Pada masa kanak-kanak di malam hari saya sering memperhatikan binatang-binatang kecil dengan tubuh menyala seperti lampu kerlap-kerlip terbang ke sana ke mari di kebun atau di semak belukar tak jauh dari rumah. Dalam hati saya bertanya apa mereka membawa lenyera atau lampu kecil? Untuk menjawab rasa penasaran saya menangkap seekor dan mengamatinya dari kepala sampai ekor.Ternyata perutnya yang menyala.
Entomolog (ahli serangga) dari Amerika Serikat, James Lioyd, menjelaskan bahwa bagian tubuh kunang-kunang yang berlampu tersusun atas tiga lapisan jaringan sel.Lapisan terdalam berfungsi memantulkan cahaya, Â seperti reflektor pada lampu senter. Di lapisan tengah terdapat jaringan penghasil cahaya. Dan di lapisan terluar ada jaringan kitin yang bening dan tembus pandang.
Senyawa lusiferin menghasilkan nyala lampu di lapisan tengah, karena adanya oksigen yang disalurkan melalui saluran pernafasan (trachea) kunang-kunang, dibantu oleh enzim lusiferase. Pada saat bahan-bahan itu bergabung, terjadi pembakaran kecil dan hampir seluruh senyawa terbakar menjadi cahaya putih kekuning-kuningan, tetapi tidak menimbulkan panas. Ini menjadi pertanyaan, ada api tetapi tidak panas.
Nyala tubuh kunang-kunang sesuai irama nafas yang dihirupnya. Kalau ingin membuat "api" lebih menyala, kunang-kunang akan mengalirkan oksigen lebih banyak ke lapisan tengah. Sehingga nyalanya tampak besar-kecil seperti lampu berkedip-kedip. Menurut penelitian para ahli, ada sekitar 30 kilatan "api" setiap detik memancar dari tubuh kunang-kunang.
Kunang-kunang merupakan serangga sebangsa kumbang (coleoptera), karena mempunyai "lampu" kunang-kunang tergolong ke dalam suku lampyridae. Nama suku ini diambil dari kata "lampas" (bahasa Latin) atau lamp (bahasa Inggris),artinya lampu.
Jenis pertama yang ditemukan adalah lampyrris nectiluca, berbentuk seperti cacing dan tidak bersayap, bagian tepi tubuhnya menyala sehingga disebut glow worm (cacing berkilau). Meski tak bersayap binatang ini sejenis kumbang.
Kunang-kunang yang ditemukan belakangan bersayap, namun ketika masih berbentuk larva kunang-kunang disebut glow worm juga sebab tidak bersayap. Setelah menjadi serangga dewasa, kunang-kunang disebut fire fly (lalat berapi). Aneh, karena kunang-kunang bukan jenis lalat, tetapi jenis kumbang. Nama yang salah kaprah itu akhirnya dikoreksi menjadi lighting bug (kumbang bercahaya). Di Indonesia, baik larva maupun dewasanya tetap disebut kunang-kunang.
Kunang-kunang mudah kita temukan di tepian sungai atau saluran irigasi. Menurut hasil penelitian ahli serangga dari Jepang, Satoshi Kuribayashi, kunang-kunang menyimpan telurnya pada batang pohon di tepian sungai yang penuh ditumbuhi lumut dan tumbuhan paku. Mereka menyukai tempat lembab agar telur-telurnya tidak mengering sebelum menetas.
Telur menetas menjadi larva lalu terjun ke dalam air. Tubuh larva kunang-kunang sangat langsing seperti cacing. Siang hari mereka bersembunyi di balik batu, di malam hari mereka berkeliaran memburu siput-siput yang menempel pada bebatuan. Mereka hidup sebagai "cacing" air yang tubuhnya juga  sudah menyala di malam hari kurang lebih dua tahun.
Kemudian larva kunang-kunang "bertapa", 40 hari tidak makan tidak minum di dalam gua-gua kecil yang mereka gali sebelumnya di tanah tepian sungai. Setelah 40 hari mereka menjalani hidup baru sebagai kunang-kunang (kumbang) dewasa yang perutnya menyala.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H