Mohon tunggu...
Kimi Raikko
Kimi Raikko Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Just Another Days In Paradise \r\n\r\n \r\n\r\n\r\n \r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mengapa Anak-anak Itu Diperkosa

13 Oktober 2011   03:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:01 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sungguh saya tak bisa berkata apa-apa. Membaca kolom Nicholas D. Kristof di New York Times (nytimes.com) pagi ini membuat saya merinding dan speechless. Sebuah kolom yang menggugah rasa kemanusian, menceritakan bagaimana  anak-anak diperkosa di Sierra Leone. Sierra Leone sebuah negara di benua Afrika yang tentu saja miskin dan penuh gejolak sama dengan beberapa negara Afrika lainnya seperti Ethiopia. Kolom di nytimes itu dibuka dengan sebuah paparan:

Early one morning, I came across the actress Eva Mendes, crying. She said that she was overwhelmed by all the girls she had met here in Sierra Leone who had been raped -- and by her inability to help.

Eva Mendes menceritakan tentang perempuan yang banyak diperkosa di Sierra Leone tanpa kesanggupan baginya untuk menolong. Hal yang lebih membuat kita tercengang adalah usia perempuan yang diperkosa tersebut, 3 dan 4 tahun. Betapa ganasnya mereka yang melakukan hal tersebut. Eva Mendes diutus PBB untuk datang ke Barat Afrika dan berkolaborasi dengan Nicholas D. Kristof untuk melihat suasana di sana. Di hari pertama mereka berjalan, mereka bertemu dengan beberapa anak yang berusia 3 sampai 4 tahun yang telah diperkosa. Memilukan, membayangkan mereka, anak-anak yang belum tahu apa-apa itu diperkosa sedemikian rupa. Apa yang mereka tahu, toh hidup mereka baru saja 3 dan 4 tahun di dunia ini. Tahukah mereka bahwa mereka telah terdegradasikan oleh kekuatan yang tidak mampu mereka tolak? Apa yang bisa mereka lakukan untuk melawan? Mengenaskan, betapa mengenaskan dunia ini. [caption id="attachment_135456" align="aligncenter" width="650" caption="Ilustrasi, sumber: http://www.studlife.com"][/caption] Kisah itu ternyata belum cukup. Dalam perjalanan berikutnya, Nik dan Eva Mendes menemukan seorang gadis usia sekitar 15 tahun. Fulamatu namanya. Seorang siswa kelas sembilan dan bintang di kelasnya. Ia bermimpi  untuk melanjutkan pendidikannya ke universitas dan setelah itu ingin menjadi seorang manajer bank. Tepat di samping Fulamatu tinggal, tinggallah seorang lelaki yang maaf (seorang pendeta Pantekosta). Victor S. Palmer namanya, berusia 41 tahun yang mengaku teman dari keluarga Fulamatu.  Sebegitu dekatnya pendeta ini dengan keluarga Fulamatu sehingga mereka memanggilnya paman. Fulamatu bercerita, suatu hari di bulan Mei, pendeta itu melemparkannya ke tempat tidur dan memperkosanya. Pertanyaannya, pa yang bisa dilakukan oleh seorang gadis usia 15 tahun untuk melawan keganasan orang dewasa? Tidak ada, gadis itu hanya akan pasrah, berontak pun hampir tidak akan ada gunanya. Mungkin malah ia yang akan mendapat celaka mengingat posisi pendeta tersebut. Tentunya kita juga bertanya, mengapa orang yang mengaku lebih kenal kepada tuhan, yang telah dianggap keluarga sendiri malah menyengsarakan gadis tersebut. Fulamatu menceritakan bahwa ia takut dan tidak menceritakan kejadian tersebut kepada orang tuanya. Pendeta itu terus memperkosanya berulang kali, Fulamatu menjadi sakit dan kehilangan berat badan. Akhirnya, setelah dua gadis lain melaporkan bahwa pendeta itu telah berusaha memperkosa mereka, orangtua Fulamatu bertanya kepadanya. Fulamatu akhirnya mengaku dan mengatakan kepada mereka bahwa dia telah berulang kali diperkosa, dan seorang dokter yang memeriksa Fulamatu mengatakan bahwa Fulamatu mengidap penyakit  gonorrhea yang parah yang ditularkan  oleh pendeta itu. Fulamatu menginginkan pendeta itu ditangkap, tetapi sangat jelas itu akan sangat sulit. Lalu ia melaporkan ke polisi, namun pendeta tersebut telah pergi. Fulamatu berpura-pura menjadi orang asing dan menelpon pendeta tersebut ke ponselnya, mereka berjanji bertemu, dan sewaktu bertemu tersebut sang pendeta ditangkap. Namun walau sudah ditangkap, sanga pendeta tersebut bisa bebas lagi karena ibu Fulamatu menolak untuk bersaksi di pengadilan. Mereka mencium kaki Fulamatu agar memaafkan pendeta tersebut. Sang pendeta bisa bebas lagi memangsa gadis-gadis lain dan menularkan lebih banyak penyakit kelamin. What a hell this world. Fulamatu yang pintar yang ingin sekolah di universitas akhirnya harus kalah, menderita dan mengidap penyakit kelamin yang parah karena keganasan orang dewasa. Miris karena hampir tidak akan ada yang menolong dan peduli nasibnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun