Angin sore berhembus lembut di tepi bukit, membawa aroma tanah basah yang menenangkan. Awan-awan tipis berarak pelan, memberi jalan bagi sinar jingga yang menari di ufuk barat. Cahaya senja memantulkan warna emas di permukaan danau yang tenang, seolah menyimpan cerita yang tak terucapkan.
Dira duduk di atas batu besar di tepi danau, ia memeluk lututnya sambil menatap langit. Ini adalah rutinitasnya setiap sore, yaitu melarikan diri dari hiruk-pikuk kota dan tenggelam dalam kenyamanan alam.
Namun hari ini, senja terasa berbeda. Ada beban di dadanya yang tak kunjung hilang, seolah dunia menuntutnya untuk mengambil keputusan yang belum pernah ia duga akan datang dalam hidupnya.
Beberapa bulan lalu, Dira datang ke kota ini dengan impian besar untuk menjadi seorang penulis terkenal. Dira percaya bahwa dengan kerja keras dan tekad, mimpi itu akan menjadi nyata. Namun, kenyataan tak pernah seindah harapannya. Tulisan-tulisannya selalu ditolak berkali-kali oleh penerbit.
Hari ini, ia baru saja menerima surat penolakan lagi untuk kesekian kalinya. Kata-kata dalam surat itu masih terngiang di kepalanya.
“Tulisan Anda bagus, tetapi belum memenuhi standar kami.”
Kata “belum” itu seperti harapan kosong yang dilemparkan tanpa arti. Setiap kali membaca kata-kata itu, Dira merasa seperti ada yang mencabik-cabik hatinya, mengingatkannya betapa jauh impian itu dari jangkauannya.
Dira menghela napas panjang, ia menatap permukaan danau yang tampak damai. “Apa aku harus menyerah?” tanyanya pada dirinya sendiri, atau mungkin pada senja yang tampaknya mendengarkannya.
Semua yang ia impikan terasa sia-sia. Namun, di balik perasaan itu, ada sebuah pertanyaan yang terus mengganggu pikirannya.
'Apakah ia harus berhenti hanya karena kegagalan yang bertubi-tubi? Apakah menyerah adalah solusi yang terbaik?'