Mohon tunggu...
Radityo Sindhu Nugroho
Radityo Sindhu Nugroho Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

saya adalah siswa sma kolese kanisius

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Kasus Penyakit Menular Seksual di Indonesia: Tantangan Kesehatan Masyarakat yang Terabaikan

20 November 2024   13:37 Diperbarui: 20 November 2024   13:40 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penyakit Menular Seksual (PMS), atau yang sekarang lebih dikenal sebagai Infeksi Menular Seksual (IMS), merupakan salah satu tantangan signifikan dalam kesehatan masyarakat di Indonesia yang sering kali terabaikan. Permasalahan ini tidak hanya berdampak langsung pada kesehatan fisik individu yang terinfeksi, tetapi juga membawa implikasi sosial yang luas, mempengaruhi kebijakan kesehatan, serta menciptakan beban psikososial yang substansial. Kurangnya kesadaran masyarakat dan minimnya dukungan terhadap program pencegahan yang komprehensif, seperti edukasi kesehatan, penyediaan fasilitas medis, dan kebijakan spesifik, semakin memperburuk situasi penyebaran PMS di Indonesia.

Penanganan PMS memerlukan pendekatan lintas sektor dan multidisiplin, sebab penyakit ini tidak hanya menyerang aspek biologis individu, tetapi juga memperburuk kualitas hidup secara keseluruhan. Tanpa penanganan yang tepat, PMS dapat menimbulkan komplikasi jangka panjang seperti infertilitas, penyakit inflamasi panggul, hingga kanker tertentu. Lebih jauh lagi, stigma sosial terhadap PMS sering kali menyebabkan penderita mengalami masalah psikologis seperti depresi dan kecemasan, yang pada gilirannya memperparah akses terhadap layanan kesehatan.

Angka Kejadian yang Mengkhawatirkan

Data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan peningkatan kasus PMS, terutama di kalangan remaja dan dewasa muda. Penyakit-penyakit seperti sifilis, gonore, klamidia, dan HIV/AIDS terus mencatatkan angka infeksi yang signifikan, dengan prevalensi tertinggi pada kelompok usia 15-24 tahun. Laporan tahun 2022 mengindikasikan bahwa lebih dari 500.000 kasus baru PMS dilaporkan setiap tahunnya. Generasi muda, yang seharusnya menjadi aset masa depan bangsa, justru menjadi salah satu kelompok yang paling rentan terhadap penyakit ini.

Baca juga: Fenomena

Fenomena peningkatan ini perlu dilihat dari perspektif yang lebih luas. Minimnya akses terhadap edukasi kesehatan reproduksi, rendahnya penggunaan alat kontrasepsi, dan budaya tabu dalam membahas seksualitas menjadi penghambat utama. Misalnya, di banyak daerah, pembahasan mengenai seksualitas masih dianggap tabu, sehingga orang tua dan guru enggan memberikan informasi yang dibutuhkan oleh remaja. Akibatnya, remaja sering mencari informasi dari sumber yang tidak terpercaya, yang dapat memperburuk pemahaman mereka tentang kesehatan reproduksi. Tingginya angka kasus yang tidak dilaporkan, akibat stigma dan kurangnya kesadaran akan gejala, juga menjadi tantangan besar dalam memahami prevalensi sebenarnya dari PMS di Indonesia. Dengan demikian, diperlukan strategi yang lebih inovatif dan berbasis bukti dalam pendataan dan pemantauan kasus, serta peningkatan peran tenaga kesehatan dalam menjangkau komunitas yang rentan.

Teknologi dan media digital menawarkan potensi yang besar dalam menjangkau kelompok usia muda yang lebih sering mengakses informasi melalui platform online. Kampanye kesehatan reproduksi melalui media sosial dapat menjadi sarana yang efektif, asalkan konten yang disampaikan akurat, terpercaya, dan relevan dengan konteks lokal. Misalnya, kampanye #SayaBerani di Instagram telah berhasil meningkatkan kesadaran remaja terkait PMS dengan menyediakan informasi yang mudah diakses dan interaktif. Platform seperti YouTube juga digunakan oleh beberapa influencer kesehatan untuk menyampaikan edukasi reproduksi melalui video informatif yang menarik bagi anak muda. Namun demikian, pemanfaatan teknologi harus diiringi dengan upaya sistematis untuk meningkatkan literasi digital, sehingga informasi yang diterima tidak salah kaprah dan justru menyesatkan.

Stigma dan Dampaknya terhadap Pencegahan

Salah satu tantangan terbesar dalam upaya pencegahan dan penanganan PMS di Indonesia adalah stigma sosial yang menyelubungi penyakit ini. Sebagai contoh, survei tahun 2022 menunjukkan bahwa lebih dari 40% individu dengan gejala PMS enggan mencari bantuan medis karena takut mendapatkan stigma atau diskriminasi dari masyarakat dan tenaga kesehatan. Tingkat penolakan ini memperburuk penyebaran penyakit karena keterlambatan diagnosis dan pengobatan. Penderita PMS sering kali mendapatkan perlakuan diskriminatif dari lingkungan, baik dalam bentuk sikap menghakimi, ejekan, hingga pengucilan sosial. Stigma ini menghambat individu yang terinfeksi untuk mencari pertolongan medis atau bahkan untuk sekadar melakukan tes diagnostik. Akibatnya, banyak kasus yang tidak terdeteksi atau terlambat mendapat pengobatan, sehingga meningkatkan risiko komplikasi serius dan penyebaran penyakit yang lebih luas.

Stigma ini juga berdampak negatif pada upaya pemerintah dalam mengampanyekan pencegahan PMS. Edukasi dan sosialisasi di tingkat sekolah, komunitas, dan media massa sering terhambat karena adanya hambatan budaya dan ketakutan akan dampak sosial yang ditimbulkan jika topik seksualitas dibahas secara terbuka. Dalam konteks ini, perlu ada perubahan paradigma di masyarakat mengenai PMS, di mana penyakit ini harus dipandang sebagai kondisi medis yang bisa dicegah dan diobati, alih-alih sebagai aib yang merendahkan martabat seseorang.

Integrasi pendidikan kesehatan reproduksi dalam kurikulum sekolah menjadi salah satu solusi potensial untuk mengatasi masalah stigma. Dengan memberikan informasi secara ilmiah dan objektif, siswa dapat lebih memahami risiko dan pencegahan PMS sejak dini. Di samping itu, pendekatan berbasis komunitas dan keterlibatan tokoh masyarakat serta pemuka agama sangat dibutuhkan untuk menciptakan lingkungan yang lebih suportif bagi mereka yang terinfeksi PMS. Pendekatan ini harus menekankan bahwa PMS bukanlah hasil dari moralitas individu yang buruk, tetapi merupakan tantangan kesehatan yang bisa dialami siapa saja.

Upaya mengurangi stigma harus diiringi dengan penguatan layanan kesehatan, terutama di kalangan remaja dan kelompok rentan. Ketersediaan layanan kesehatan yang ramah, terpercaya, dan menjaga kerahasiaan pasien dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat untuk mengakses tes dan pengobatan. Dukungan dari para tenaga medis yang memiliki pemahaman mendalam mengenai sensitivitas isu ini sangat penting untuk menciptakan suasana yang nyaman bagi pasien.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun