Mohon tunggu...
Wahyu Barata
Wahyu Barata Mohon Tunggu... Penulis - Marketing Perbankan

Wahyu Barata.Lahir di Garut 21 Oktober 1973. Menulis puisi, cerita pendek,dan artikel. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di Sari Kata, majalah Aksara , Media Bersama, Kompas, Harian On Line Kabar Indonesia, beberapa antologi bersama, dan lain-lain.Kini bekerja sebagai marketing perbankan tinggal di Bandung.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Penulis Perempuan Mendobrak Patriarki

30 April 2020   07:57 Diperbarui: 30 April 2020   08:02 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di masa lalu, di Nusantara, ruang untuk beraktivitas, bergerak, dan mengembangkan daya nalar adalah barang yang sangat mahal bagi perempuan. Bukan hukum alam. Keluarga, pendidikan, politik, ekonomi, jurnalisme,hukum,... memandang sebelah mata potensi perempuan...

Tetapi dalam perjalanan dan perjuangan literasi dari masa ke masa lahir tokoh-tokoh penulis perempuan dimulai dari Raden Adjeng Kartini (tokoh pelopor emansipasi wanita di Indonesia),Selasih, N. H. Dini,  hingga Ayu Utami, Djenar Mahesa Ayu, Dewi Lestari,...Di jaman pemerintah kolonial Hindia-Belanda ada beberapa penulis perempuan yang menulis menggunakan nama samaran agar lolos dari hukum adat atau peraturan pemerintah.

Di masa sekarang pun meskipun banyak penulis perempuan di Indonesia, ketika karyanya dimuat di media atau mendapatkan penghargaan, banyak tuduhan-tuduhan tak terbukti terhadap para penulis perempuan, seperti penulis perempuan ada hubungangan spesial dengan redaktur atau dengan pemberi penghargaan itu.

Menurut catatan Korrie Layun Rampan (2006) dalam kurun waktu 1920-1995 karya sastra penulis perempuan 12% dari seluruh karya sastra yang pernah diterbitkan. Penulis perempuan sering terpinggirkan karena tema karangannya hanya di seputar masalah keluarga dan psikologis. Perempuan dianggap lebih sensitif daripada laki-laki sehingga perempuan tidak bisa mengangkat tema-tema yang lebih luas.

Tetapi R. A. Kartini, Selasih, N. H. Dini, pada masanya adalah penulis perempuan yang mampu mendobrak dominasi budaya patriarki. Karena banyak tekanan terhadap penulis perempuan, kemudian Ayu Utami dengan buah penanya "Saman", lalu Djenar Mahesa Ayu dengan buah penanya "Nayla" mendobrak tatanan sosial dunia sastra, dan mungkin masih banyak lagi para penulis perempuan seperti mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun