Mohon tunggu...
Kim Foeng
Kim Foeng Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Ayo....... belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Penghujung Titian

7 Juni 2015   02:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:19 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_367869" align="aligncenter" width="616" caption="Sumber gambar : thofaargi.wordpress.com"][/caption]

Prolog :

Dialog aneh dalam suatu ruangan :

Wanita : Berapa lama?

Laki-laki : Tanpa mendahului kehendak-Nya, berkisar antara enam bulan sampai dengan satu tahun.

Terlihat senyum misterius tersungging di bibir si Wanita, diiringi dengan tatapan keheranan si Laki-laki yang duduk berseberangan dengannya.

Laki-laki : Panggil suamimu menemuiku secepatnya. Jika kau tak mau melakukannya, dengan sangat terpaksa aku yang akan menghubunginya.

Wanita : Jangan! Aku tak perlu bantuanmu dalam hal ini. Jangan campuri urusanku tanpa izinku!

Laki-laki : Aku tak mengerti, sebenarnya apa yang terjadi?

Wanita : Jalankan tugasmu sebagaimana mestinya, tak perlu berusaha untuk mengerti aku.

Laki-laki : Kau tahu bagaimana aku terhadapmu, dari dulu sampai sekarang tak berubah sama sekali. Rambut ini sekarang boleh saja memutih. Asal kau tahu, peduliku terhadapmu masih sama seperti dulu. Aku tak mau kau menyia-nyiakan hidupmu dengan menumpuk kesedihan, berbagilah denganku.

Si Wanita berusaha menahan haru dengan cara membuang muka, tanpa kentara melalui mimik wajahnya dia bersikap seolah kalimat yang baru saja didengarnya itu tak berpengaruh sedikit pun terhadapnya. Sambil mengibas tangannya, dia berucap “ ahh… jangan mengungkit masa lalu. Aku tak suka!”

Wanita : Well, aku pamit. Terima kasih atas semuanya. Satu hal yang ingin kukatakan padamu, aku pun tak suka melihat keadaanmu seperti ini. Move On, mumpung belum terlambat!

Begitu keluar dari ruangan itu si Wanita mendesis “nantikan aku, tak akan lama lagi. Sambut aku dengan rentangan dua tanganmu, seperti yang kerap hadir dalam mimpi-mimpiku”

*****

AKU, wanita yang telah menjalani kehidupanku lebih dari 35 tahun. Mencoba mensyukuri atas nikmat diberikan oleh-Nya, dan berusaha menganggap jalan hidupku telah digariskan memang seperti inilah adanya. Bersuami dan  hidup bersama lebih kurang 10 tahun. Merasa beruntung, tidak dianugerahi anak dalam pernikahan kami. Dengan demikian, tidak memberatkan langkahku untuk menghadapNya.

Aku, wanita yang tak mampu mengungkapkan secara verbal apa yang kumau. Lebih banyak berlaku bodoh padahal tidak demikian, aku wanita yang cukup pintar. Aku mampu menganalisa setiap kejadian dengan kebenaran mencapai 80%. Karena kepintaran itu pulalah yang menyebabkan aku merasa sakit. Aku menjalani sisa hidupku agar tak berdosa mengakhirinya lebih awal. Tak ingin aku mendahului takdir-Nya, walau aku sudah sangat siap untuk itu.

Betul, aku mengarungi kehidupan berumah tangga tanpa paksaan dari siapapun. Dengan sadar aku memilih dia sebagai suamiku, yang kuyakini kebaikan dan cintanya kepadaku melebihi laki-laki lain yang menginginkan aku. Aku berharap, walau tanpa cinta yang kulabuhkan untuknya, tapi aku memperoleh cinta yang berlimpah darinya. Aku menampik antrian laki-laki baik lainnya termasuk Dokter Adrian.

Sebagai imbalannya, aku harus rela menyerahkan seluruh sisa hidupku mengabdi untuknya juga menjalankan kewajibanku sebagai seorang istri. Selain itu, aku juga bekerja agar tak selalu bergantung pada suamiku. Aku tak suka menghiba, menadah tanganku untuk memenuhi kebutuhan pribadiku. pendek kata, aku tidak suka menyusahkan orang lain, sekalipun suamiku.

Suatu pagi aku menemukan bukti kalau suamiku tak lagi seperti dulu. Tiada lagi cinta kasih utuh diberikan untukku. Kini kasihnya telah terpecah menjadi beberapa bagian. Bahagia itu bukanlah lagi untukku, melainkan untuk dia yang lain.

Kejadian ini membuatku menganalisa dari awal kehidupanku dengannya. Episode demi episode yang kami jalani tak sedikit membuatku terluka. Mulai dari tercabiknya harga diriku sebagai wanita yang menurutnya tak dapat memberikan apa yang ia inginkan. Rasa kecewanya terhadapku terkadang membuahkan kata-kata menyakitkan. Sekali lagi aku hanya dapat terdiam dan menerima dengan hati perih.

Sekian tahun hidup bersama aku merasa hanya saat sulit aku dilibatkan. Ruang lingkup pengorbananku tidak hanya dituntut untuk keluarga kami, tapi melebar ke keluarga besar suami. Acapkali aku harus mengelus dada mendengar sentilan yang tak sedap. Tak ada niatku untuk memprotes perlakuan itu, aku menerima sepenuhnya. Sekali lagi, bukan tanpa sebab aku berlaku demikian. Jauh dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku merasa  perlakuan ini sedikit meringankan rasa  bersalahku. Aku tak pernah berani mengungkapkan perasaanku dengan jujur kepada suamiku bahwa hatiku, cintaku, bukanlah untuknya. Dari dulu sampai saat ini!

Jika kemudian Tuhan bermurah hati memperpendek penderitaanku, dengan vonis waktuku tinggal 6 bulan sampai dengan 1 tahun, tak heran bukan aku menyambutnya dengan sebuah senyum manis? Andai saja umurku ini dapat diperjual-belikan, pasti aku akan menjualnya. Kuyakin, bagi orang-orang kaya dan berkantong tebal tak akan keberatan membelinya dengan harga setinggi apapun.

*****

“Mama sakit? Kok terakhir ini terlihat pucat? ” malam itu suamiku bertanya padaku

“Besok sore apa papa sempat anterin mama ke dokter Adrian?” pintaku penuh harap. Jika tidak, aku khawatir Adrian yang akan menghubungi suamiku seperti ancamannya waktu itu. Dan aku percaya ancaman itu bukan omong kosong belaka.

“Bisa Ma. Nanti papa akan pulang lebih awal” jawabnya.

Dalam hati aku tersenyum sinis, berarti dia rela mengorbankan waktunya untuk dia yang lain demi mengantar aku. Entah dengan alasan apa nantinya, mungkin saja suamiku mengatakan “akan mengantarkan si tua ke dokter karena sakit-sakitan”. Sungguh mati, aku sebenarnya tak suka mengganggu waktu mereka, jika tidak karena  ancaman Andrian. Aku masih sanggup pergi sendiri.

“Besok papa jemput mama di kantor, kemudian langsung ke tempat praktek Dokter Adrian” kusambut kata-katanya dengan senyum tipis.

“Hmmmm….. waktuku bersamamu akan segera berakhir, suamiku. Berakhir pula penderitaanku. Kau berhak memperoleh kebahagiaan dengan wanita yang mencintai dan kau cintai, bukan denganku. Dan aku pun akan mencari kebahagiaanku sendiri. Dia yang kerap hadir dalam mimpi-mimpiku telah siap merentangkan kedua tangannya meyambut kedatanganku.

*****

Kami bertiga berada dalam ruangan Adrian. Terlihat senyum kelegaan tersungging di sudut bibir Adrian. Menatapku sekilas, kemudian menarik sebundel berkas catatan pemeriksaanku beberapa bulan terakhir ini.

Adrian langsung menanyakan apa yang kurasa selama beberapa hari ini. Dan kujawab apa adanya. Kulihat ada kerutan di kening suamiku, sebab dia sama sekali tak mengetahui sebelumnya aku telah beberapa kali menemui Dokter Adrian. Mungkin untuk menutupi malu suamiku terdiam.

“Sesungguhnya suatu penyakit akan dikalahkan jika kamu punya semangat hidup tinggi Nad, tapi kulihat kau sama sekali tidak berusaha untuk melawan penyakitmu. Aku tak mengerti, dan baru pertama kali aku mengahadapi pasien sepertimu” kalimat pertama dilontarkan dokter Adrian tanpa basa-basi.

“Pak Leo, bantu Nadya melawan penyakitnya! Pertemuan terakhir dengan Nadya telah saya jelaskan bahwa, tanpa mendahului kehendak Tuhan sisa umur istrimu ini berkisar Antara 6 bulan sampai satu tahun. Sel-sel ganas itu menyebar dengan sangat cepat. Mengapa yang kulihat kalian berdua begitu santai menyambut maut?” lanjut dokter Adrian sinis

Kulihat suamiku kaget dengan mulut sedikit terbuka. Kutahu sampai matipun dia tak akan menduga akan penyakit yang menggrogotiku beberapa bulan terakhir ini. Tak ingin aku menebak bagaimana perasaannya, yang jelas aku merasa hari kebebasanku sebentar lagi.

Aku, wanita yang sudah tak punya suluh dalam hidupku, meneruskan dan berharap kehidupan lebih panjang hanya akan menambah rentetan kesakitanku. Untuk apa…? Dan kini, di penghujung hidupku aku ingin bersamanya, cinta sejatiku.

******

Aku telah menyusuri titian panjang kehidupan. Kadang tersandung, kemudian bangkit lagi menapaki hingga sampai ke penghujung titian. Selangkah lagi usai sudah langkah kakiku.

Samar-samar kulihat Dia merentangkan kedua tangannya. Aku berlari dalam pelukannya tanpa menoleh ke belakang, walau terdengar suara laki-laki yang telah menemani hidupku selama 10 tahun memanggil namaku. Maafkan aku suamiku, aku berhak bahagia, begitu pula denganmu!

* Sumber gambar : Desa Rangkat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun