“Lalu apa yang ibu bawa?” tanya Liana penuh selidik
“Oh iya ibu sampai lupa. Ini kiriman untuk kamu dari pak pos tadi,” jawabnya sambil mengulurkan kotak itu pada Liana.
Liana sibuk melihat-lihat kotak itu. Ia ingin segera membuka kotak yang membuatnya penasaran dari tadi. Siapa yang mengirim? Ucapnya dalam diam. Tangannya sudah menguliti kertas bergambar itu, tiba-tiba ia melirik pada ibunya.
Ibunya segera mengetahui isyarat yang Liana tunjukkan.
“Iya, ibu tidak akan melihat. Ibu mau tidur saja. Memang susah kalau punya berlian matang,” ucapnya sambil meninggalkan Liana di ruangan itu sendiri.
Liana tersenyum simpul dan segera mengoyak kertas yang menyelubunginya. Dibukalah kotak yang terlihat itu. Matanya tiba-tiba mencair, tangannya gemetar melihat isi dari hadiah tersebut. Buku dengan sampul berlapis jerami yang sudah dianyam dengan rapi.
Perlahan ia sentuh buku itu, merasakan sesuatu yang seolah telah dikenalnya sejak lama. Ia memangku buku itu dan menjelajah lembar demi lembarnya. Dilihatnya sekilas buku itu. Bukudengan tulisan tegak bersambung yang kelihatannya dibuat secara manual.
Mulai ia baca judul yang tergerai apik di lembar penuh gambar itu. Sahabat dari Negeri Jerami. Jarinya sesegera mungkin merambah ke lembar selanjutnya.
Ada sebuah kerajaan bernama kerajaan Fungilia di negeri yang penduduknya menyebut negeri itu sebagai negeri Jerami. Rajanya bernama Miselium. Raja ini sangat suka berkebun. Di kebun istana, ia menanam berbagai macam tumbuhan, bahkan ia menamai setiap tanamannya. Suatu hari, raja mendapatkan dua jenis tanaman baru. Betapa gembiranya ia.
“Dinda Hifa, lihatlah. Aku mendapatkan tanaman baru dari negeri seberang,” ucap raja Miselium kepada permaisurinya.
“Tanaman apa itu kanda?” tanya Ratu Hifa dengan seksama.
“Tumbuhan di tangan kananku ini adalah cabai. Konon ia bisa membantu menghangatkan tubuh ketika musim dingin. Selain itu, ia juga tampak cantik ketika sudah berbuah,” jelas raja bersemangat.
“Lalu, kanda. Apakah yang ada di tangan kirimu itu? Bentuknya aneh dan kotor. Lihatlah, tangan tuanku yang mulia Kakanda menjadi kotor. Anda bisa dihinggapi kuman, Kanda,” ucap Ratu Hifa sembari memberi kode kepada pelayan untuk segera mengambil kain steril.
“Dinda. Ini adalah kentang. Konon ia bisa menggantikan nasi saat padi di lumbung terserang hama lagi,” ucapnya sembari mengangkat tangan kirinya dengan bangga. Pelayan kemudian datang sambil membawa kain steril.
“Yang mulia, perkenankanlah hamba membersihkan tangan tuan,” ucap pelayan sambil merendahkan tubuhnya.
“Ah tidak usah. Aku ingin menanam tanaman ini dulu,” ucap sang raja.
“Kanda, bukankah alangkah lebih baiknya jika tukang kebun kerajaan yang menanamkannya untukmu?” sang ratu menyarankan.
“Tidak perlu, dinda. Ini tanaman hadiah dari negeri seberang dan sangat bermanfaat. Jadi, sekali-kali biarkanlah kanda yang menanamnya,” ucapnya memberi penjelasan.
“Baiklah jika itu yang kanda mau,” sang ratu berdesah lirih.
Raja bergegas pergi ke kebun yang diselubungi kaca. Di sana ia mulai menanam tanaman terkasihnya itu. Ia menanam cabai dan kentang dengan jarak yang saling mengikat. Ia teramat menyayangi kedua tanaman itu. Lantas sang raja memberi nama Chiliana untuk pohon cabai lebat itu dan Potatola sebagai nama sang kentang yang terbenam dalam pot penuh tanah.
Seminggu telah berlalu. Kedua pohon itu kini sudah berbuah. Chiliana menghasilkan cabai berwarna merah yang eksotik. Potatola pun mulai tumbuh. Sayangnya, tubuh kentang tidak berkembang dengan baik. Dia menjadi tanaman kerdil yang membuat raja sangat kecewa.
“Hai, Chiliana!” teriak Potatola malam itu. Chiliana yang tertidur pun sontak bangun dengan terkejut. Matanya menjelajah sekitar, ia menatap dengan mata yang datar pada tumbuhan yang tertimbun tanah. Potatola hanya tersenyum dengan polosnya.
“Apakah aku bisa memiliki pohon seindah kamu?” Potatola beranjak dari lubang tanahnya.
“Tentu saja mustahil. Mengapa kamu bertanya seperti itu?” cercah Chiliana mengayun-ayunkan rantingnya.
“Aku tidak ingin di bawah terus. Aku kotor dan terus diganggu oleh cacing tanah,” keluh Potatola yang beranjak mendekati pohon Chiliana.
“Aku juga tidak suka digantung oleh ranting seperti ini. Aku ingin seperti kamu yang bebas berjalan-jalan,” desahan Chiliana membeku.
“Aku ingin ke bukit jerami emas. Katanya jika kita sampai di sana dan melihat pelangi berserbuk jingga, kita bisa mendapat sahabat sejati. Aku ingin memilikinya. Aku sudah terlalu sepi,” lanjutnya bimbang.
“Kalau begitu, ayo turun. Kita akan main sama-sama,” ajak Potatola.
“Aku tidak bisa,” tuturnya tertunduk.
“Kenapa? Jangan takut ayolah,” Potatola meyakinkan.
“Jika terkena tanah aku akan membusuk,” matanya tiba-tiba layu.
Semuanya tiba-tiba hening. Potatola tahu bahwa Chiliana sangat ingin sekali jalan-jalan ke bukit jerami itu. Potatola juga sangat ingin sekali menghibur Chiliana karena ia selalu melihat cabai yang cantik itu termenung. Seolah semua impian dan harapannya juga tergantung pada ranting-ranting pohonnya. Ia tidak dapat berlayar bebas, walau hanya bermimpi sekalipun.Semuanya serba terbatas.
Potatola mengulurkan tangannya ke atas, mengarah pada Chiliana. Chiliana mengerutkan dahi bertampak heran dan bingung. Potatola tersenyum dan menganggukkan kepalanya dengan anggun. Chiliana menggeleng masih tak mengerti.
“Aku ini Potatola, pengembara handal dari hutan lumpur. Aku bisa membawamu tanpa kamu harus menginjakkan kaki di tanah negeri Jerami ini. Aku janji,” Potatola menegaskan uluran tangannya.
“Bagaimana caranya?” Chiliana merengek bingung.
“Tentu saja aku akan menggendongmu. Lihatlah tubuhku yang gempal dan bulat ini. Tubuh ini bisa mengangkat beribu ton baja,” pamer Potatola menunjuk tubuhnya. Chiliana hanya tertawa. Mereka pun segera pergi ke bukit jerami emas itu.
Malam itu dihabiskan oleh mereka berdua. Melihat jamur beterbangan dengan indah. Jamur musik memainkan melodi sepanjang malam tanpa jemu. Chiliana dan Potatola. Sahabat baru yang terbentuk di negeri Jerami. Saat angin mulai berseru, hinggaplah pelangi berserbuk jingga di depan mata mereka. Mereka kembali tersenyum dengan sayang. Semalam serasa menjelajah dunia yang terus berubah. Bintang pun mengintip malu-malu di balik awan.
Chiliana tidak lagi merasa sedih dan sendirian karena terpisah dari orang tuanya yang tinggal di negeri seberang. Ia mendapati keluarga yang menyenangkan. Potatola. Kentang kerdil yang memiliki jiwa ksatria.
Potatola pun merasa bahagia. Akhirnya ia berhasil membuat cabai tercantik tersenyum yang justru membuatnya bertambah cantik berkali-kali lipat. Potatola juga merasa lebih percaya diri dengan bentuk tubuhnya yang tak sempurna itu. Setidaknya ia bisa membagi senyum pada orang lain.
Menjelang fajar, mereka beranjak kembali ke kebun istana. Dua pasang mata itu berbinar bahagia. Tidak peduli betapa sederhananya kebahagiaan mereka, justru mereka menikmatinya dengan rasa yang berbeda. Hingga subuh tiba.
Pagi itu beberapa tukang kebun masuk ke dalam kebun kerajaan sambil membawa keranjang anyaman jerami. Mereka mengambil beberapa cabai dengan sangat cekatan. Oh iya saat itu musim dingin melanda negeri. Cabai mulai digunakan untuk dihidangkan di istana sebagai penghangat tubuh. Seberapa banyak pun cabai yang diambil, maka pohon itu akan kembali berbuah. Sementara Potatola sama sekali tidak dihiraukan. Begitulah Chiliana dan Potatola selalu bersama.
Hingga pada suatu waktu negeri Jerami dilanda kelaparan. Lumbung padi kerajaan Fungilia pun kosong kerontang, tidak ada yang tersisa sedikit pun barang hanya satu butir. Padi yang ditanam petani negeri Jerami, tertebas hama. Penduduk negeri Jerami satu persatu mati. Banyak dari mereka memakan jamur beracun untuk memenuhi perut mereka, hingga jamur pun tak lagi ada.
Sang raja dengan sisa-sisa kekuatannya melangkah ke kebun miliknya. Di sana ia dapati pohon cabai dan kentang yang masih tersisa. Sang raja memutuskan untuk mengambil kentang itu untuk dimakannya. Raja Miselium segera menggerogoti kentang itu di tempat dengan lahapnya.
“Chiliana tetaplah tersenyum. Jika kau kembali, kau harus menjaga supaya ibumu tetap tersenyum. Potatola sayang Chiliana selamanya,” ucap Potatola sebelum tubuhnya habis terlahap oleh sang raja.
Chiliana tiba-tiba layu. Ia sangat membutuhkan air. Mulutnya tak dapat bergerak ketika didapatinya tubuh Potatola masuk ke dalam gua bergigi itu.
Matanya kembali mengeluarkan pulir-pulir kesedihan itu. Dongeng ini mengingatkannya pada Tola. Dilihatnya banyak lembaran kosong belum terisi. Lembaran dongeng penuh kenangan. Liana sangat merindukan Tola. Sayangnya ia sekarang tak tahu di mana Tola dan bagaimana kabarnya. Semuanya seolah berputar kembali.
“Aku adalah Chiliana,” gerangannya mengusap pipi.
“Tola adalah Potatola,” lanjutnya penuh sesak.
“Chiliana juga sayang Potatola selamanya,” ucapnya selagi memeluk buku itu dengan erat. Tangannya terus berkutat pada lembaran-lembaran kosong itu. Hingga didapatinya secarik kertas yang terlipat rapi.
Untuk kawanku di kerajaan Fungilia,
Liana, apa kabar? Sekarang ulang tahunmu ya? Selamat, semoga kamu bisa jadi gadis yang lebih ceria dan membagi keceriaanmu itu.
Kamu pasti marah padaku dan rindu. Aku juga sangat merindukanmu. Maaf karena aku tak pernah mengabarimu. Kamu pasti sering ke pondok penuh jerami. Aku tahu karena aku sudah memerintahkan malaikat yang harusnya menemaniku, kusuruh mereka mengawasimu tiap hari. Menjelang malam, mereka datang padaku dan melaporkan keadaanmu.
Hahaha. Berlebihan ya? Apalah, intinya aku sangat merindukanmu. Aku tidak sempat berkunjung ke pondok jamur itu. Jadi, aku ingin bertemu denganmu di rumah jerami sehari setelah ulang tahunmu. Jangan lupa datang ya. Ingat sandi yang ini ya, jika kamu sudah di sana.
“Aku di sini, putri Chiliana dari negeri Jerami datang untuk bertemu pangeran Potatola yang mengorbankan jiwanya di kerajaan Fungilia.”
Panjang ya? Tenang saja kamu masih punya waktu satu malam untuk menghafalkannya.
Oh iya, maaf ya kalau ceritanya agak aneh. Itu ceritanya aku yang tulis sendiri. Ya mungkin aku tidak sehebat kamu dalam menulis, tapi aku berusaha menulisnya hingga terkantuk. Bahkan saat tidur aku merasa tetap berjaga untuk mengumpulkan kembali kata-kata yang akan kuungkapkan. Oke itu saja, jangan lupa datang ya. Aku menunggumu.
Tola
Pipinya mengangkat merona. Ia merasa semua kesedihannya tiba-tiba pudar terbawa puting beliung. Begitu cekatannya surat itu membawa kebahagiaan untuk Liana. Ia benar-benar tak sabar untuk menanti datangnya hari esok. Jika boleh, ia ingin menjelmakan malam ini menjadi esok.
Malam ini ia sesegera mungkin membuat keripik jamur untuk kawan lama terkasihnya itu. Malamnya hening terpaut rindu yang begitu jelas dari caranya membuat makanan berkenang itu.
Dari jauh ibunya tersenyum bimbang. Wanita itu merasa bahwa anaknya kini teramat bahagia dari biasanya. Ia yakin anaknya kali ini bahagia bukan karena seorang kekasih, melainkan orang yang lebih jauh merangkai ingatan putrinya. Sudah lama ia tak melihat putrinya tersenyum begitu mesra. Tuhan inilah waktunya. Ucap sang ibu dengan bangga.