Jantungku berdegup tak karuan. Momen yang kutunggu dan kutakutkan bersamaan akhirnya tiba. Dengan langkah canggung, aku masuk ke dalam ruang praktik, diiringi bayangan keperihan yang sudah tergambar di benakku.
Di dalam, dokter gigi yang selama ini merawatku menyambut dengan senyuman. Dr. Arini, seorang perempuan berusia tiga puluhan, selalu mampu membuatku merasa sedikit lebih nyaman meski, jujur, ketenangan itu tak pernah bertahan lama.
"Bagaimana, Mbak Yolanda? Ada yang sakit hari ini?" tanyanya ramah.
Sementara aku duduk di kursi pemeriksaan yang menyerupai alat penyiksaan di abad pertengahan, aku menjawab, "Iya, Dok. Gigi graham belakang rasanya mulai ngilu lagi."
Dr. Arini mengangguk pelan, lalu mulai memasang sarung tangan dan masker. Seluruh proses itu selalu membuatku merasa seperti pasien operasi besar. Sementara ia mempersiapkan peralatan, aku mengingatkan diriku untuk bernafas dengan tenang. Namun, tepat di saat itu, sesuatu yang tak terduga terjadi.
"Tunggu sebentar, Mbak. Ada yang sedikit berbeda hari ini," ucap Dr. Arini sambil memeriksa sebuah alat di mejanya.
Alat yang seharusnya berupa bor gigi tiba-tiba mengeluarkan suara aneh. Bunyi yang lebih menyerupai suara dengung serangga raksasa daripada mesin medis yang sudah sangat familiar di telinga. Dr. Arini tampak canggung sejenak, sementara aku mulai merasakan kecemasan meningkat.
"Ah, sepertinya alatnya perlu diperbaiki. Tapi jangan khawatir, Mbak. Saya sudah terbiasa menangani keadaan darurat," katanya dengan suara tenang yang, jujur, tak banyak membantu.
Aku mencoba tertawa untuk meredakan ketegangan, tetapi rasanya lebih mirip lolongan ketakutan.
"Dok, ini alatnya masih aman, kan?" tanyaku dengan nada setengah bercanda, meskipun di dalam hatiku sangat berharap jawabannya pasti.
"Tenang saja, Mbak Yolanda. Ini hanya sedikit masalah teknis." Dr. Arini memeriksa alat itu lagi dengan tatapan yang lebih serius.