Mohon tunggu...
A. Faruqi Munif
A. Faruqi Munif Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

pemuja sunyi yang masih menikmati statusnya sebagai lelaki yang menempuh jalan lain, kegilaan lain dalam proses pencarian hakikat kesunyian dalam dirinya. mahasiswa salah jurusan di Ilmu Komunikasi Fak. Sosial & Humaniora UIN SUKA.\r\nseparuh dunianya terselip di pemujakesunyian.blgspot.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tadarus Sunyi

16 Agustus 2012   05:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:41 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1; selokan dan risalah sungai yang tak ada dalam kitab
tiba-tiba aku berdiri di tengah kesibukan orang-orang yang berlari menuju rumah yang penuh darah dan mata-mata. tak ada ruang selain bising; deras air kali penuh limbah, teriakan pedagang asongan dan becek lumpur memenuhi jejalan sepanjang los-los pasar. Ada daun yang jatuh ke dalam pikiran, menelusuk, mengerat, menghunjam, perlahan terdengar suara malaikat membisikkan sesuatu, lirih, mengalir, hilir dan sir…

2; menjadi taman di atas sejarah yang salah
aku duduk bersedekap lutut, mengunyah nafas; sesuatu yang tak pernah aku pelajari selain di televisi. Hati meliar membelut kesadaran, tak pernah kulayari samudera-Nya. Sekolah, sekolahan sama saja. Terendap jutaan pasrahku membumikan ingatan hubb dan syauq pada-Mu. Adakah sejarah? Jutaan langkah menjelma duri langai menakik usia yang dekat dengan jatuh dan upacara-upacara menemui tuhan palsu.

3; menuju bukit
Negeri, bangunlah… ada sesuatu yang terlipat di selangkanganmu, diam, pelan… aku tulis rangkai gelisah yang tetirah, tak sempurna menyoal dirinya dengan baris-baris puisi tak jadi dan menjadi guruh yang melahirkan hujan; kau mengajariku tentang senyum dan “memberi”, dan tak pernah kudapat ini pada ijazah dan skripsi. Negeri, mana adil, mana damai… aku kembali menyusun kisah-kisah cinta yang rumit, gelap hati memaksa hendak jatuh di pucuk-pucuk sangobi.

4; berjalan dengan ruh
Dari dadaku melingkar akar gerimis turun dari langit yang berkecubung lepas dari ujub; muasal hubbsyauq tumbuh menisbikan selain rabb. Aku lihat cahaya, cahaya di bukit raksa, blusukan ke rongga-rongga nafas yang kering, jiwa yang kering dan serangkaian ornamen langkah yang kering pula.

5; wasiat dari cahaya
rukuk, sujud, tahiyat; membuka seserpih udara yang melekat di jendela. Aku larung jejak kaki dan sisa debu mengepulkan angin runtuh di keningku. Menapaki tandus angin runcing membelah arsy sampai keharibaan dzikir; diam di antara kesibukan orang-orang yang berlari menuju rumah yang penuh darah dan mata-mata. tak ada ruang selain bising; deras air kali penuh limbah, teriakan pedagang asongan dan becek lumpur memenuhi jejalan sepanjang los-los pasar.
Ha… Hu….; aku temukan sir… di hentak lagu satu, aku temui dzat luruh di keramaian deru shubuh, menyepi dikeriuhan orang-orang yang menjual diri sebagai pesakitan dan zarah-zarah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun