Di masa lalu, di Nusantara, ruang untuk beraktivitas, bergerak, dan mengembangkan daya nalar adalah barang yang sangat mahal bagi perempuan. Bukan hukum alam. Keluarga, pendidikan, politik, ekonomi, jurnalisme,hukum,... memandang sebelah mata potensi perempuan...
Tetapi dalam perjalanan dan perjuangan literasi dari masa ke masa lahir tokoh-tokoh penulis perempuan dimulai dari Raden Adjeng Kartini (tokoh pelopor emansipasi wanita di Indonesia),Selasih, N. H. Dini, Â hingga Ayu Utami, Djenar Mahesa Ayu, Dewi Lestari,...Di jaman pemerintah kolonial Hindia-Belanda ada beberapa penulis perempuan yang menulis menggunakan nama samaran agar lolos dari hukum adat atau peraturan pemerintah.
Di masa sekarang pun meskipun banyak penulis perempuan di Indonesia, ketika karyanya dimuat di media atau mendapatkan penghargaan, banyak tuduhan-tuduhan tak terbukti terhadap para penulis perempuan, seperti penulis perempuan ada hubungangan spesial dengan redaktur atau dengan pemberi penghargaan itu.
Menurut catatan Korrie Layun Rampan (2006) dalam kurun waktu 1920-1995 karya sastra penulis perempuan 12% dari seluruh karya sastra yang pernah diterbitkan. Penulis perempuan sering terpinggirkan karena tema karangannya hanya di seputar masalah keluarga dan psikologis. Perempuan dianggap lebih sensitif daripada laki-laki sehingga perempuan tidak bisa mengangkat tema-tema yang lebih luas.
Tetapi R. A. Kartini, Selasih, N. H. Dini, pada masanya adalah penulis perempuan yang mampu mendobrak dominasi budaya patriarki. Karena banyak tekanan terhadap penulis perempuan, kemudian Ayu Utami dengan buah penanya "Saman", lalu Djenar Mahesa Ayu dengan buah penanya "Nayla" mendobrak tatanan sosial dunia sastra, dan mungkin masih banyak lagi para penulis perempuan seperti mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H