Mohon tunggu...
Kimi Raikko
Kimi Raikko Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Just Another Days In Paradise \r\n\r\n \r\n\r\n\r\n \r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Exposure Culture Media Sosial

6 Desember 2011   05:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:46 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_146853" align="aligncenter" width="640" caption="Sumber: http://www.hameedhemmat.com"][/caption] Dosa besar dari Exposure Culture ini bukanlah menjiplak, meng-copy paste secara keseluruhan, menyalin konten, menterjemahkan dan lainnya, tetapi kepada penyebutan sumber yang tidak pantas (The Long Tail)

Perlu kiranya kita memahami, negara Indonesia ini bukanlah pembuat berita teknologi yang menarik. Negara-negara luar seperti Amerika Serikat, Eropa dan lainnya merupakan pencipta konten, sedangkan kita lebih kepada konsumen konten. Dengan demikian, tentunya negara-negara tersebut dengan banyak situs dan kantor berita merupakan sumber berita yang penting. Untuk mendapatkan berita tersebut, tentunya ada harga yang harus dibayar. Namun bagi pewarta warga yang mandiri, tentunya tidak bisa untuk membayar lalu membagi berita tersebut secara gratis karena pada dasarnya ia tidak mendapatkan keuntungan ekonomi apa pun. Petualangan saya sampai kepada sebuah buku Chris Anderson, The Long Tail. Dalam sebuah bab, seorang profesor di AS sana menunjukkan bahwa dengan majunya web atau internet, Exposure Culture tidak terelakkan. Exposure Culture secara harfiah bisa kita katakan sebagai budaya dilihat/tampil. Tentunya untuk tampil ini perlu konten, karena konten adalah hal yang sangat penting di dunia internet. Bagi anda penyuka fotografi, mungkin anda akan mengupload foto dan membagi beberapa foto dari sumber lain yang anda sukai. Dengan demikian anda tampil lalu dikenal. Sang profesor mengatakan bahwa tentunya untuk bisa tampil tidak melulu mengandalkan konten yang dibuat sendiri karena sumber konten sangat banyak, hampir tanpa batas. Ia mengatakan dosa besar dari Exposure Culture ini bukanlah menjiplak, meng-copy paste secara keseluruhan, menyalin konten, menterjemahkan dan lainnya, tetapi kepada penyebutan sumber yang tidak pantas. Artinya banyak yang ingin tampil di internet dan media sosial mengutip kata-kata orang lain, menterjemahkan hasil sebuah penelitian, kejadian atau lainnya, namun tidak jujur dalam menyebutkan sumber atau siapa sebenarnya yang membuat konten tersebut sebelum ditampilkan dalam bentuk atau kemasan lain oleh si penulis. Ini merupakan sebuah gagasan yang cukup radikal tentunya karena sampai sekarang masih cukup banyak kantor berita atau situs yang seolah-olah menjebak pengguna internet yang berinteraksi di media sosial atau media warga dengan tidak menyertakan firewall terhadap berita yang mereka muat. Menjebak karena setelah nanti berita tersebut dikemas dalam bentuk lain, dan disebutkan sumbernya secara layak, baik berupa nama situs maupun link, mereka masih saja menuntut bahwa berita tersebut memiliki hak cipta dan hanya pelanggan yang melakukan subscription saja yang berhak memindahkan berita tersebut ke bentuk lain. Dengan makin meningkatnya budaya Exposure Culture ini, sebenarnya hal yang disebutkan oleh sang profesor tersebut menjadi semakin logis. Coba kita pikir, bila tidak ada yang mengemas berita yang ada di kantor berita berbayar tersebut, atau hanya mainstream media yang membayar saja yang dibolehkan untuk mereproduksi berita, tentunya nilainya akan sangat berkurang. Dengan menyebutkan sumber, baik nama situs maupun link menuju artikel yang asli sebenarnyalah bahwa si penulis mengatakan bahwa artikel ini bukan sepenuhnya dibuat oleh dirinya sendiri. Ini sebuah bentuk pengakuan jujur dan dengan menyertakan link akan terlihat perbandingan antara artikel asli dengan artikel yang telah dikemas ke bentuk yang lain. Pertanyaannya, apakah sumber artikel asli akan rugi karena mereka menggaji wartawan untuk mendapatkan berita. Ini mungkin sebuah pertanyaan yang susah sekali untuk dijawab. Namun kembali kepada pengelolaan sebuah situs, dengan menyertakan firewall atau subscription pada artikel-artikel tertentu yang diangap bernilai tinggi, berita atau artikel tersebut tentu saja tidak akan mudah disalin ke bentuk atau bahasa lain. Namun ini pun sebenarnya sudah banyak dipertanyakan. Di zaman internet ini, hal-hal yang membatasi dianggap ketinggalan. Saya pernah membaca sebuah artikel tentang apa perlunya sebuah firewall atau subscription jikalau nantinya berita atau artikel  tersebut akhirnya menyebar juga dengan berbagai macam cara, seperti melalui pihak yang telah membayar lalu mempublikasikan berita tersebut di situsnya, kemudian disalin oleh orang lain. Nah kita melihat tekanan Exposure Culture ini cukup kuat. Facebook baru-baru ini memungkinkan update status sebanyak 60.000 karakter, Google Plus 100.000 karakter. Jika kita hubungkan, artikel atau berita tidak mungkin sampai sepanjang itu. Artinya sangat terbuka kemungkinan bagi orang lain untuk melakukan penjiplakan, penyalinan dan lain sebagainya. Untuk itu tentunya dengan mencantumkan sumber dan link ke artikel yang asli merupakan solusi yang sangat tepat. Namun hal ini tentulah bertolak belakang dengan keinginan mereka yang memiliki konten asli. Mereka tentunya ingin memperoleh pendapatan karena jualan mereka adalah berita. Namun bagi saya tentulah cukup tidak logis karena ini zaman internet, zaman kemajuan media sosial di mana orang perlu membutuhkan konten untuk tampil. Banyak orang yang ingin menjadi copyleft, namun dengan cara-cara yang beretika dengan menyebutkan sumber yang layak. Ketika mereka menyebutkan sumber yang layak, sebenarnyalah mereka telah menunaikan kewajiban mereka untuk mengakui bahwa artikel tersebut bukan sepenuhnya dari diri mereka sendiri. Ketika mereka digugat melakukan plagiasi karena kesamaan berita, namun dengan cara yang berbeda dalam mendapatkannya, semestinyalah tidak dikategorikan sebagai plagiasi karena internet memungkinkan segala sesuatu terjadi dan si penulis telah menunaikan kewajibannya untuk mengakui sumber berita dengan sangat layak. Sebenarnya, sumber berita tidak perlu khawatir dengan praktik seperti ini. Sesuai dengan logika The Long Tail, artikel populer dari sumber berita asli akan tetap berada diujung kurva permintaan. Mereka akan selalu dirujuk dan dilihat sehingga mereka akan mendapat exposure terbesar, sementara yang sudah diubah ke bentuk lain atau bahasa lain akan makin ke kanan dari kurva karena keterbatasan atau tirani lokalitas yang sengaja diciptakan oleh penulisnya. Saya berani mengatakan bahwa konten artikel asli akan tetap mendapat klik paling terbesar, sementara yang sudah dipindahkan akan mendapat klik alakadarnya karena adanya berbagai keterbatasan seperti bahasa, pengguna dan banyak lainnya. Ini saya buktikan artikel yang saya tulis hanya diklik sekitar 300 orang saja, jumlah yang sangat kecil dibandingkan dengan sumber berita asli. Tentunya sebuah hal yang tidak relevan, jika kita melihat majunya media sosial saat ini, sementara hukum dan aturan yang berlaku khususnya mengenai hak cipta tidak juga berpihak kepada mereka. Di masa depan tentunya ini menjadi hal yang sangat penting untuk dipikirkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun