Hadirnya anggota pemeriksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Aceh selama beberapa hari sejak 21 Februari 2011 lebih kurang membawa dua dampak. Di kalangan aktivis antikorupsi, membuktikan suatu keseriusan pemerintah untuk menyelidiki dugaan tindak pidana korupsi yang telah merugikan keuangan negara hingga miliaran rupiah, sedangkan di kalangan pelaku korupsi, sebagai sebuah ancaman serius bagi kelanggengan korupsinya selama ini. KPK hadir di Aceh untuk menghimpun keterangan terkait kasus dugaan penggelembungan (mark up) harga dalam proyek pengadaan alat medis di Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin.
Di kalangan aktivis anti-korupsi, usaha KPK untuk mengambil alih penyelidikan dan pemeriksaan dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi di Aceh menjadi angin segar dalam semangat pemberantasan antikorupsi, terutama sejak beberapa kasus dugaaan tindak pidana korupsi di Aceh mengendap dan di-“petieskan” oleh lembaga tertentu. Berdasarkan hasil monitoring media yang dilakukan oleh Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh pada tahun 2009 hingga 2010, yang dipaparkan dalam diskusi Flash Back Kinerja Pemerintahan Aceh (30 Desember 2010), bahwa diperkirakan ada sekitar Rp. 1, 8 Triliun uang negara yang dikorup di Aceh pada jangka waktu 2009 – 2010. Angka korupsi yang sangat besar!Indonesia Corruption Watch (ICW) juga melaporkan pada tahun 2010, kasus korupsi keuangan daerah menempati urutan pertama dari tren korupsi di Indonesia, dengan aktor utamanya para kepala daerah dan mantan kepala daerah. Sementara pada tahun 2009, tren korupsi didominasi oleh anggota DPRD.
Provinsi Aceh memiliki dinamika yang unik dalam pengelolaan keuangan daerah dan isu korupsi di Indonesia. Aceh mendapat perhatian khusus dari pemerintah pusat karena merupakan salah satu Daerah Otonomi Khusus. Pemerintah Aceh telah membuat terobosan dengan menerbitkan Qanun No. 1 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Keuangan Aceh. Aceh juga dikenal sebagai daerah yang terkenal dengan korupsinya. Kasus korupsi yang melibatkan Kepala Daerah dan divonis di pengadilan pertama sekali adalah berasal dari Provinsi Aceh (dahulu Provinsi NAD), yaitu kasus yang melanda mantan Gubernur, Abdullah Puteh, yaitu kasus pembelian Helikopter MI-2. Pemerintah Aceh juga telah berupaya mempercepat koodinasi dalam pemberantasan korupsi dengan membentuk Tim Anti Korupsi Pemerintah Aceh (TAKPA). Irwandi Yusuf di tahun pertama memerintah juga telah membangun hubungan baik dan meminta KPK membantu memberantas korupsi di Aceh.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia (2010) yang termaktub dalam Survei Barometer Korupsi Aceh menunjukkan hasil bahwa mayoritas suara publik melihat bahwa korupsi masih membelit bumi Aceh hingga saat ini. Menurut survei itu, 56 persen responden mengatakan Pemerintah Aceh tidak efektif memberantas korupsi dan 19 persen lainnya menjawab sangat tidak efektif. Sementara itu Pemerintahan Eksekutif dipersepsikan lembaga yang paling korup (79%), disusul Legislatif/DPRA (77%), Kepolisian (75%), Kejaksaan Tinggi (68%), Pengadilan Tinggi (66%), dan Perguruan Tinggi (50%). Hasil survei ini juga menuai polemik di Aceh. Beberapa pendapat pejabat daerah yang kebakaran jenggot dan perang opini di media tak terhindarkan.
Perkembangan terkini seperti pernyataan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi yang menyatakan “Saat ini ada 17 gubernur tersangka yang masuk dalam daftar 155 kepala daerah yang sedang menjalani proses hukum sampai saat ini. Dan hampir setiap pekan, seorang kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka”. (Kompas, 18/1/2011). Kondisi ini menurut Gamawan Fauzi terjadi karena kelemahan kapasitas dan kuaitas pengelolaan keuangan daerah (TEMPO Interaktif, 16/6/2010).
Direktur Jenderal Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri, Yuswandi Temenggung menuturkan, sebagian besar kepala daerah terjerat kasus korupsi yang terkait penyimpangan APBD, terutama pada pelaksanaan pengadaan barang dan jasa serta penyaluran bantuan sosial. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) M Jasin juga mengakui, modus korupsi di daerah kebanyakan berupa penyalahgunaan APBD dan APBN, yaitu berupa bantuan sosial fiktif, penggelembungan harga, dan mengubah spesifikasi teknik dalam pengadaan barang dan jasa.
Berdasarkan catatan dari Divisi Litbang Kompas juga menyebutkan bahwa hampir semua provinsi di Indonesia tidak bebas dari kasus korupsi yang menimpa kepala daerahnya, baik di tingkatan provinsi, kabupaten, maupun kota. Hanya lima dari 33 provinsi di Indonesia yang hingga Minggu (23/1/2011) tak ada kepala daerahnya yang terjerat perkara hukum. Pada tahun 2005 sampai dengan 2010 vonis pengadilan korupsi yang dijatuhkan sebagian besar antara 1 dan 5 tahun. Kasus yang terbanyak adalah korupsi APBD.
Laporan Bank Dunia (Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007) menyebutkan bahwa korupsi yang melibatkan penggunaan dana publik masih merupakan satu masalah besar. Korupsi merusak pengambilan keputusan mengenai pengeluaran dan pada saat yang sama korupsi juga menghambat pelaksanaan anggaran. Secara keseluruhan, sistem pengelolaan keuangan publik di daerah masih lemah dan berisiko tinggi terhadap tindak korupsi.
Hasil penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) semester II periode 1 Juli – 31 Desember 2010 yang dilansir harian Serambi Indonesia (24 Februari 2011) menyimpulkan peningkatan kasus korupsi di Indonesia di tahun 2010 paling banyak menggunakan modus penggelapan uang, dan kasus penggelapan banyak terjadi di sektor keuangan daerah, sosial kemasyarakatan, dan pendidikan.
Sebagaimana ungkapan populer “ada gula ada semut” ataupun ungkapan populer yang dikutip dari surat Lord Acton kepada Bishop Creighton, “Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely,” maka pemberian kekuasaan dalam pengelolaan keuangan negara selalu mengandung risiko penyimpangan yang sangat besar.
Fakta-fakta menunjukkan bahwa telah terjadi berbagai kasus penyimpangan keuangan negara baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Praktik-praktik korupsi dapat dilakukan dengan berbagai teknik, mulai dari yang sederhana, misalnya kuitansi fiktif, pemungutan liar, pengambilan uang secara langsung, ataupun teknik-teknik konvensional lainnya yang mudah dideteksi dan dibuktikan. Sedangkan kasus-kasus yang mengakibatkan kerugian miliaran hingga triliunan rupiah sulit dibuktikan, misalnya komisi, upeti, penyalahgunaan wewenang, atau jabatan. Modus operandinya dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, antara lain penyimpangan prosedur, mark-up, perbuatan curang, gratifikasi (suap), penggelapan, pemalsuan, pemerasan, dan terlibat pemborongan pengadaan persewaan (Salman, 2007).