[caption id="attachment_193735" align="aligncenter" width="500" caption="Tiga dari empat Founding fathers Indonesia, dari kiri: Sutan Sjahrir, Sukarno, dan Hatta, sumber: http://4.bp.blogspot.com"][/caption] Ketika Indonesia memasuki usia 67 tahun hari ini, Sutan Sjahrir kembali menjelang di pikiran saya. Semalaman saya paksakan untuk menuliskan kata-kata untuk sekadar pelipur lara bagi Bung Kecil yang sangat besar jasanya bagi republik ini. Ia yang kini berada di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Satu-satunya dari empat Bapak Pendiri Republik ini yang dimakamkan di sana, Hatta tidak, Soekarno tidak, apalagi Tan Malaka. Bung Kecil begitu ia akrab dipanggil, badannya kecil, namun sungguh paradoks dengan semangat demokrasi dan rasa tidak takutnya. Pernah sewaktu masih di Bandung teman-temannya menguji si Bung untuk tidur di pemakaman, si Bung Kecil menganggap tidak ada hantu di dunia ini, ia seorang yang tidak percaya tahyul. Sangat logis, tidak percaya pada keangungan kisah-kisah lampau masa-masa kerajaan seperti Majapahit. Semua di dunia ini nyata adanya, menurutnya. Sewaktu masih menjadi perdana menteri mobil dinas Bung Kecil diberhentikan oleh prajurit NICA. Bung Kecil santai saja walau pipinya berdarah dan mengeluarkan arolji dari kantongnya sambil bertanya, pukul berapa sekarang? Bung kecil yang senang politik bukan karena keinginannya adalah contoh seorang intelek yang sampai sekarang sulit mencari padanannya. Perkiraannya hampir selalu benar termasuk dunia yang akan dikuasai oleh dua kekuatan, Barat dan Timur setelah perang dunia kedua selesai dan militerisme yang berkuasa di Indonesia selama orde baru. Namun Bung Kecil adalah pemimpin yang melarat, hampir sama dengan Tan Malaka, berjuang sedari muda untuk kemerdekaan Indonesia, namun mati dipenjara oleh negara yang didirikannya tersebut. Nasib yang sungguh malang semalang Tan Malaka yang ditembak dalam sunyi di suatu sudut di Kediri, Jawa Timur. Masa Kecil dan Politik Etis Saya ingat sekali, ibu Bung Kecil adalah seorang ibu yang sangat suka dengan Komedi Stambul yang biasanya mampir di kota mereka tinggal sewaktu Bung Kecil masih kecil. Ini salah satu lirik nyanyian Komedi Stambul tersebut: En satoe en satoe en satoe dat is een En batoe en batoe en batoe dat is steen En roti en roti en roti dat is brood En mati en mati en mati dat is dood Lahir di Minangkabau, Bung Kecil bertransformasi menjadi orang yang sangat suka kemajuan dan hampir-hampir tidak pernah berbicara dengan bahasa Minang. Ia adalah contoh Belanda Coklat yang lahir akibat politik balas budi Belanda yang mendapat apresiasi tinggi di daerah yang kini disebut Sumatera Barat. Rudolf Mrazek menuliskan tentang betapa politik etis ini mendapatkan sambutan yang luar biasa di daerah kelahiran Bung Kecil ini. “Di Padang saja pada tahun 1912 terdapat 23 sekolah etis dengan murid keseluruhan berjumlah 1.200 orang, bandingkan dengan yang ada di seluruh Jawa dan Madura yang hanya 53 buah. Tuntutan mempelajari Bahasa Belanda menjadi begitu besar di kalangan orang Minangkabau sehingga siapapun yang sedikit mengetahui bahasa itu akan membangun sekolah sederhana di belakang rumahnya untuk memberikan kursus kepada pegawai negeri atau profesional yang berminat“. Bung Kecil tidak lama berada di daerah Minangkabau, beberapa waktu kemudian mereka pindah ke Jambi lalu Medan. Di Medan Bung Kecil sekolah di pagi hari dan sore harinya mengaji. Tidak lama kemudian Bung Kecil pergi ke rantau yang lebih luas lagi yaitu Bandung, untuk bersekolah di AMS. Di Bandung Setelah menamatkan MULO, Bung Kecil berlayar menuju Bandung untuk bersekolah di AMS jurusan Barat Klasik. Jurusan ini dipilih sebagai upaya melanjutkan jabatan jaksa ayahnya kelak. Di Bandung ini pula Bung Kecil mulai berkenalan dengan politik, Dr. Cipto Mangunkusumo dan tentu