Papua atau petisi yang di buat oleh warganet sebagai bentuk dukungan untuk masyarakat adat suku awyu di Boven Digoel, Papua Selatan yang sedang berjuang menuntut hak lindung hutan adat mereka belakangan ini muncul menjadi topik hangat di media sosial (trianita, 2024). Gerakan All Eyes On Papua ini merupakan petisi mengajak masyarakat untuk menolak dan mendorong Mahkamah Agung untuk mencabut izin Perusahaan kelapa sawit  PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama yang sudah mengantongi izin untuk mengelola hutan papua menjadi lahan kelapa sawit.Â
Gerakan All Eyes OnPembabatan hutan adat yang terjadi bukan sekadar persoalan hilangnya tutupan hijau, tetapi juga mengancam eksistensi budaya dan sistem penghidupan komunitas lokal yang telah terjalin erat dengan alam selama berabad-abad. Di balik narasi pembangunan dan modernisasi, tersembunyi kisah perjuangan masyarakat adat mempertahankan tanah leluhur mereka dari gempuran eksploitasi yang semakin masif. Artikel ini ditulis untuk mengkaji dinamika ketegangan antara gerakan sosial lingkungan yang diusung masyarakat adat Papua dan kebijakan negara yang cenderung berpihak pada kepentingan ekonomi, menggunakan prespektif dan teori dari kajian sosiologi politik.Â
Di jantung Papua, hutan adat Boven Digoel menyimpan lebih dari sekadar rimbunnya pepohonan. Ia adalah nafas kehidupan masyarakat adat tempat ritual sakral bergema, sumber penghidupan mengalir, dan identitas budaya berakar kuat. Namun, harmoni ini kini terancam oleh derap pembangunan yang semakin masif. Negara, dengan dalih pembangunan ekonomi, membuka pintu lebar bagi investor melalui kebijakan yang mempermudah izin pembabatan hutan.Â
Korporasi-korporasi besar memasuki Boven Digoel, membawa janji kesejahteraan namun juga membawa bulldozer yang menggerus hutan adat. Masyarakat lokal, yang selama ini menjadi penjaga setia alam, justru tersingkir dari tanah leluhur mereka sendiri. Menghadapi ancaman eksistensial ini, masyarakat adat Papua tidak tinggal diam. Gerakan sosial lingkungan muncul sebagai bentuk perlawanan, menggabungkan kearifan tradisional dengan strategi modern. Mereka mengorganisir demonstrasi, mengajukan gugatan hukum, dan membangun aliansi dengan aktivis lingkungan nasional dan internasional.Â
1. Teori konflikÂ
Dari perspektif sosiologi politik dengan menggunakan teori konflik kekuasaan Ralf Dahrendorf, kita bisa melihat bagaimana ketegangan muncul bukan hanya karena perbedaan kepentingan ekonomi, tetapi juga karena distribusi otoritas yang tidak seimbang. Negara, dengan aparatur birokrasi dan keamanannya, memiliki kekuatan koersif yang jauh lebih besar dibandingkan masyarakat adat. Di Tanah Papua, terdapat konflik vertikal antara perusahaan swasta dan masyarakat adat terkait penggunaan lahan, terutama dalam hal agraria. Konflik ini sering kali terjadi saat perusahaan sawit berupaya memperluas area perkebunan sawit mereka, yang memicu benturan kepentingan dan perselisihan dengan masyarakat adat setempat (Revo Linggar Vandito & Artanti Paramest, 2024).Â
konflik yang terjadi antara pihak swasta dalam hal ini perusahaan sawit terjadi di Boven Digoel antara masyarakat Suku Awyu dengan PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama. Perusahaan swasta ini diproyeksikan akan menyulap 8.828 hektar kawasan hutan untuk menjadi perkebunan sawit dan diproyeksikan menjadi perkebunan sawit terbesar di Asia-Pasifik(green peace, 2023). Namun, menariknya, masyarakat adat Papua berhasil mengembangkan apa yang disebut James Scott sebagai "senjata kaum lemah" (weapons of the weak). Mereka menggunakan pengetahuan lokal, jaringan sosial, dan legitimasi kultural untuk melawan dominasi negara. Ritual-ritual adat, misalnya, tidak hanya berfungsi secara spiritual tetapi juga menjadi instrumen mobilisasi sosial dan penguatan identitas kolektif.
2. Geopolitik & identitas lokalÂ
Dalam isu ini juga memeunculkan dimensi geopolitik yang menambah kompleksitas konflik ini. Papua tidak hanya menjadi arena pertarungan kepentingan ekonomi, tetapi juga medan kontestasi identitas. Manuel Castells menyebut fenomena ini sebagai "identitas resistensi" di mana kelompok yang termarginalisasi membangun identitas tandingan untuk melawan logika dominasi (Manuel Castells: The Power of Identity - Nancyrubin, 2014). Masyarakat adat Papua menggunakan narasi indigenous people dan kearifan lingkungan untuk melawan narasi pembangunan yang diusung negara. Mengadaptasi pemikiran Pierre Bourdieu, konflik di Papua bisa dibaca sebagai pertarungan dalam berbagai "arena" (fields) seperti  ekonomi, politik, dan kultural. Masyarakat adat, meski lemah dalam modal ekonomi dan politik, memiliki modal kultural dan simbolik yang kuat. Mereka menggunakan legitimasi historis dan peran sebagai penjaga lingkungan untuk membangun dukungan internasional.
Sudah saatnya suara perlawanan dari Tanah Papua didengar; bukan sebagai penentangan pembangunan, melainkan sebagai upaya menjaga keseimbangan antara kemajuan dan kelestarian alam yang telah dijaga turun-temurun. Dalam artikel ini, penulis berharap agar tulisan ini dapat membuka mata dan pikiran para pembaca untuk memahami kondisi dunia yang sekarang tengah bergulat dengan krisis iklim. Perjuangan masyarakat adat Papua memberikan pelajaran berharga tentang harmonisasi antara manusia dan alam. Ini adalah momentum untuk memikirkan ulang paradigma pembangunan yang selama ini cenderung mengabaikan suara-suara lokal. Apakah pembangunan di Papua memang untuk menyejahterakan warga Papua atau untuk kepentingan kelompok lain? Pertanyaannya bukan lagi tentang memilih antara pembangunan atau konservasi, melainkan bagaimana menciptakan model pembangunan yang menghormati hak-hak adat dan menjamin keberlanjutan lingkungan untuk generasi mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H