Setelah pengumuman sidang MK atas perkara pemilihan presiden pada pemilu 2024, gejolak politik masih belum berakhir. Masih ada pergulatan panas yang menunggu yakni perebutan kekuasaan oleh elit dalam pemilihan kepala daerah.
Menurut David Jarry dan Julia Jarry, asumsi pada teori elit yang memisahkan elit dari masyarakat biasa merupakan ciri yang tak terelakkan dalam masyarakat modern yang kompleks di mana pun. Menurut mereka, anggapan bahwa rakyatlah yang menjalankan pemerintahan adalah salah. Hal ini memang menunjukkan bagaimana posisi elit ditempatkan pada bidang-bidang yang memiliki kepentingan politik, sekaligus mengakui munculnya elit-elit yang terspesialisasi di berbagai bidang kehidupan.
Sisi kelam demokrasi adalah cost atau ongkos politik yang mahal. Demokrasi membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Pokok persoalan ini, sudah menjaring kemampuan finansial para calon pemimpin daerah.
Survei yang dilakukan oleh Kemendagri atas kajian oleh Litbang KPK pernah menyebut biaya yang dibutuhkan seorang calon kepala daerah berkisar Rp. 20 Miliar sampai dengan Rp. 100 Miliar.
Keadaan ini diperparah dengan kondisi demokrasi di Indonesia yang masih belum matang yang menyebabkan orientasi kontestasi politik berkutat pada sisi popularitas dan personalitas.
Meritokrasi saat ini seakan harus ditambah dengan kemampuan finansial yang besar. Kebutuhan akan finansial ini menyebabkan dampak kepentingan (lain) yang harus ditanggung dalam menentukan sebuah kebijakan.
Office of democracy and governance (2003) mencatat ada 4 macam potensi risiko yang kemungkinan besar akan timbul. Pertama adalah "uneven playing field". Â Dalam konteks ini uang memberikan dampak pada kompetisi yang tidak sehat antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Asumsi yang dibangun adalah sportivitas game yang dimainkan dalam politik menjadi kian langka manakala uang hanya dimanfaatkan oleh segelintir kelompok sehingga kondisi tersebut berdampak pada keterbatasan ruang gerak bagi kelompok yang lain yang tidak mempunyai cukup uang.Â
Kedua adalah "unequal access to the office". Kondisi ini mengisyaratkan bahwa uang telah menciptakan kondisi diskriminatif terhadap politik representasi. Hal ini terjadi sebab kekuasaan hanya dimonopoli oleh segelintir orang yang mempunyai kontribusi uang sangat besar.Â
Ketiga adalah "co-opted politicians". Uang menciptakan relasi yang tidak seimbang antara pemerintah (sebagai pihak yang menerima uang) dan donator (pihak yang memberi uang). Ironisnya, pemerintah akan berada pada posisi yang lemah. Kondisi demikian akan terjadi di mana bagi mereka yang telah menyuntikkan dananya. Mereka akan dengan mudah melakukan kooptasi dan intervensi terhadap para birokrat dan politisi sehingga roda pemerintahan tidak lagi independen.Â
Keempat adalah "tainted politics". Uang berisiko terhadap lahirnya sistem pemerintahan yang korup dan mengesampingkan eksistensi hukum. Pada konteks ini roda pemerintahan bisa berjalan. Namun demikian wibawa pemerintah serta supremasi hukum menjadi barang langka.
Mosca menyajikan konsep ini dalam karyanya yang terkenal, "The Ruling Class". Dalam setiap masyarakat, terdapat dua kelas penduduk: kelas penguasa dan kelas yang didominasi. Kelompok pertama selalu berjumlah sedikit dan mengendalikan semua fungsi politik, memonopoli kekuasaan, serta menikmati keuntungan yang diperoleh dari kekuasaan, sementara kelompok kedua jauh lebih besar dan diatur oleh kelompok pertama.