Mohon tunggu...
Kiki Wulansari
Kiki Wulansari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Sarjana Terapan Administrasi Negara - Universitas Negeri Surabaya

Seorang mahasiswa yang menyukai menulis dan tertarik dengan kegiatan jurnalistik pemula

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kontroversial Isu Presiden 3 Periode dan Isu Big Data Menuju Pemilu 2024

31 Mei 2022   12:58 Diperbarui: 31 Mei 2022   13:38 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo dan Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan saat menghadiri Sulaturahim Nasional APDESI di Istora Senayan, Selasa (29/3/2022).

Belakangan ini ada dua peristiwa penting terkait dengan isu wacana menuju pemilu 2024. Peristiwa pertama yaitu terkait perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dukungan 3 periode oleh Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) dan peristiwa kedua yaitu klaim adanya isu big data dengan 110 juta akun media sosial terkait penundaan pemilu 2024.

Hal ini disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan saat menghadiri podcast Deddy Corbuzer, mengklaim bahwa pihaknya memiliki big data berisi dukungan dari mayoritas masyarakat Indonesia. Isu big data tersebut berisi percakapan masyarakat Indonesia yang menginginkan penundaan pemilu dan atau 3 periode.

“Saya ingin lihat, kita punya big data. Dari big data itu, kira-kira meng-grab 110 juta. Iya, 110 juta macam-macam, Facebook segala macam, orang-orang main Twitter, kira-kira orang 110 juta lah,” tutur Luhut Binsar Pandjaitan

Akan tetapi, justru pernyataan dan klaim big data oleh Luhut tersebut malah menimbulkan banyak reaksi dari masyarakat, baik masyarakat umum, elit politik, pakar, dan netizen. 

Salah satunya Indonesia Corruption Watch (ICW) juga turut mendesak Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan untuk membuktikan Big Data pendukung penundaan Pemilu 2024 tersebut. Desakan ini didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1) huruf f UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).

Tak hanya itu, akibat dari wacana isu tersebut juga memicu adanya aksi unjuk rasa di beberapa daerah yang dilakukan oleh mahasiswa pada 11 April lalu.

Tuntutan aksi unjuk rasa ini salah satunya mempertanyakan isu Big Data yang telah digembar-gemborkan oleh Luhut untuk membuka dan mempertangungjawabkan peryataannya.

Namun, setelah adanya semua kontroversi ini Jokowi memberikan klarifikasi terhadap kepastian pelaksanaan Pemilu Serentak 2024, dengan menyebutkan baik kepastian jadwal, anggaran, maupun pelantikan komisioner KPU dan Bawalu periode 2022-2027.

Dengan adanya klarifikasi dari Jokowi tersebut, masyarakat kembali mempertanyakan adanya wacana isu yang membuat situasi semakin meruncing menuju Pemilu 2024 dan menunggu sanksi dijatuhkan kepada Luhut. Hal ini sama halnya seperti yang dipetanyakan oleh Direktur Arus Survei Indonesia, Ali Rifan.

“Artinya bagaimana Presiden Jokowi bersikap? Bila memang wacana tersebut tidak hadir dari beliau, dan kemudian diwacanakan oleh menterinya tanpa seizin beliau, maka ya harus diberi sanksi,” tutur Ali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun