Mohon tunggu...
Kimi Raikko
Kimi Raikko Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Just Another Days In Paradise \r\n\r\n \r\n\r\n\r\n \r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Ketidakberdayaan terhadap RIM BlackBerry?

14 Desember 2011   05:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:19 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_148671" align="aligncenter" width="640" caption="Sumber: http://www.telkomania.com"][/caption] Entah untuk kesekian kalinya kita mendengar ancaman dari regulator, apakah itu BRTI atau pemerintah melalui Menkominfo tentang pencabutan layanan RIM, pembuat smartphone BlackBerry dari Kanada. Kadang saya sendiri berpikir, tidakkah mereka bosan hanya mengajukan ancaman yang lebih mirip pepesan konsong itu? Hal ini terbukti, berita terbaru di kompas.com hari ini mengabarkan pemerintah memutuskan untuk tidak akan menghentikan layanan BlackBerry dari RIM. Tiga hari yang lalu, melalui sebuah tweet di Twitter, saya sudah memprediksikan bahwa baik itu BRTI maupun pemerintah melalui Menkominfo tidak akan mampu bertindak tegas terhadap RIM. Tweet saya tersebut tentu memiliki alasan yang cukup masuk akal. Pertama, pengguna BlackBerry di Indonesia itu menurut data terkini ada sekitar 5 juta pelanggan, bahkan pengiriman handset BlackBerry di Indonesia diperkirakan mencapai 9 juta unit. Angka-angka ini tentu sangat berarti dari sisi ekonomi. Coba kita perkirakan, sekitar 50% saja dari 5 juta pelanggan tersebut membeli pulsa sebesar rata-rata 100.000 sebulan untuk mendapatkan layanan Unlimited BlackBerry. Jumlah uang yang masuk tentu saja mencai 2,5 triliun. Jumlah ini tentu saja sangat besar, dan berkontribusi bagi penjualan pulsa operator yang menjadi tumpangan layanan BlackBerry. Coba kita perkirakan, bagaimana nasib pelanggan yang jumlahnya 5 juta tersebut jika layanan RIM dihentikan. Saya kira pemerintah atau regulator yang malah ketakutan jika ancaman tersebut dilakukan, bukan RIM. Kedua, tidak mudah untuk menafikan RIM dalam bisnis komunikasi di Indonesia saat ini. RIM dengan BlackBerry-nya berbeda dengan handset maker lainnya, seperti Apple Inc., Samsung, bahkan Nokia. Jika dulu Nokia sempat berjaya dengan menjual ponsel sejuta umat, kini posisinya telah digantikan oleh RIM dengan menjual smartphone sejuta umat. Angka-angka penjualan RIM di Indonesia terus meningkat. Hal ini diakui sendiri oleh wakil RIM. Indonesia kini menjadi pasar utama RIM karena melihat persaingan yang tidak menguntungkan bagi mereka di negara lain seperti Eropa dan Amerika Utara. Jikalau bukan Indonesia pasar utama mereka saat ini, RIM tentu tidak perlu repot meluncurkan smartphone terbaru mereka di Indonesia, yang merupakan sejarah baru bagi perusahaan asal Kanada tersebut. RIM memang berbeda karena mereka pembuat handset sekaligus sebagai perusahaan penyedia jasa telekomunikasi. Sekali lagi operator di Indonesia hanyalah tumpangan dari layanan RIM. Demikian juga di negara lain seperti Inggris yang beberapa waktu yang lalu mengalami pemadaman layanan. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh operator jika layanan BlackBerry mengalami gangguan selain hanya bisa menunggu perbaikan dari RIM. Tentu saja posisi berbeda ini menuntut perlakuan berbeda pula. Namun sering sekali karena perbedaan ini RIM mampu melakukan pendiktean layanan karena mereka percaya konsumen mereka sangat membutuhkan layanan dari RIM. Ketiga, soal permintaan pendirian data center di Indonesia yang dijadikan alasan untuk menghentikan layanan BIS dari RIM. Kesepakatan tersebut tidak menyebutkan secara eksplisit kewajiban RIM untuk mendirikan data center di Indonesia. Bisa saja RIM mengartikan pendirian data center tersebut di wilayah yang dekat dan mereka kira cukup aman bagi investasi mereka. Mereka kemudian memilih Singapura dan mendirikan pabrik baru di Malaysia. Sesungguhnyalah kita bertanya, apa alasan mereka melakukan hal tersebut karena kedua negara tersebut tidaklah sebagus Indonesia dalam hal jumlah penjualan BlackBerry dan penduduknya pun sangat sedikit dibandingkan Indonesia. [caption id="attachment_148673" align="alignright" width="300" caption="Pengguna BlackBerry, sumber: teknojurnal.com"][/caption] Saya melihat dari sisi lain, yaitu investasi data center yang tidak murah. Investasi di data center merupakan investasi jangka panjang yang tentu saja sangat berisiko jika dilakukan di sebuah negara dengan kondisi politik sering tidak stabil dan bisa berubah dalam waktu singkat seperti  Indonesia. Keputusan mendirikan data center bukanlah kewenangan wakil RIM di Indonesia atau bahkan di Asia, melainkan di Waterloo, Kanada karena menyangkat nilai investasi yang sangat besar dan jangka waktu yang panjang. Pemerintah ataupun regulator sudah pasti tahu hal ini sehingga mereka pun hanya akan kembali kepada keputusan untuk tetap membiarkan layanan RIM. Jadi ancaman selama ini tidak lebih kepada semacam psywar yang tidak jelas tujuannya ataukah sekadar memaksakan   aturan dalam Keputusan Menteri (Kepmen) Perhubungan No 21 Tahun 2001 tentang Jasa Telekomunikasi. Mungkin saja bukan RIM lah yang saharusnya dipaksa tunduk kepada aturan tersebut, bisa jadi aturan tersebut harus diganti karena tidak lagi sesuai dengan kondisi saat ini. Demikian juga dengan pembangunan pabrik baru RIM di Malaysia. Sebagaimana dengan perusahaan lainnya seperti Google yang sudah bertemu dengan wakil presiden dan ingin meluaskan bisnis mereka di Indonesia, Indonesia mereka klaim merupakan pasar yang potensial. Namun ada kendala bagi mereka untuk memutuskan berinvetasi, yaitu kondisi infrastruktur dan ketenagakerjaan yang jauh lebih jelek dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia. Secara tersamar RIM dalam memutuskan pendirian pabrik baru mereka di Malaysia mengatakan bahwa kondisi infrastruktur Indonesia harus diperbaiki terlebih dahulu dan kualitas tenaga kerja terampil juga harus diperbanyak dan ditingkatkan. Hal yang cukup lucu untuk kita perhatikan adalah mengapa ancaman pelarangan atau pencabutan layanan BlackBerry tersebut masih saja seperti tahun lalu. Semestinyalah regulator dapat menemukan hal-hal yang baru sebagai dasar untuk memberikan tekanan lebih kepada RIM. Jika masih seperti tahun lalu, kondisinya pun akan sama dan kita telah mengetahuinya, bahkan dari awal muncul berita ini, saya sudah percaya pemerintah atau regulator tak akan berdaya terhadap RIM. Bukan karena karena RIM tidak takut dengan ancaman penghentian layanan, melainkan karena mereka tahu pemerintah atau regulator Indonesia tidak akan bisa memaksakan keinginan mereka karena berbagai pertimbangan dan kekurangan yang ada di Indonesia sendiri. #RIM #BlackBerry #BRTI #TidakBerdaya

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun