Mohon tunggu...
Frida Kurniawati
Frida Kurniawati Mohon Tunggu... Mahasiswa, penulis, book reviewer -

Seorang mahasiswi (menuju) semester akhir Jurusan Teknik Fisika UGM, yang lebih suka menulis (fiksi, review, apa aja, deh) daripada bikin sensor arah angin. Tapi, dia nggak merasa salah jurusan lho.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Berani Duduk di Bangku Paling Depan—Cupu atau Haus Ilmu?

23 Desember 2014   01:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:41 860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_342781" align="aligncenter" width="600" caption="Di mana kamu duduk saat di kelas?"][/caption]

Saat di dalam kelas, di sebelah manakah kalian biasa duduk?

Saya lebih memilih duduk tidak di barisan paling depan, karena saya merasa tidak aman. Takut dijadikan sasaran lemparan pertanyaan dosen di saat saya belum siap. Hahaha. Tapi, kalau duduk di belakang, kacamata minus 5 saya seringnya kurang memadai untuk menerawang sampai ke whiteboard di depan. Jadi, kalau bisa milih, saya lebih suka duduk di barisan ketiga atau keempat. Nah, beda lagi kalau kasusnya saya habis begadang dan cuma pengin nebeng tidur di kelas ber-AC. Saya akan pilih bangku yang mepet sama dinding, biar bisa sandaran sekaligus meluk dinding. Hehehe.

Kalau kamu gimana?

Ada kutipan dari sebuah buku, seingat saya berjudul Berpikir dan Berjiwa Besar, yang menyebutkan bahwa orang yang percaya diri dan optimis selalu memilih duduk di bagian depan. Jadi, kalau (misalnya) saya orang yang suka minder dan ingin meningkatkan kadar ke-pede-an, maka saya bisa latihan dengan satu cara mudah: duduk paling depan. Apakah kamu setuju dengan kutipan itu?

Pengalaman yang saya alami tanggal 19 November 2014 lalu membuktikan bahwa kutipan itu nggak salah, tapi juga nggak sepenuhnya benar. Adalah Kongres Kedaulatan Energi 2014 yang saya hadiri dengan penuh semangat pagi itu. Saya duduk di barisan dengan jarak sekitar setengah lebar ruangan dari podium di depan Ruang Bulaksumur University Club UGM. Kursi-kursi di depan saya masih kosong melompong. Kenapa saya nggak duduk di depan aja? Nah, ini terutama akibat tata kursi yang agak aneh. Setengah barisan terdepan diisi dengan meja-meja bundar, tiap meja dikelilingi 7 kursi (kayak di resepsi pernikahan gitu), sementara setengah barisan ke belakang diisi dengan barisan kursi yang berjajar biasa. Saya mengira bahwa meja-meja bundar itu dipersiapkan untuk para pembicara, bukan peserta. Sudah hampir satu jam saya mematung di sini, dan acara belum juga dimulai. Ketika saya sedang duduk di kursi saya sambil melirik-lirik gemas pada jam tangan, tiba-tiba salah satu panitia bersuara melalui mikrofon.


“Para peserta yang duduk di belakang bisa maju untuk mengisi kursi-kursi di bagian depan yang masih kosong.”

Mata saya beradu pandang dengan teman saya.


“Mau pindah, nggak?” tanyanya.

Saya menatap kembali ke depan. Terlihat beberapa meja sudah diisi oleh para bapak yang sepertinya terlihat penting. Banyak para peserta lain yang mulai beranjak duduk di depan. Saya ragu. Jarak antara meja terdepan dengan podium mungkin kurang dari 2 meter. Well, itu sangat dekat. Saya tak terbiasa. Tapi, saya mau mencoba. Siapa tahu, di bawah kursi-kursi di bagian depan itu ada tempelan kupon doorprize.

“Ayo, deh, kita pindah ke depan,” ujar saya sambil berdiri. Sebuah meja paling depan, di samping meja yang sudah dihuni para bapak, menjadi incaran kami. Setelah itu, barulah kami menyadari bahwa para bapak itu adalah para pembicara, Pak Dekan Fakultas Teknik, dan bapak-bapak lain.

***

Mungkin ini adalah pertama kalinya daya tahan kantuk saya begitu kuat ketika menghadiri sebuah seminar. Saya aktif mencatat, mengamati grafik-grafik yang disajikan melalui layar. Coba kalau saya duduk di belakang, angka-angka kecil beserta penjelasannya itu tak akan nampak. Karena pandangan saya jelas, maka fokus saya pun tak mudah teralihkan dari layar maupun pembicara di depan. Oleh karena itu, saya juga nggak mengantuk ataupun melamun dan berkhayal. Jadilah, efisiensi informasi dan pengetahuan baru yang saya serap lebih tinggi. Jika saya duduk di belakang, saat itu pasti saya sedang sibuk menunduk: tertelan kantuk. Soalnya kalau tidurnya mendongak, secara otomatis mulut akan terbuka, dan itu nggak enak dipandang mata.

Benar bahwa bagi segenap mahasiswa telatan, duduk di bangku paling depan terasa mencekam. Butuh kepercayaan-diri dan niatan untuk duduk di sana, karena mau tidak mau, pasti akan jadi spot yang paling diperhatikan oleh dosen atau pembicara. Jadi nggak bisa bebas mau main LINE Let’s Get Rich, atau Whatsapp-an, atau mau molor, kan?

Jika sudah berhasil mengatasi kecemasan duduk di depan, sudah merasa nyaman di sana, dan siap menerima input ilmu ke otak, kau akan merasakan manfaatnya. Kau akan dapat menyerap lebih banyak ilmu. Ibaratnya persamaan gaya gravitasi yang berbanding terbalik dengan kuadrat dari jarak. Begitu juga kasus ini. Makin dekat jarakmu dengan sang pemberi ilmu, maka yang kauserap pun makin banyak; nilai X-mu akan makin besar (lihat gambar di awal).

141924727959190542
141924727959190542

Kalau duduk di bangku paling belakang, tingkat kepedulianmu terhadap kuliah sama dengan nol, sehingga nilai X-mu akan selalu nol. Tapi, duduk di paling depan itu tidak selalu berarti teacher’s pet wannabe. Bisa juga berarti a minus-5-eyed girl without her glasses. Hehehe. Yah, meskipun kalau duduk di bangku paling depan sering diledekin.


“Cie, cie, anak rajin….”

“Cih, cupu! Duduknya paling depan! Biar lebih deket kalo mau ngejilat dosen, yah?”


Eh, sejak kapan rajin jadi sesuatu yang salah dan aneh? Mungkin sejak kita merasa terlalu nyaman berada di lini orang kebanyakan. Karena secara alami, entropi memang selalu menurun. Kembali ke kutipan dari Berpikir dan Berjiwa Besar, menurut saya, duduk paling depan itu memang melibatkan kepercayaan diri tinggi. Tapi, yang lebih penting adalah saya bisa menyerap ilmu lebih efisien, bukan tentang meningkatkan kepercayaan dirinya itu sendiri, sih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun