Mohon tunggu...
Mia Rosmayanti
Mia Rosmayanti Mohon Tunggu... -

semuanya adalah tentang rasa lelah dan jenuh. khayalan yang terlalu sayang untuk hilang begitu saja.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Sepintal Dongeng Jerami

26 April 2015   20:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:39 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dinginnya pagi mulai menyengat kulit. Kelopak mata seolah memberikan isyarat untuk segera bangkit dari pembaringan nyaman itu. Sesegera mungkin Liana terjaga dan memilih busana terbaiknya. Lantai-lantai dingin yang ia pijak, tidak lagi terasa. Langkahnya seolah dilapisi awan putih penuh kehangatan. Hatinya terbendung gerimis kebahagiaan. Ia mempersiapkan jantungnya untuk kembali dengan masa lalu. 11 tahun lamanya mereka tak saling bertatap ataupun berkata.

Kakinya melangkah mengambil kotak makanan yang telah disiapkannya tadi malam. Matanya menambat senyum yang benar-benar sudah tidak mampu dilukiskan oleh bibir merah delima itu.

“Bu, aku berangkat dulu ya,” senyumnya sambil mencium tangan wanita setengah baya itu. Ibunya hanya membalasnya dengan senyum dan belaian halus pada rambut Liana. Liana tersenyum simpul kemudian berlalu.

Jalanan terasa begitu ramai bagi Liana. Ribuan pohon berbaris rapi melambai-lambai menyenandungkan irama ikut gembira. Jalan seolah mempercepat laju kendaraannya dengan dorongan halus. Sinar mentari yang menyelip di antara dahan-dahan pohon tidak mau melewatkan Liana begitu saja. Hingga akhirnya ia sampai pada pondok pualam itu. Matanya berkitar mengelilingi setiap sudut tempat itu.

“Aku di sini, putri Chiliana dari negeri Jerami datang untuk bertemu pangeran Potatola yang mengorbankan jiwanya di kerajaan Fungilia,” jerit Liana menjelajah.

Tiba-tiba datang seorang lelaki berperawakan tinggi mendekat dari bilik pondok penuh jerami itu. Wajahnya eksotik menjelajah mata milik Liana. Senyumnya tepat menusuk setiap insan yang melihatnya. Mata Liana terperangah.

Liana bergegas mendatangi pria itu lantas memeluknya. Ia teteskan limpahan kebahagiaannya dengan menguras habis emosinya. Lelaki itu, balas memeluknya dengan ramah.

Nyanyian dari surga kembali terdengar. Jeritan antar perantara alam mulai bersautan seolah menanyakan kebenaran. Rintikkan embun pada setiap daun terkibas melodi penuh syahdu. Alam mulai tenang menyaksikan aduan dua insan yang tertera saling merindukan. Walau ada yang berbeda pada lelaki itu.

Liana segera membuka kotak makanan penuh jamur itu.

“Terima kasih ya atas kadonya. Sebagai gantinya, aku membawakan ini untukmu. Keripik jamur kesukaanmu,” perangah Liana menyodorkan kotak itu.

“Aku alergi jamur, Li,” jawabnya.

Mereka saling terdiam jemu. Liana sangat bimbang, dia tahu benar siapa Tola. Tola tidak mungkin alergi jamur. Apa Tola sudah melupakan makanan bersejarah ini? ungkapnya penuh misteri seolah semuanya berubah.

Liana tidak dapat lagi membendung kesedihannya. Peluh dari matanya menjelajah dengan rapi. Sampai tangan itu menggapai air mata Liana sebelum menetes. Liana hanya tertunduk diam seperti biasanya.

“Maaf karena aku tidak bisa memakannya,” sesal lelaki itu mengayun.

“Makanan itu tidak pantas aku makan,” lanjutnya.

Liana benar-benar muak dengan ucapan lelaki itu. Dia merasa kehilangan Tola yang menyenangkan. Ia beranjak menjauh kemudian duduk dengan kaku di bawah pohon beringin tua.

“Yang seharusnya di sini saat ini adalah Tola, bukan aku,” kata lelaki itu duduk dengan ragu di samping Liana. Liana menggerakkan kepala untuk ingin tahu apa alasan yang membuat pria itu mengatakan hal yang bodoh macam itu.

“Jika kamu hanya ingin mengerjaiku, ini benar-benar tidak lucu!” isak Liana sakit.

“Hai, aku sama sekali tidak ada niat untuk mempermainkan kamu. Aku ini saudara kembar Tola. Namaku Toki,” jawab lelaki itu meyakinkan. Liana masih diam tidak mau tahu.

Lelaki itu kembali berdiri.

“Aku hanya melakukan apa yang harus aku lakukan,” lelaki itu berhenti berucap. Ia menarik nafas kuat-kuat dan melanjutkan ucapannya.

“Tola meninggal satu tahun yang lalu, ia terkena Hepatitis B. Sebelum adikku pergi, ia pernah bilang bahwa aku harus memberikan kado ini kepada wanita yang bernama Liana pada ulang tahunmu tahun ini. Dia juga memberitahuku kalau aku harus ke sini keesokan harinya, dan aku sudah menjalankannya,” desah nafas itu sambil melirik sempit pada Liana. Liana masih saja terdiam.

“Liana!” lelaki itu menyentuh pundak Liana. Sepertinya ia tak mendapatkan jawaban apa-apa. Lelaki itu lalu menjulurkan tangannya dan Liana meraihnya dengan tangisan.

“Kamu harus menyelesaikan dongeng yang dibuat oleh adikku. Karena itu, dia membiarkan lembaran-lembaran selanjutnya kosong. Jangan lupakan Tola, tapi jangan juga kamu buat dia sebagai alasan penghambat untuk memulai kisah yang baru. Mata Tola selalu berkilat jika bercerita tentang kamu, di situlah aku siap untuk menemanimu,” ucap lelaki itu menggenggam jari-jari tangan halus Liana.

“Jika kamu sudah merasa cukup menangisinya, lekas pulanglah. Kamu harus tenang sebelum pulang,” lelaki itu kemudian berlalu.

Liana kembali terjatuh, syarafnya tiba-tiba mencacat. Dia hanya duduk bersandar di pohon tua itu. Air matanyamenggenang dan seolah memberi kehidupan baru untuk pohon yang disandarinya.

Hatinya benar-benar terkuras habis, tenaganya melemah untuk menangis hingga petang datang. Ia memutuskan untuk membiarkan kelopaknya tertutup di bawah sang bulan. Nyanyian malam tertangkap mesra dalam telinga. Pohon beringin yang tadinya tua dan berdaun arang kembali berdaun lebat untuk melindungi seorang gadis malang ini.

Hingga seorang perempuan setengah baya datang dan menyelimuti putri terkasihnya itu. Menjelajahi syair dan melodi dalam sebuah pelukan hangat sang bunda. Bintang di langit mulai berkelip dengan ragu. Langit mendung menyingkir dari atas, seolah tak ingin membiarkan dua insan cantik itu kebasahan.

Ribuan malaikat datang menghangatkan tempat itu. Kepakkan sayapnya beraroma ketenangan. Kunang-kunang memainkan cahaya redup sebagai pengabdiannya kepada sahabat kecil mereka yang kini terkalut duka. Ketenangan, kini memilih mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun