Dari beberapa tahun lalu partisipasi politik masyarakat meningkat, dapat kita saksikan di berita-berita televisi maupun di media sosial.Â
Tetapi menjelang pemilihan presiden maupun pemilihan kepala-kepala daerah sepertinya banyak pihak mengejar kepentingan pribadi dan golongannya, mengesampingkan landasan etis berpolitik.
Kemudian saya atau banyak mungkin anggota masyarakat lain  terkejut  dengan pertemtangan-pertentangan politik yang sangat tajam dan memuncak, dan muncul hal-hal yang tidak terduga sebelumnya seperti intoleransi, radikalisme, terorisme, komunisme, liberalisme, anti keberagaman, ideologi pasar, maraknya hoax, meredupnya intehritas dan kesantunan, korupsi terselubung dan merajalela, ... menjadi tontonan gratis memalukan.
Saya merasakan Indonesia sekaranh berbeda dengan Indonesia pada tahun 1980-an sampai dekade 1990-an, kita masih aktab dengan perbedaan, tidak terkotak-kotak, meskipun beragam tetapi selaras dalam ikatan kebangsaan.Saat ini kita dipisahkan oleh pembatas-pembatas sosial, satu kelompok membenci kelompok yang lain, seolah tidak berkesudahan dan sepertinya ada yang menikmati kondisi dan permainan ini.
Akhir-akhir ini media cetak dan media on line banyak mengabarkan pemerintah akan mengaktifkan kembali mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP).Â
Yang saya ingat pada saat saya dan teman-teman belajar di SD,SMP, SMA, antara tahun 1980 sampai tahun 1992, semua lapisan pendidikan wajib mendapatkan mata pelajaran ini. Pada saat memasuki perguruan tinggi pun calon mahasiswa wajib mengikuti penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). PMP mengandung pelajaran P4, budi pekerti, tepa selira, toleransi, moral, kebersamaan, keadilan.
Sejarah mencatat Pendidikan Moral Pancasila (PMP) diajarkan di sekolah-sekolah sejak tahun 1975. PMP saat itu menggantikan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dalam kurikulum sekolah di Indonesia sejak tahun 1968. Perubahan ini sejalan dengan misi pendidikan yang diamanatkan Tap MPR III/MPR/1973.
Pada awal berdirinya Republik Indonesia, tokoh-tokoh pendiri bangsa yang berasal dari daerah, agama, suku, golongan, dan latar belakang berbeda-beda bermusyawarah dengan beragam pemikiran rasional yang berbeda-beda untuk merumuskan ideologi bangsa. Mereka kemudian menyadari bahwa masyarakat Indonesia sangat beragam dan majemuk, sehingga dibutuhkan ideologi pemersatu bangsa yang religius, humanis, dan demokratis. Sehimgga lahir Pancasila yang berintikan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Pancasila mengandung inti pandangan toleransi, kebhinekaan, kesetaraan, menjadi ideologi pemersatu bangsa yang dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat Indonesia.
Di era digital ini bila Pendidikan Moral Pancasila akan diajarkan kembali di sekolah-sekolah di Indonesia tentu sangat baik. Pada saat peserta didik memasuki perguruan tinggi sikap dan mental kebangsaan mereka telah dibemtengi oleh Pancasila, dan semoga tidak mudah terpengaruh oleh bahaya laten komunis, radikalisme, liberalisme, hedonis, anarki, terorisme, korupsi, dan faham-faham lain yang menyesatkan. Untuk itu dibutuhkan tokoh teladan untuk membumikan Pancasila, keteladanan para pemimpin bangsa, para elite, tokoh-tokoh nasional, para guru, para orang tua, dalam perilaku, integritas, dan kekuatan karakter.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H