Mohon tunggu...
Frida Kurniawati
Frida Kurniawati Mohon Tunggu... Mahasiswa, penulis, book reviewer -

Seorang mahasiswi (menuju) semester akhir Jurusan Teknik Fisika UGM, yang lebih suka menulis (fiksi, review, apa aja, deh) daripada bikin sensor arah angin. Tapi, dia nggak merasa salah jurusan lho.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Galau Pemilu Bagi Perantau

2 Juli 2014   23:12 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:46 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya sempat berkeinginan untuk golput dalam Pemilu 9 Juli nanti. Masalahnya, saya sedang kuliah di Yogyakarta, dan dua hari setelah Pemilu itu saya berangkat ke Kalimantan Barat untuk Kuliah Kerja Nyata. Saya pikir, saya tidak sempat untuk pulang ke kampung halaman di Kecamatan Juwana (FYI, Juwana itu di Jawa Tengah daerah pantura) untuk ikut Pemilu. Nah, kenapa saya tidak mengurus agar bisa ikut pemilu di Yogyakarta? Saya pikir, birokrasinya akan susah dan pelik (seperti biasa, khas negeri ini).

Saya berubah pikiran setelah membaca artikel di Kaskus yang dibagi oleh seorang teman Facebook, tentang 3 modus kecurangan saat pemilu (http://www.kaskus.co.id/thread/53a932405a516390638b45ab/3-modus-kecurangan-pemilu-yang-patut-kita-waspadai/?ref=homelanding&med=hot_thread). Saya jadi berandai-andai, jika saya dan banyak mahasiswa perantauan lain yang golput, bisa-bisa surat suara kami di daerah asal dimanfaatkan orang-orang nakal untuk mencurangi hasil pemilu. Jangan sampai kejadian, deh! Makanya, saya berniat untuk mencari tahu bagaimana caranya agar bisa ikut pemilu di Sleman. FYI, pemilu calon legislatif kemarin itu saya golput, karena tidak ada waktu untuk pulang kampung, dan saya malas mengurus di sini.

Tanpa sengaja, di timeline Facebook saya muncul tautan tentang cara nyoblos bagi perantau (http://stefanusatyanto.wordpress.com/2014/06/23/cara-nyoblos-bagi-perantau-mudah-dan-cepat/). Di situ, dikatakan bahwa tinggal bawa KTP dan fotokopinya ke kantor kelurahan, cari TPS yang diinginkan, tinggal datang nyoblos tanggal 9 Juli, deh! Lalu, saya mencari kantor kelurahan Sinduadi, dan menemukannya setelah kantornya tutup (sayang sekali). Saya kembali hari Senin berikutnya (karena Sabtu-Minggu tutup). Saya bertanya ke bagian PPS.

Saya: Pak, saya perantau. Bagaimana cara mengurus supaya bisa nyoblos di sini? (Dalam hati berekspektasi akan semudah cerita si Stefanus yang tadi saya kasih tautannya itu. Saya juga sudah menyiapkan fotokopi KTP banyak-banyak).

Si Bapak: Mbak harus ngurus A5 dulu di KPU Sleman. (dengan nada malas-malasan)

Saya: Nggak bisa ngurus di sini, Pak? (kata link di atas, lebih mudah dan cepat ngurus di kantor kelurahan daripada di KPU)

Si Bapak: (menunjukkan lembaran A5 yang sudah terisi—ternyata semacam formulir gitu—yang tertumpuk di atas mejanya) Mbak harus bikin A5 dulu di KPU Sleman, setelah itu baru menyerahkannya ke sini.

Saya: (hadeeuuuh) Oh, begitu, Pak. KPU Sleman itu di mana, ya, Pak?

Si Bapak: (menjelaskan letak KPU Sleman)

Saya: Baik, Pak, terima kasih.

Si Bapak: Eh, terakhir hari ini, Mbak, ngurus A5.

Saya: (menganga)

Setelah itu, saya langsung pergi ke KPU Sleman, dan ternyata banyak orang sedang mengantri di sana. Si Bapak petugas sampai capek menjelaskan berulang kali bahwa hari ini sudah nggak bisa ngurus A5. Tapi masih ada opsi lain, yaitu ngurus surat domisili dari RT, RW, dan desa. Kalau opsi yang itu masih bisa sampai tanggal 5 Juli. Lha, kenapa hal semacam itu tidak ditulis saja, terus ditempelkan di papan pengumuman KPU agar si petugas nggak harus menjelaskan berkali-kali? Jangan salahkan warga yang tanya, dong! Di kantor kelurahan juga nggak ada pengumuman tentang hal itu. Saya jadi merasa tanpa arah tujuan (hehehe). Mungkin, saya aja, sih, yang keterlaluan kupernya, hingga tidak tahu hal-hal beginian.

Saya keluar dari KPU dengan perasaan hampa. Haruskah saya berjuang membuat surat domisili itu? Dua tahun ngekos di daerah Pogung Rejo, saya nggak tahu di mana rumah si ketua RT dan ketua RW. Oke, mungkin saya pernah lewat, tapi lupa. Ini memang saya yang keterlaluan kupernya, deh. Ternyata mengurus hal ini di Sleman tidak semudah cerita di link tadi (btw, cerita di link itu dia ngurus di Jakarta). Memangnya birokrasi semacam ini beda-beda di tiap daerah, ya? Saya jadi galau. Mau ke RT, RW, kok malas. Akhirnya, saya memutuskan untuk pulang kampung saja, deh, sekalian minta doa restu dan uang saku sebelum berangkat KKN. Hehehe.

Pesan moral: jangan jadi orang kuper, yang kupernya keterlaluan kayak saya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun