Kliwonan itu rupanya Kliwon terakhir kita bersama?
Ren, Kliwon kemarin adalah Kliwon yang sangat kuharapkan bersamamu di akhir tahun, berharap berakhir pula masa kesendirian kita. Namun rupanya kau tak sendiri.
Kubayangkan abaya hitam itu duduk di samping mobil yang terparkir di seberang Indomaret dekat Kanzus, atau berjalan beriringan di antara kerumunan sambil mencari motor, dan kubawa jasad dalam abaya itu menuju kahyangan tempat favorit kita.
Mimpi tetaplah menjadi mimpi.
Bermula dari penolakan-penolakan setelah kalimat 'aku tak bisa menolak jika kau yang mengajak' sepertinya perlu seribu ahli tafsir sekelas Ibnu Katsir atau Jalaluddin sang mufassir. Jika hanya dipikir, aku bisa kenthir.
Apatah makna kerja keras demi mencicil mahar atau mas kawin jika untuk bertatap muka saja perlu sejuta drama tanpa skenario, apalah arti penantian di ujung titian kelulusan jika yang dituju adalah hati yang lain? Hati ini remuk menjadi puisi tanpa naskah, yang ada hanyalah noktah-noktah yang maknanya entah.
Kontrak satu kerjaan usai, mencari kerjaan lain yang bisa seprofesi denganmu pun sudah kuusahakan, sayangnya kau tak berminat. Mungkin sedang sibuk tugas akhir, batinku. Biarlah, aku mencari kerja di tempat lain yang lebih berkah agar niatku kian mantap sakinah mawaddah wa rahmah, nyatanya ... asudahlah.
Ren, aku rindu kau yang dulu. Hangat, ceria, aneh, cempreng, cerewet ... tiba-tiba dingin, hening, hilang. Aku sudah cukup dingin, jangan ditambah dingin. Takut jika komunikasi kita membeku dan kini benar-benar terjadi.
Kliwon akhir tahun kemarin, rupanya menyakitkan tanpamu. Aku tersiksa oleh kerinduan, setiap bayangan yang kulihat senyummu, setiap tubuh dengan abaya hitam dan pashmina, kuyakini dirimu. Setiap alunan mahallul qiyam, kudengar suaramu dengan tetes air mata menganak sungai di pipimu, terlampau bening hingga kuyakini ada Tuhan di wajahmu. Setiap langkah perempuan, kukira langkahmu yang menggandengku menuju surga-Nya.
Kau tau? Di seluruh doaku semenjak kita bermajelis bersama, namamu tak pernah luput kusebut dalam doa. Seperti Kliwon terakhir saat sholat Jum'at di Pantura, aku merasa kau istri yang menunggu suaminya. Karenanya, di setiap khatib duduk di antara dua khutbah, namamu dan pahlawanmu menjadi alasan tanganku menengadah. Semoga Allah mengijabah. Nyatanya ... entahlah.
Kehampaan menyelimuti hari-hariku. Kosong. Aku terlalu nekat melanggar pintamu agar jangan main hati, meski hati-hati tetap saja upahnya patah hati. Pada hati yang paling patah, pada takdir aku menyerah dan mengaku kalah.