saja Soekarno yang ia hentikan pembicaraannya di sebuah forum rapat bumiputera. Bung Kecil memasuki Jong Indonesie yang mendirikan sekolah khusus bernama Tjahja Volksuniversiteit atau universitas untuk rakyat yang dirancang bukan hanya untuk mengajar membaca dan menulis, tetapi juga memberikan pengajaran dalam bahasa asing, ekonomi, matematika, fisika dan lainnya. Di Bandung juga Bung Kecil yang sudah suka bermain sepak bola dari dulu tersalurkan hobinya dengan masuk ke dalam Club Voetbalvereniging Poengkoer. Ia menjadi penyerang yang licin dan hebat. Tidak ketinggalah Bung Kecil mengasah kemampuan berdebatnya dengan mendirikan Patriae Scientiaeque, forum bagi pelajar dan pemuda untuk melakukan debat tentang ide kebangsaan. Pada bulan Juni 1929 setelah menamatkan AMS, Bung Kecil mengepak tasnya untuk selanjutnya meneruskan rantau yang lebih luas ke Belanda untuk belajar hukum guna suatu saat kelak bisa menggantikan ayahnya yang seorang jaksa, namun semua itu tak tercapai karena ia lebih mencintai politik daripada belajar. Di Belanda Bung Kecil mengikuti saran keluarganya agar suatu saat kelak bisa menggatikan ayahnya yang jaksa. Ia memasuki Fakultas Hukum Universitas Amsterdam. Namun sebenarnya hampir tidak ada waktu kuliah yang dijalani Bung Kecil, kegiatan utamanya adalah mempelajari Sosialisme, Marxisme dan pergerakan kebangsaan. Ia berkembang dalam iklim Barat dengan pola pikir Barat dan hampir-hampir tidak ada lagi kesan bahwa sebenarnya orang Indonesia dengan pola pikir yang dimilikiya dan berkembang sangat baik. Menurut teman-temannya di Belanda, Sutan Sjahrir menyelami sosialisme sangat dalam hingga bergaul sangat bebas dengan kelompok sosialis. Ia sangat memahami teori-teori sosialisme berkat pergaulan dalamnya dengan kelompok sosialis Belanda. Di Belanda pula Bung Kecil bertemu Sal Tas, Ketua Amsterdam Sociaal Democratische Studenten Club, sebuah perkumpulan mahasiswa yang berafiliasi dengan Partai Sosialis Demokrat Belanda. Sal Tas bersama istrinya Maria Duchateu, seorang perempuan bernama Judith, dan Jos Riekerk berdiskusi bersam Bung Kecil tentang politik dan mengupas pemikiran filsuf sosialis seperti Rosa Luxemburg, Karl Kaustky, Otto Bauer, Hendrik de Mann, Marx dan Engels. Di Belanda Bung Kecil bertemu Bung Hatta yang memimpin Perhimpunan Indonesia. Di Belanda jugalah Bung Kecil jatuh cinta kepada Maria Duchateu yang merupakan istri Sal Tas, yang sebenarnya sudah tidak cocok lagi dengan Sal Tas. Sal Tas pun sebenarnya mengetahui hal ini, namun ia tidak melakukan cerai secara resmi. Kembali ke Jawa Oleh karena Hatta harus menyelesaikan studinya terlebih dahulu, Bung Kecil diutus terlebih dahulu untuk menyatukan pergerakan nasional yang tercerai-berai setelah ditangkapnya Soekarno. Bung Kecil kemudian menjadi ketua partai PNI Pendidikan. Setelah keluar dari penjara, Soekarno memilih bergabung dengan Partindo dan ia gagal untuk menyatukan kedua pergerakan ini. Kedua partai ini saling berebut simpati massa, namun tentu saja Partindo dengan motor Soekarno yang penuh dengan agitasi lebih disukai massa daripada PNI Pendidikan yang bergerak di jalur pendidikan atau kader. Kegiatan Bung Kecil, Hatta dan teman-temannya di PNI pendidikan tidak terlepas dari perhatian Belanda. Di bulan November 1933, seorang komisaris polisi di Batavia mengatakan bahwa wujud Pendidikan yang tidak berbahaya dan tanpa kegiatan mencolok harsu dianggap sebagai bukti bahwa pemerintah benar dalam kecurigaannya. Akhirnya pada tanggal 22 Februari 1934, 32 orang anggota pendidikan ditangkap, Bung Kecil tidak ada di Bandung waktu itu, ia telah memesan tiket untuk kembali ke Belanda meneruskan studinya dan akhirnya ditangkap di rumah saudara tirinya, Radena di Batavia. Dibuang ke Digul Sebelum dibuang ke Tanah Merah, Digul (Papua), Bung Kecil dipenjara di Cipinang. Di antara anggota pendidikan yang ditangkap tidak ada yang ke Cipinang, kecuali Bung Kecil. Ia berada di Cipinang selama 11 bulan, baru kemudian dibuang ke Digul bersama Hatta dan anggota pendidikan lainnya. Digul merupakan tempat pembuangan yang sangat buruk bagi kedua tokoh Hatta dan Bung Kecil. Bahkan banyak pihak yang menyanyangkan mengapa tempat tersebut yang dipilih oleh pemerintah kolonial Belanda, mengapa tidak tempat seperti Flores untuk Soekarno. Perdebatan mengenai tidak layaknya Digul bagi kedua orang ini akhirnya menemui keputusan dengan memindahkan mereka ke Banda Neira. Di Banda Neira Banda Neira adalah tempat spesial di hati Bung Kecil dan juga pengikut-pengikutnya. Di sini Bung Kecil lebih bebas dan hidup lebih baik karena pergaulannya yang luas dengan masyarakat Banda, termasuk ia mengadopsi tiga orang anak Banda. Bahkan pulau Banda adalah pulau penuh kenangan yang sulit dilupakan oleh Bung Kecil. Pernah suatu ketika ia berjalan di tepi pantai dan berbicara dengan nelayan kecil di pantai itu. Ia kemudian sewaktu telah menjadi perdana menteri meminta pelukisnya untuk melukis lagi kejadian tersebut. Di Banda juga, Bung Kecil bertemu dengan seorang pendeta Belanda yang mengira Bung Kecil seorang Kristen karena tahu banyak dan membaca Injil, seorang Kristen yang sungguh baik sehingga Pendeta itu berencana apabila nanti ia meninggalkan Banda, Sjahrir dengan mudah dapat menggantikan kedudukannya. Pemerintahan Jepang Pada tanggal 31 Januari 1942, pasukan Jepang menyerbu Ambon. Pemerintah Belanda tentu khawatir dengan kondisi Hatta dan Bung Kecil yang hanya 1 jam penerbangan dari Ambon sehingga menjemput mereka dengan pesawat Catalina terakhir yang melarikan diri dari bagian timur Indonesia. Mereka kemudian di bawa ke Surabaya, lalu Batavia dan terakhir ke Sukabumi. Hatta dengan cepat dikenali oleh Jepang dan atas desakan karena tidak ada lagi pilihan membantu Soekarno dalam pemerintahan Jepang, sementara Bung Kecil bergerak di bawah tanah. Hal ini mereka sepakati dalam sebuah pertemuan dan jika ada yang menanyakan Bung Kecil Soekarno dan Hatta akan beralasan bahwa Bung Kecil sedikit agak gila. Dalam masa pendudukan Jepang ini Bung Kecil mengumpulkan pemuda dan pemudi yang kemudian menjadi Pemuda Sjahrir, terutama mereka yang belajar di sekolah lanjutan atas. Mereka adalah Subadio, Soejadmoko, Daan Jahja, Hamid Algadri, Soebianto, Iwan Santoso, Sitoroes, dan beberapa anggota Unitas Studiosorum Indonesiensis seperti Poppy Saleh (nantinya menjadi Poppy Sjahrir). Sebagian besar pemuda-pemudi Sjahrir ini adalah mereka yang kurang cocok dengan gaya kepemimpinan Soekarno yang bersekutu dengan Jepang. Kemerdekaan dan Menjadi Perdana Menteri Kemerdekaan Indonesia dipeoklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Bung Kecil tidak ikut dalam proklamasi tersebut bahkan ada kesan ia sengaja menghilang karena ketidaksetujuannya dengan cara Soekarno-Hatta dalam memerdekakan Indonesia dan terlalu bergantung kepada informasi yang diberikan Jepang. Sikap Bung Kecil terhadap kemerdekaan tersebut ambigu, Adam Malik yang kemudian menjadi lawan politik Bung Kecil menuliskan: “Kesiagaan Sjahrir dan caranya yang berbeda dengan kelemahan Soekarno-Hatta mendorong pemuda kembali kepadanya meskipun ia tetap di belakang (tidak mau terlibat)”. Namun sebenarnya Bung Kecil tidak bisa menafikan betapa bersemangatnya rakyat menyambut kemerdekaan itu. Ia berkata: Saya mengelilingi Jawa. Saya dapat menyaksikan seluruh rakyat telah mulai berjuang untuk kemerdekaan …Saya lalu tidak dapat mengingkari revolusi yang dipimpin oleh Soekarno, Saya harus menghadapi kenyataan….” Pada tanggal 14 November 1945, hampir tiga bulan setelah proklamasi kemerdekaan, akhirnya Bung Kecil terlibat langsung dalam revolusi dengan menjadi Perdana Menteri dalan usia 36 tahun. Posisi perdana menteri ini sempat ia duduki sebanyak tiga kali sebelum menjadi utusan khusus di PBB yang kemudian berpidato di dalam sidang Keamanan PBB di Lake Success di tahun 1946. Ada satu kisah menarik antara seorang wartawan dan Bung Kecil saat ia baru tiga bulan menjadi perdana menteri. Mochtar Lubis pernah bercerita sekitar tahun 1946 saat Sutan Sjahrir menjadi Perdana Menteri. Ia berkunjung ke rumah Sjahrir untuk mengadakan wawancara tentang kemungkinan perundingan dengan pihak Belanda. Dengan senyum di bibir dan mata bersinar-sinar Sutan Sjahrir bertanya: “Eh, Anda sudah berapa lama jadi wartawan?” “Baru tiga bulan ini Bung Sjahrir”, jawab Mochtar Lubis “Eeeee, baru tiga bulan jadi wartawan, kok sudah berani interviewperdana menteri?” “Bung Sjahrir sudah berapa lama jadi menteri, kalau tidak salah juga baru beberapa bulan?” sanggah Mochtar Lubis sambil tersenyum. Sutan Sjahrir lalu memandang Mochtar Lubis dan kemudian tertawa terbahak-bahak. Kalah dalam Pemilu 1955 Setelah tidak menjabat apapun Bung Kecil kembali menjadi rakyat biasa dan memimpin Partai Sosialis Indonesia atau PSI. Di tahun-tahun ia menjadi rakyat biasa ini ia yang sudah tidak lagi beristri akhirnya menikah dengan Poppy, mereka berbahagia dengan dua orang anak, satu perempuan dan satu laki-laki. Di tahun 1955, PSI mengikuti pemilu namun kalah telak. Ini adalah pukulan berikutnya bagi Bung Kecil, namun ia tidak sedih karena ia bukanlah tipe orang yang ingin memperoleh jabatan. Tak disangsikan lagi menurut J.D. Legge banyak anggota PSI menganggap diri mereka adalah wakil dari suatu kaum intelektual dan mereka berbeda dengan orang Indonesia kebanyakan. Kaum intelektual PSI sebenarnya mengendalikan pemikiran pemerintah terbukti dengan banyaknya kader-kader PSI yang berada di pemerintahan, namun tidak banyak dikenal oleh masyarakat luas yang jauh tertinggal pemikirannya. Ini membuat PSI kalah populer dan tidak mendapat suara di Pemilu 1955 tersebut. Penjara dan Kematian Kondisi politik dalam masa 1950-1959 di Indonesia sungguh panas. Akibat pemberontakan PRRI/Permesta, dua partai dilikuidasi oleh pemerintahan Soekarno, yaitu Masyumi dan PSI. Bung Kecil kemudian ditangkap dan dipenjara di Madiun. Sungguh nasib yang teramat jelek mendirikan negara kemudian dipenjara oleh negara yang didirikan tersebut. Namun begitulan adanya, Bung Kecil tak dendam bahkan kepada Soejadmoko ia berkata kalau Soekarno meminta bantuan orang-orang PSI dengan senang hati harus menolong. Kondisi penjara, kesendirian dan masa-masa indah berkeluarga yang teramat pendek membuat Bung Kecil sangat tersiksa di penjara sehingga menimbulkan sakit yang cukup parah dan saat-saat terakhir waktu penyakitnya sudah tidak mungkin disembuhkan barulah Soekarno memberikan izin berobat ke Swiss. Ia meninggal di Swiss dalam status Tahanan dari negeri yang dimerdekakannya. Anehnya sewaktu jenasah tiba di Jakarta disambut dengan sambutan luar biasa dan dikubur di Taman Makam Pahlawan Kalibata, sungguh paradoks dengan apa yang ia terima selama ia hidup. Bahkan Hatta yang memberikan sambutan di ujung makam Bung Kecil berkata ia tidak akan membiarkan hal ini terjadi terhadap dirinya, dan Hatta benar ia dikubur di Tanah Kusir. Sutan Sjahrir adalah tokoh yang kalah dan dikalahkan. Demikian juga Tan Malaka. Mereka yang berjuang sedari muda, namun bernasib naas harus meninggal karena negara yang mereka dirikan. Sungguh nasib yang teramat jelek. Namun Tuhan akan mencatat jasa Sutan Sjahrir. Seperti kata Hatta sewaktu pemakamannya," Kerjamu ada yang meneruskan". Semoga damai di alam sana, Bung Kecil, yang berjasa besar, Sutan Sjahrir. Sumber Utama: Sjahrir, Politik dan Pengasingan di Indonesia, Rudolf Mrazek, 1996. Sumber Tambahan: Majalah Tempo Edisi khusus Sutan Sjahrir Tahun 2009
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H