Selepas dari perjalanan naik turun melewati hutan dan sawah, kami sampai ke sebuah tempat berkumpulnya air yaitu sungai dan curug. Pemandangan dari atas sungguh mempesona. Ada fasilitas perkemahan yang bisa disewa untuk bermalam. Kamar mandi bersih. Persewaan ban untuk berenang. Selain itu, di bagian tengah jembatan dibangun. saat kami datang masih dalam tahap pengerjaan dan masih ada alat pertukangan yang menunjukkan jembatan masih dikerjakan.Â
Sesampainya di sungai, kami langsung berenang ke sungai untuk melepaskan penat. Air dingin terasa kontras dengan panasnya cuaca saat itu dan keringat yang mengucur terbilas dengan air dingin.Â
Dua keponakan lelaki langsung saja menceburkan diri dan mencari ikan adan lainnya langsung berenang. Saat itu banyak pemuda pemudi menyewa tenda dan bermalam di camping ground di sekitar curug Leuwi Bumi. Energi positif dari derasnya curug berhasil menggugah sisa-sisa energi pada pekan itu. Terasa kekuatan alam berpadu dengan energi air yang mengalir, menghapuskan energi negatif.Â
Latar dan suasana curug Leuwi Bumi sangat syahdu meski di siang hari. Jajaran pohon tanaman industri mewarnai pemandangan gunung Jeungjin sebagai paketnya.Â
Mengingat perjalanan yang lama untuk sampai di tempat ini. Kami berusaha untuk tidak melebihi pukul 3 sore harus segera pergi agar tidak kemalaman di jalan karena posisi curug yang berada di tengah gunung dan hutan. Â
Satu jam berenang terasa lama dan memuaskan karena keluarga kami bisa jadi keturunan avatar penguasa air. Sama sekali tidak beranjak keluar dari sungai dan air terjun. Â Hingga terjadi sesuatu yang membuatku "sedikit" Â trauma.Â
Jika ini sebuah cerita narasi, sekaranglah topik utama atau konflik utamanua. Saya hampir tenggelam di sungai yang  dalamnya dua meter. Awalnya, saya sudah tahu jika tempat tersebut perlu dihindari bagi yang tidak bisa renang. Saya berenang di tempat yang dangkal. Namun, ada aliran air yang cukup kuat mendorong tubuhku sehingga terbawa ke daerah yang lebih dalam itu.Â
Dengan segala cara untuk bertahan hidup. Saya mengambil udara dan tidak tergapai. Megap mega seperti ikan koki. Hendal ke bawah berdiri terlalu jauh tidak bisa berdasar. Saya tidak terlalu jago berenang. Hanya bisa sedikit saja. Saat itu, terpikir mungkin umur sudah cukup sampai di sini. Karena suami juga tidak bisa berenang tetapi untung saja ada ponakan yang menarik tangan ke tempat yang dangkal sehingga bisa bernafas kembali. Setelah itu, perut terasa kram dan nafas terkenal sengal kemasukan air. Saya menenangkan diri dulu di pinggir sungai.Â
Jujur, saat setelah hampir tenggelam. Untuk sesaat, aku trauma. Tetapi kali ini saat menulis. Saya tetap ingin berenang tentunya di tempat yang tidak dalam atau cukup bermain air. Pengalaman ini memang menakutkan sekaligus menyenangkan.Â
Setelah berganti baju di kamar mandi yang bersih, saya duduk sebentar di bangku atas. Ternyata di situ kita bisa melihat keindahan curug dari sisi penonton. Selama ini saya melihat banyak wisatawan yang duduk dengan melihat pemandangan curug dari kejauhan. Rupanya setelah saya coba sendiri, rasanya menyenangkan juga. selain dengan menyusuri sungai dan bermain air, memandangi air pun menimbulkan perasaan bahagiaÂ