Mencegah lebih baik dari pada mengobati.
Klise memang ketika mendengar pepatah itu, tapi apa daya kita manusia senantiasa terjebak dalam pengulangan demi pengulangan tanpa disadarai atau disadari telah dilalui. Demi alasan apapun pengulangan yang memberikan kerugian ialah hal yang tidak etis untuk dilalui kembali apalagi berkali-kali.
Mencegah berkaitan dengan cara atau laku yang dimaksudkan untuk menghindari sesuatu yang dirasa merugikan atau memberikan dampak negatif. Sementara itu, mengobati berkaitan dengan perbaikan atas sesuatu yang tidak normal atau tidak biasanya agar kembali pulih.
Kejadian di Banten (22/12/18) memberikan luka baru bagi Indonesia. Luka yang belum kering dari saudara kita di Palu dan sebelumnya Lombok ini menambah kesedihan baru yang lagi dan lagi muncul ke dasar kesadaran sebagai sesama manusia. Luka ini harus segera diobati agar lekas pulih. Luka dari bencana selalu menyisakan kesedihan dan kecemasan pasca terjadinya bencana.
Tugas ini menjadi tanggung jawab bersama, setidaknya memberikan dukungan dan motivasi kepada korban harus terus digalakkan di tengah harapan dan kecemasan mereka sebagai korban yang menderita akibat bencana alam.
Bencana alam bukanlah suatu peristiwa yang dapat dikontrol oleh manusia berdasarkan kuasanya sebagai salah satu makhluk hidup yang paling unggul di muka bumi. Akan tetapi, bencana dapat dikurangi kerugiannya dengan lebih awas akan tanda-tanda diiringi dengan peringatan dini akan hadirnya bencana.
Tsunami di Banten, seperti yang dikatakan Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data dan Informasi, Humas BNBP, kemungkinan terjadi akaibat adanya longsor bawah laut akibat erupsi Anak Gunung Krakatau. Hal itu diiringi dengan adanya gelombang pasang akibat bulan purnama.
Jadi, jelas bahwa tsunami yang terjadi di Pandeglang, Banten bukan karena gempat tektonik seperti yang biasanya terjadi.
Namun apa yang dikatakan Sutopo itu menjadi sentilan bagi pemangku kuasa terkait penanganan bencana alam dan pencegahannya karena kurangnya alat deteksi dini tsunami akibat longsor bawah laut akibat erupsi gunung merapi aktif di Indonesia.
Seperti yang dilansir Kumparan, ditegaskan oleh Sutopo bahwa Indonesia belum memiliki alat pendeteksi dini terjadinya tsunami yang disebabkan oleh longsor bawah laut dan erupsi gunung berapi. Menurutnya, alat yang saat ini dimiliki adalah sistem peringatan dini tsunami akibat gempa tektonik.
Sutopo menyebut bahwa Indonesia perlu membangun sistem peringatan dini tsunami akibat longsor bawah laut dan erupsi gunung merapi. Kejadian serupa sudah pernah terjadi di Maumere, tahun 1992 dan yang baru saja menimpa saudara kita di Palu.