(Cerita perjalanan ke curug leuwi Bumi ini akan saya bagi jadi tiga bagian agar informasi di dalamnya bisa bermanfaat untuk pembaca yang ingin berwisata ke sana)Â
Banten, sebuah provinsi di penghujung barat pulau Jawa menyimpan permata yang indah nuansa apalagi pada musim kemarau. curug leuwi bumi.Â
Keberangkatan kami sekeluarga awalnya tanpa direncanakan. Minggu siang dengan panas menyengat adalah sebuah hal yang kami hindari sehingga saya, suami dan dua ponakan ingin ke tempat wisata murah meriah yang bisa menyegarkan untuk berenang serta bermain.Â
Perjalanan menuju lokasi bukanlah persoalan yang mudah. Selain kami hanya mengandalkan kecerdasan buatan pemetaan alias maps yang tentunya tidak 100 persen akurat dibantu dengan bertanya kepada penduduk sekitar.Â
Kami membawa sepeda motor ke arah Mandalawangi hingga menuju perkampungan desa yang memiliki kontur pegunungan dengan jalan yang masih terjal berbatu dan rusak. Kondisi ini menyulitkan bagi pengendara motor terutama yang berboncengan dan awam dengan daerah tersebut.Â
Beberapa kali saat jalan menanjak, kami berhenti dan mendorong sepeda dengan berjalan kaki karena motor suami kekurangan daya angkat. Saya turun dari motor dan berjalan menanjak naik.Â
Jalan seperti ini beberapa kali ada dan masyarakat setempat nampaknya sudah terbiasa. Kami sebagai wisata wan merasa kaget dengan situasi jalan yang berbatu dan akses jalan yang naik turun bukit curam. Di beberapa ruas jalan juga ada jurang sehingga harus berhati-hati dalam mengendarai motor.Â
Saat itu, kami sebagai wisatawan baru ke sana sudah merasa putus asa bahkan sebelum mencapai air terjun karena perjalanan yang penuh menantang. Namun, manusia penuh rasa penasaran yang bergejolak sehingga tidak mungkin untuk berhenti. Tanda petunjuk Curug Leuwi Bumi mulai terlihat. Rupanya perjalanan masih jauh lagi masuk ke dalam perkampungan dengan jalan cuma selebar 100 cm dengan tanjakan dan turunan curam.Â
Saya memutuskan untuk berjalan saja demi keselamatan. Suami yang mengendarai motor hingga ternyata sampai di pintu masuk.
Ada penduduk lokal di sana pada sebuah saung. Kumpulan ibu ibu yang melayani dengan karcis. 1 orang 15 ribu dan motor 10.000 per motor. Kami berempat dan dua motor sehingga total 70 ribu. Melihat parkiran hanya ada motor dan mengingat akses yang kami lalui. Yap, tempat ini hanya bisa dijangkau dengan motor dan jalan kaki bagi orang yang berniat
Setelah membayar, kami masuk dengan jarak yang masih jauh rasanya masih sekitar 10 km atau sebenarnya hanya 5 km dengan berjalan kaki menyusuri jalan yang sudah dipasang paving tetapi jalannya naik turun dengan tingkat kecuraman hampir 70 derajat. Untuk menuruni, perlu kekuatan lutut dan jika seusia saya perlu tongkat untuk membantu.Â
Kami melalui jalan dengan pemandangan sawah warga yang dipanen. Pada jalan itu, kami sudah tidak dibolehkan membawa motor. Motor harus diparkir di lapangan sebelum pintu masuk. Hanya ojek yang merupakan penduduk setempat-lah yang dibayar untuk membawa naik turun tetapi kalau menurut saya terlalu menakutkan untuk dibonceng pada kondisi kontur tanah yang naik turun dan memiliki resiko untuk melipir atau jatuh ke jurang.Â
Saya berjalan menyusuri tentunya dengan terengah-engah. Tentu tidak bagi ponakan dan suami yang memiliki tubuh ideal. Saya menyesal saat itu jarang berolahraga.Â
Akhirnya, sampailah ke curug tersebut dengan susah payah dan keringat serta nafas yang memburu.Â
Melihat lokasi dan suasana curug leuwi Bumi. Rasa lelah terbayar karena begitu indah pemandangan yang kami lihat.Â
Melihat air terjun dan sungai deras yang mengalir. Pikiran saya saat itu langsung terbuai.Â
Bagian 2 menceritakan pengalaman berenang di curug leuwi bumi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H