Mohon tunggu...
Suwito Intarso
Suwito Intarso Mohon Tunggu... Pendidik -

Sukses yang sesungguhnya ditentukan oleh kemampuan bertahan setelah orang lain meninggalkannya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Apa yang Engkau Cari?

2 Maret 2017   23:52 Diperbarui: 3 Maret 2017   00:13 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di zaman yang sudah tua ini, yang bertajuk modern dan global, banyak orang mulai merasa kecapaian. Hidup begitu melelahkan. Hidup terasa begitu menyengat, karena empati yang berkurang. Target – target begitu menghentak, memutus keindahan. Harapan – harapan banyak yang bertebaran, lepas dan kandas. Waktu seakan tidak bersahabat. Pagi buta terbangun, bergegas berangkat, pulang sudah malam, larut dalam kepenatan dan kelelahan.  Pergi gelap dan pulang juga dalam gelap. Amat jarang bisa merasakan sengatan sinar matahari di kulit, apalagi berkeringat. Dibuai kemudahan-kemudahan dan buritan beban. Kemudian saat mereka tersadar, merenung, bertanya dalam diri: untuk apa hidup ini?

Obyek maupun subyek yang dikejar dalam hidup ini memang beragam. Ada yang mengejar kekayaan, ada yang berburu kedudukan, ada juga yang berorientasi mencari kepopuleran. Yang penting keren. Menyenangkan. Ada yang lapar dengan kekaguman orang, ada yang demikian seriusnya di jalan-jalan spiritual. Dan tentu saja, itu semua menjadi hak setiap orang untuk memilih jalur bagi dirinya sendiri. Mungkin fatwa Khaulafaur-rasyidin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu perlu dicermati. Beliau berkata: “Dunia itu akan pergi menjauh. Sedangkan akhirat akan mendekat. Dunia dan akhirat tesebut memiliki anak-anak. Jadilah anak-anak akhirat dan janganlah kalian menjadi anak dunia. Hari ini (di dunia) adalah hari beramal dan bukanlah hari perhitungan (hisab), sedangkan besok (di akhirat) adalah hari perhitungan (hisab) dan bukanlah hari beramal.” (HR. Bukhari)

Seakan menjadi fitrahnya, paling banyak mendapat pengikut adalah mereka yang memang berjalan atau berlari memburu kekayaan luar atau kekayaan dunia. Jadi pedagang, pengusaha, pegawai, pejabat, petani, tentara, supir sampai dengan tukang sapu, tidak sedikit kepalanya yang diisi oleh gambar-gambar hidup agar cepat kaya. Sebagian bahkan mengambil jalan-jalan pintas. Yang penting asal cepat jadi kaya. Hanya sedikit yang berjalan atau berlari mengejar kekayaan dalam atau akhirat. Walaupun para penekun di jalan spiritual ini, tetap tak lepas juga diganggu dengan fikiran yang dihiasi gambar-gambar hidup agar cepat kaya pula.

Pilihan menjadi kaya tentu sebuah pilihan yang bisa dimengerti. Maklum, nggak ada orang yang mau hidup susah. Penginnya enak terus. Terbukti, dengan kaya materi manusia bisa melakukan lebih banyak hal. Pun dengan kekayaan di dalam, manusia bisa berjalan lebih nlisir di lorong - lorong kehidupan. Dan soal jalur mana untuk menjadi kaya yang akan ditempuh, pilihan yang tersedia memang amat melimpah. Dari jualan asuransi, ikut MLM, memimpin perusahaan, jadi pengusaha, sampai dengan jadi pejabat tinggi. Semua bisa, namun seorang bijak pernah menganjurkan sebuah jalan sederhana menjadi kaya: contentment is the greatest wealth. Rasa cukup adalah kekayaan terbesar.

Bagi sebagian orang, tentu agak unik mendengarnya. Apalagi bagi yang berpacu dengan waktu. Di zaman yang penuh dengan hiruk - pikuk pencarian keluar menyebut cukup sebagai kekayaan manusia terbesar, tentu bisa dikira miring atau dituduh gila sekalian. Akan tetapi inilah kondisi yang seharusnya, seperti yang pernah digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah pesan indahnya tentang makna kaya. Rasulullah SAW bersabda; Sesungguhnya yang dikatakan kaya itu bukan banyaknya harta, akan tetapi yang disebut kaya adalah kaya diri (hati). (Rowahu Muslim)

Ada yang mengira, yang demikian itu menganjurkan kemalasan, ada yang menuduh sebagai anti kemajuan, atau malah sekalian sebuah kambing hitam. Dan tentu saja tidak dilarang untuk berpikir seperti ini. Hanya saja, bagi setiap penekun kehidupan yang sudah mencoba serta berjalan jauh di jalur-jalur "cukup", segera akan mengerti, memang merasa cukuplah kekayaan manusia yang terbesar. Sebab apa yang didapat belum tentu bisa dinikmati semua. Tengoklah sabda Rasulullah SAW, “Anak Adam berkata ini hartaku, hartaku. Padahal tidak ada harta baginya kecuali tiga hal yaitu apa yang dia makan dan habis, yang dia pakai dan rusak serta yang dia berikan dan menghasilkan pahala. Selain yang demikian itu, maka akan hilang dan ditinggalkan bagi manusia lainnya.” (HR Muslim).

Sebagai kekayaan terbesar, cukup berarti menikmati dengan sempurna apa yang didapat. Cukup adalah mensyukuri dengan indah (menerima total) apa yang diberikanNya. Bukan hanya seharusnya.

Semoga bermanfaat, Amin.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun