Infrastruktur berperan penting dalam peningkatan dan pemerataan ekonomi sehingga penyediaanya haruslah efisien, efektif dan berkelanjutan (Chen & Bartle, 2017). Apalagi kebutuhan akan infrastruktur terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Sebagai salah satu kota metropolitan di Indonesia, Kota Semarang mengalami peningkatan pertumbuhan penduduk. Pada tahun 2012-2016, pertumbuhan penduduk Kota Semarang naik sebesar 2,8% (BPS, 2018). Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah karena berdampak pada lonjakan kebutuhan dan pelayanan infrastruktur.
Semarang menjadi kota penting dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi serta investasi di Jawa Tengah. Dalam percepatan pertumbuhan investasi dan ekonomi, dibutuhkan anggaran senilai Rp 52 triliun dalam lima tahun ke depan. Anggaran ini, akan digunakan untuk membangun infrastruktur jalan, kawasan terintegrasi di pusat kota, area pengelolaan sampah, dan pemberdayaan wilayah pesisir.
Namun terdapat permasalahan umum terkait penyediaan infrastruktur di Kota Semarang. Permasalahan ini disebabkan kurangnya alokasi anggaran organisasi Pemerintah Daerah (OPD) dalam penyediaan infrastruktur dan sulitnya akses bantuan yang bersumber dari Pemerintah Pusat maupun Provinsi. Anggaran dari Pemerintah belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan pembiayaan infrastruktur di Kota Semarang. Selain itu pemerintah daerah lebih memprioritaskan sektor pendidikan dan kesehatan dalam pengalokasian anggaran. Berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2003 menyatakan besaran alokasi minimal anggaran wajib pendidikan sebesar 20% dari total APBD. Pembangunan infrastruktur memerlukan pembiayaan yang tidak sedikit sedangkan anggaran pemerintah sangat terbatas.
Karena masalah keterbatasan anggaran ini, pemerintah perlu mengembangkan gagasan/inovasi pembiayaan melalui instrumen rencana pembangunan infrastruktur untuk memenuhi kebutuhan finansial dalam meningkatkan pelayanan infrastruktur, salah satunya adalah dengan menerapkan skema pembiayaan non-anggaran pemerintah atau pembiayaan non-konvensional yaitu melibatkan sektor publik atau swasta dalam pembangunan infrastruktur.
Berdasarkan hasil beberapa seminar yang dilakukan pada awal tahun 2020, dari pihak Pemerintah Kota Semarang sendiri maupun para akademisi sepakat menyarankan untuk menggunakan pembiayaan non-konvensional/pemerintah sebagai solusi masalah keterbatasan anggaran pembiayaan pembangunan Infrastruktur di Kota Semarang. Penulis setuju dengan solusi tersebut karena dari alokasi belanja proyek infrastruktur saat ini masih rendah sedangkan kebutuhan akan pembangunan infrastruktur di Semarang sangatlah besar. Perbandingan proyeksi struktur pendapatan pemerintah dengan jumlah kebutuhan infrastruktur pada tahun 2020 terdapat selisih atau gap pembiayaan sebesar Rp.148.205.74.000,- . APBD hanya dapat digunakan sesuai rencana dan tidak dapat ditambah lagi, juga APBD hanya disahkan satu tahun sekali. Maka sebagai alternatif untuk menyelesaikan masalah ini adalah memanfaatkan skema pembiayaan non-pemerintah.Â
Ada beberapa instrumen pembiayaan non-konvensional atau non-pemerintah yang dapat diterapkan di Semarang dan beberapa pernah diterapkan sebelumnya, contohnya  KPBU, CSR dan Filantropi, pinjaman daerah dan obligasi, manajemen asset, PINA, join venture, dan linkage. Selagi terdapat regulasi yang jelas, dan tidak melanggar hukum maka sah-sah saja untuk menggunakan alternatif pembiayaan non-pemerintah, namun juga perlu melihat beberapa kriteria untuk menentukan instrumen mana yang cocok untuk diterapkan di Kota Semarang. Dalam jurnal berjudul "Skema Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur Non-Konvensional di Kota Semarang" peneliti sudah membuat skema tipologi pembiayaan non-konvensional/pemerintah berdasarkan kriteria kelayakan finansial dan ekonomi, serta nilai besaran investasi di Kota Semarang. Selanjutnya pada jurnal berjudul "Analisis Pembiayaan Non-Anggaran Pemerintah dalam Mendukung Pembangunan Infrastruktur di Indonesia" telah melakukan skoring terhadap instrumen pembiayaan non-konvensional/pemerintah yang paling berpotensi diterapkan dengan kriteria yang lebih lengkap dari penelitian sebelumnya seperti: ketersediaan regulasi, historis pelaksanaan, risiko pelaksanaan, keberlanjutan manfaat, manfaat sosial ekonomi, manfaat finansial, dan daya ungkit terhadap pembangunan. Didapatkan hasil bahwa yang sangat berpotensi untuk diterapkan, antara lain konsolidasi lahan, pinjaman daerah, obligasi, dan Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Dididapatkan kesimpulan bahwa pembiayaan infrastruktur non-konvensional/pemerintah dapat diterapkan di Kota Semarang, dengan pemilihan instrumen yang akan dipilih oleh daerah disesuaikan dengan kemampuan dan kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Daerah dengan mempertimbangkan semua aspek.Â
Referensi
Artiningsih, Artiningsih, et al. "Skema Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur Non-Konvensional di Kota Semarang." Jurnal Riptek 13.2 (2019): 92-100.Â
Putri, Nanda Cahyani, and Loveani Yastika Putri. "ANALISIS PEMBIAYAAN NON-ANGGARAN PEMERINTAH DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA." Jurnal Infrastruktur 6.2 (2020): 91-103.Â
Tribunnews